26 Hari di Batavia, Jejak Terakhir Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa
loading...
A
A
A
Pada Kamis 8 April 1830, Pangeran Diponegoro dengan tubuh demam akibat malaria, untuk pertama kali menjejakkan kaki di Kota Batavia (sekarang Jakarta ). Selama 26 hari berada di kota yang berhawa panas, pemimpin Perang Jawa ini menunggu keputusan hukuman diasingkan ke Manado.
Pangeran Diponegoro tiba Batavia melalui Dermaga Pasar Ikan (Pelabuhan Sunda Kelapa) setelah tiga hari menempuh perjalanan laut dari Semarang menggunakan kapal uap SS Van der Capellen. Pangeran Diponegoro ditemani istri, saudara perempuannya, ipar laki-lakinya, dan 16 pengikut setianya.
Kereta Gubernur Jenderal dan para ajudan sudah berada di dermaga menunggu kedatangan Pangeran Diponegoro dan rombongan . Dengan kereta itulah mereka dibawa menuju ke Stadhuis atau Balai Kota Batavia (Gedung Museum Fatahillah).
Di sekitar pelabuhan, rombongan orang-orang Eropa menyaksikan kedatangan Pangeran Diponegoro. Mereka datang menggunakan kapal-kapal kecil yang disewa atau berkerumun di dermaga untuk melihat dari dekat tokoh perlawanan rakyat Jawa. (Baca juga; 190 Tahun Keris Kiai Nogo Siluman, Pusaka Simbol Kepemimpinan Tanah Jawa )
"Betapa berubah wajahnya, hal yang sudah semestinya, tatkala ia melihat ke arah mana kereta itu bergerak! Ia terhenyak ketika menjejakkan kaki di jalan masuk, jelas tampak tidak rela memasuki gedung besar yang tampak suram itu,” demikian kesaksian seorang pemuda asal Skotlandia, George Frank Davidson, yang tiba di Jawa pada 1823 untuk bekerja di perusahaan kakaknya, John Davidson.( Peter Carey, buku tentang P.Diponegoro, "Kuasa Ramalan")
Pangeran Diponegoro bersama istrinya, Raden Ayu Retnoningsih dan adik perempuannya, Raden Ayu Dipowiyono menempati dua kamar tempat pengasingannya di Stadhuis, berbagi dengan 16 pengikutnya. Dua kamar berlangit-langit rendah itu berukuran sekitar 4 x 5 meter dan memiliki jendela besar menghadap alun-alun Stadhuis (Stadhuisplein).
Dua kamar tersebut merupakan apartemen pribadi kepala dinas penjara Batavia yang sering digunakan untuk menahan para pembesar pribumi Nusantara dan Eropa. Namun, Pangeran Diponegoro tetap tersiksa karena suhu udara kota Batavia yang panas dan penyakit malaria yang dideritanya.
Pangeran Diponegoro tidak dipenjara di rumah tahanan yang berada di bawah Stadhuis. Berbeda dengan Kiai Mojo dan rombongannya yang pernah ditahan dalam keadaan mengerikan sejak awal 1829 sampai Februari 1830. Bahkan saudara kandung Kiai Mojo, Kiai Hasan Besari, meninggal hanya tiga bulan sebelumnya.
Pada masa itu, Stadhuis merupakan pusat pemerintahan kolonial Belanda di Batavia. Berbagai macam tahanan, mulai dari kasus kriminal hingga politik ditempatkan di sana sebelum menerima keputusan akhir Dewan Pengadilan Belanda. (Baca juga; Selidiki Kasus Narkoba di Jakarta, Begini Penampilan Jenderal Hoegeng Menyamar Jadi Hippies )
Pangeran Diponegoro tiba Batavia melalui Dermaga Pasar Ikan (Pelabuhan Sunda Kelapa) setelah tiga hari menempuh perjalanan laut dari Semarang menggunakan kapal uap SS Van der Capellen. Pangeran Diponegoro ditemani istri, saudara perempuannya, ipar laki-lakinya, dan 16 pengikut setianya.
Kereta Gubernur Jenderal dan para ajudan sudah berada di dermaga menunggu kedatangan Pangeran Diponegoro dan rombongan . Dengan kereta itulah mereka dibawa menuju ke Stadhuis atau Balai Kota Batavia (Gedung Museum Fatahillah).
Di sekitar pelabuhan, rombongan orang-orang Eropa menyaksikan kedatangan Pangeran Diponegoro. Mereka datang menggunakan kapal-kapal kecil yang disewa atau berkerumun di dermaga untuk melihat dari dekat tokoh perlawanan rakyat Jawa. (Baca juga; 190 Tahun Keris Kiai Nogo Siluman, Pusaka Simbol Kepemimpinan Tanah Jawa )
"Betapa berubah wajahnya, hal yang sudah semestinya, tatkala ia melihat ke arah mana kereta itu bergerak! Ia terhenyak ketika menjejakkan kaki di jalan masuk, jelas tampak tidak rela memasuki gedung besar yang tampak suram itu,” demikian kesaksian seorang pemuda asal Skotlandia, George Frank Davidson, yang tiba di Jawa pada 1823 untuk bekerja di perusahaan kakaknya, John Davidson.( Peter Carey, buku tentang P.Diponegoro, "Kuasa Ramalan")
Pangeran Diponegoro bersama istrinya, Raden Ayu Retnoningsih dan adik perempuannya, Raden Ayu Dipowiyono menempati dua kamar tempat pengasingannya di Stadhuis, berbagi dengan 16 pengikutnya. Dua kamar berlangit-langit rendah itu berukuran sekitar 4 x 5 meter dan memiliki jendela besar menghadap alun-alun Stadhuis (Stadhuisplein).
Dua kamar tersebut merupakan apartemen pribadi kepala dinas penjara Batavia yang sering digunakan untuk menahan para pembesar pribumi Nusantara dan Eropa. Namun, Pangeran Diponegoro tetap tersiksa karena suhu udara kota Batavia yang panas dan penyakit malaria yang dideritanya.
Pangeran Diponegoro tidak dipenjara di rumah tahanan yang berada di bawah Stadhuis. Berbeda dengan Kiai Mojo dan rombongannya yang pernah ditahan dalam keadaan mengerikan sejak awal 1829 sampai Februari 1830. Bahkan saudara kandung Kiai Mojo, Kiai Hasan Besari, meninggal hanya tiga bulan sebelumnya.
Pada masa itu, Stadhuis merupakan pusat pemerintahan kolonial Belanda di Batavia. Berbagai macam tahanan, mulai dari kasus kriminal hingga politik ditempatkan di sana sebelum menerima keputusan akhir Dewan Pengadilan Belanda. (Baca juga; Selidiki Kasus Narkoba di Jakarta, Begini Penampilan Jenderal Hoegeng Menyamar Jadi Hippies )