Radikalisme Bisa Diatasi jika Negara Hadir

Jum'at, 18 Desember 2020 - 10:05 WIB
loading...
Radikalisme Bisa Diatasi jika Negara Hadir
Foto: Ilustrasi/SINDOnews/Dok
A A A
JAKARTA - Maraknya isu radikalisme bukan isapan jempol belaka. Survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan generasi milenial rentan terpapar paham radikal.

Temuan BNPT pada 2020 menunjukkan indeks potensi radikalisme di masyarakat urban mencapai 12,3 persen dan di masyarakat rural mencapai 12,1 persen. Selain itu juga terjadi radikalisasi generasi muda dan netizen yang menunjukkan bahwa indeks potensi radikalisme pada generasi Z mencapai 12,7 persen; kemudian pada milenial mencapai 12,4 persen dan pada gen X mencapai 11,7 persen.

Direktur Moeslim Moderate Society, Zuhairi Misrawi, mengatakan, radikalisme marak sejak zaman reformasi, ketika kebebasan dibuka selebar-lebarnya, dan reformasi penegakan hukum sangat lemah terhadap ujaran kebencian, kelompok kekerasan, dan organisasi teroris.

"Ketika negara hadir dan polisi hadir, kita punya optimisme radikalisme dan terorisme bisa diatasi dengan baik," kata Zuhairi dalam diskusi daring 'Bahaya Radikalisme dan Terorisme bagi Kebhinekaan Indonesia'. (Baca juga: Intoleransi dan Radikalisme Ganggu Stabilitas Negara)

Menurutnya, ancaman radikalisme bisa dilihat dari beberapa hal, yakni maraknya paham radikal dan ekstremis, banyak narasi kekerasan di ruang publik terutama di media sosial yang disebarluaskan secara massif, dan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat.

"Paham itu tidak hanya di media sosial, tapi kelompoknya juga ada. Mereka secara terbuka menyebarkan pandangan dan pahamnya. Misalnya kita melihat Front Pembela Islam, banyak terlibat dalam kekerasan, selama ini mendapat pembiaran, misalnya terhadap Ahmadiyah, dan kasus penyerangan di Monas tahun 2009," tutur Zuhairi.

Untuk membenahi hal tersebut, kata dia, perlu ada pengarusutamaan moderasi dalam beragama. (Baca juga: Survei BNPT: 85% Milenial Rentan Terpapar Radikalisme)

"Negara harus hadir sebagai kekuatan untuk menegakkan hukum, seperti terhadap penyebaran ujaran kebencian, yang terakhir, pendidikan literasi kepada masyarakat, untuk membedakan mana informasi yang baik dan mana yang buruk," katanya.

Sementara itu, Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan tindakan tegas aparat keamanan menindak kelompok radikal patut diapresiasi. Namun, kata dia, tindakan tegas itu harus terukur.

“Saya mengapresiasi tindakan kepolisian, tapi memberikan catatan beberapa hal karena tidak berdiri tunggal. Negara hadir dalam konteks FPI untuk menunjukkan koersif power dalam menciptakan ketertiban sosial,” katanya.

Akan tetapi, kata dia, jangan lupa dalam hal radikalisme bukan satu jejaring persoalan. “Bukan the one and only, ada begitu banyak jejaring persoalan, ada begitu banyak kerumitan yang menuntut pak Jokowi dalam pemerintahnnya untuk mengambil tindakan-tindakan yang presisi,” katanya.

Dia menambahkan, aparat negara dalam menjalankan fungsi-fungsi kepublikannya mestinya tidak menjadikan agama sebagai preferensi dalam menjalankan tindakannya.

“Seharusnya kembali ke kitab suci negara yaitu konstitusi,” katanya, “Negara itu satu satunya entitas yang memiliki kekuatan koersif untuk menindak, sehingga tertib sosial itu ketika terganggu da nada kecenderungan ketidak tertiban sosial maka negar boleh turun dengan kekuatan koersif powernya.”

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi mengatakan upaya mengatasi radikalisme harus memperhatikan definisi.

“Definisi ini kemudian mempengaruhi bagaimana car mencegahnya dan bagaimana cara menindaknya,” kata dia. Indonesia, menurutnya, belum memiliki definisi baku terkait radikalisme. Hal itulah yang mempengaruhi pola di masyarakat.
(thm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1471 seconds (0.1#10.140)