Stasiun Manggarai, Saksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan dan Kemajuan Transportasi Indonesia

Sabtu, 09 Oktober 2021 - 05:29 WIB
loading...
Stasiun Manggarai, Saksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan dan Kemajuan Transportasi Indonesia
Stasiun Manggarai mulai dibangun pada 1914 oleh arsitek Belanda bernama Ir. J. Van Gendt dan resmi digunakan 1 Mei 1918. Foto/Tangkapan layar Facebook @Bintoro Hoepoedio
A A A
JAKARTA - Stasiun Manggarai merupakan saksi sejarah yang terus berdetak bersama laju waktu dan berderak mengikuti perkembangan zaman. Stasiun Manggarai menjadi saksi perjuangan kemerdekaan dan kemajuan transportasi kereta api di Indonesia.

Stasiun Manggarai memang mulai dibangun pada 1914 oleh arsitek Belanda bernama Ir. J. Van Gendt atau setelah 41 tahun pembangunan jalur KA Batavia (Jakarta Kota)–Buitenzorg (Bogor) 1869-1873. Saat pembangunan jalur KA Batavia-Buitenzorg, tak ada rencana pembangunan stasiun/ atau halte di Manggarai.

Ketika itu yang ada Stasiun Boekitdoeri (Bukit Duri) yang dibuka pada 1908 (bukan Dipo Bukit Duri). Saat ini lokasinya 400 meter di selatan Stasiun Manggarai. Stasiun Manggarai baru direncanakan dibangun setelah perusahaan kereta api Negara, Staatssporwegen (SS) menguasai jaringan kereta api di Jakarta pada 1913.

Ketika itu perusahaan kereta api negara atau Staatssporwegen (SS) menyatukan jalur Jakarta-Bekasi milik Bataviaasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) yang dibeli pada 1899 dan jalur Jakarta-Bogor milik Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang akuisisi pada 1913.

Untuk menggantikan stasiun lama Boekitdoeri, baru dibangun Stasiun Manggarai pada 1914. Bahkan arsitek Belanda Ir. J. Van Gendt juga ditugaskan membangun sekolah pendidikan perkeretaapian dan rumah-rumah dinas untuk para pegawai kereta api di sekitar stasiun baru (Manggarai). Empat tahun kemudian Stasiun Manggarai selesai dibangun dan resmi dibuka untuk umum tepatnya pada 1 Mei 1918.

Stasiun ini menjadi titik persimpangan lintas kereta api yang menghubungkan Tanah Abang–Duri, Batavia–Gambir, Meester Cornelis (Jatinegara)–Bekasi, Depok–Bogor, dan jalur cabang menuju eks-Stasiun Meester Cornelis NIS (sekarang Dipo Bukit Duri). (Baca juga; Stasiun Jakarta Kota; Misteri Sebutan Beos, 2 Kepala Kerbau, dan Filosofi Yunani )

Ada keunikan pada Stasiun Manggarai yang sekarang jadi bangunan cagar budaya, yaitu kanopi kayu di peron lama. Dulu kanopi tersebut pernah ada kembarannya yaitu di Stasiun Kroya karena pembangunan Stasiun Manggarai dan renovasi Stasiun Kroya dilakukan pada periode yang sama.

Sejatinya desain asli kanopi kedua stasiun itu berupa kanopi baja cor yang diimpor langsung dari Eropa. Tetapi karena material baja kanopi tidak tersedia di pabriknya akibat Perang Dunia I (1914-1918), pesanan dibatalkan. Kini kanopi peron hasil desain ‘dadakan’ itu masih berdiri dan terawat baik di tengah modernisasi Stasiun Manggarai.

Dalam penataan ulang rel kereta api di Batavia 1913-1921,dekat Stasiun Manggarai juga dibangun Balai Yasa untuk merawat, merehabilitasi, merakit kereta, gerbong dan lokomotif uap. Pembangunan fisik Balai Yasa dimulai pada 1915 dan mulai beroperasi 1920. Menempati sebidang tanah di sebelah barat daya stasiun seluas 13,9 hek tare lebih.

Balai Yasa Manggarai mampu membuat sendiri berbagai jenis onderdil kereta api, menguji kereta, gerbong dan lokomotif yang baru datang dari Eropa. Pada era elektrifikasi kereta api, ketika Kereta Rel Listrik (KRL) Tanjung Priok–Jatinegara diresmikan pada 6 April 1925, Balai Yasa ini juga menanggani perbaikan kereta dan lokomotif listrik yang rusak.
Stasiun Manggarai, Saksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan dan Kemajuan Transportasi Indonesia

Kekinian, Stasiun Manggarai menjadi saksi kemajuan sistem transportasi kereta api. Pada 25 September 2021, Stasiun Manggarai mengoperasikan jalur layang (elevated track) untuk KRL Bogor Line. Pada lantai 2 bangunan baru, jalur 10, 11, 12, dan 13, difungsikan untuk melayani naik/turun pengguna KRL relasi Bogor/Depok-Jakarta Kota PP.

Stasiun Manggarai juga menjadi saksi sejumlah peristiwa bersejarah, sejak masa penjajahan hingga perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Nama wilayah Manggarai di Batavia mulai dikenal 400 tahun lalu, tatkala Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mulai mendatangkan orang-orang dari daerah taklukan VOC untuk dijadikan budak.

Walau terletak 10 kilometer dari Tembok Batavia (Kota Tua Jakarta), tempat tersebut terus berkembang menjadi Kampung Manggarai. Semakin berkembang ketika transportasi kereta api dikembangkan pemerintah Hindia Belanda dan berdirinya Stasiun Manggarai pada 1918. (Baca juga; 26 Hari di Batavia, Jejak Terakhir Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa )

Stasiun Manggarai menjadi saksi perjuangan bangsa Indonesia. Stasiun Manggarai menjadi awal keberangkatan rombongan Presiden Soekarno ketika pemindahan ibu kota sementara ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 menggunakan kereta luar biasa (KLB). Berbagai persiapan yang bersifat rahasia dilakukan. Deretan gerbong barang diletakkan di jalur 1. Sekitar pukul tujuh malam, KLB melintas sangat perlahan dari arah Pegangsaan melalui jalur 4. Kemudian KLB yang membawa rombongan Presiden Soekarno tiba di Yogyakarta.
Stasiun Manggarai, Saksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan dan Kemajuan Transportasi Indonesia

Kemudian Panglima Besar Jenderal Soedirman pun pernah singgah di Stasiun Manggarai untuk menghadiri perundingan gencatan senjata di Jakarta dengan Belanda. Kedatangan Sang Panglima Besar dan rombongan di Stasiun Manggarai pada Jumat 1 November 1946 disambut sorak sorai rakyat Indonesia.

Sebenarnya Paling Besar Jenderal Soedirman bisa turun di Stasiun Gambir dan langsung menuju Hotel Shutteraf (gedung Pertamina) yang ada persis di depan stasiun. Namun, Perdana Menteri Sutan Sjahrir sengaja agar rombongan Panglima Besar Jenderal Soedirman turun di Stasiun Manggarai kemudian diarak menuju hotel di Gambir.

Ini untuk menunjukkan kepada Belanda bahwa Republik Indonesia mempunyai panglima dan tentara yang hebat. Panglima Besar Jenderal Soedirman, didampingi Letjen R Oerip Soemohardjo, Mayjen Abdul Kadir, dan 80 pengawalnya diarak dan mendapat sambutan meriah rakyat Jakarta. Rombongan Jenderal Soedirman kembali ke Yogyakarta pada Selasa 5 November 1946 dari Stasiun Gambir.

Diolah dari berbagai sumber; heritage.kai.id, kereta api kita.
(wib)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1641 seconds (0.1#10.140)