Tawuran Berdarah Antar Remaja Jadi Budaya di Jabodetabek, Ini Penyebabnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tawuran antar kelompok remaja kerap terjadi di sejumlah daerah Jabodetabek dalam beberapa waktu belakangan ini, terlebih selama bulan Ramadhan. Tawuran biasanya terjadi malam hingga menjelang pagi hari.
Tak sedikit pemuda yang merenggut nyawanya dalam aksi tawuran tersebut. Tawuran antar kelompok pemuda tersebut bukan hanya meresahkan, tapi juga membahayakan. Tak sedikit juga yang jadi korban salah sasaran akibat aksi gagah-gagahan itu. Lantas, apa dugaan penyebab maraknya tawuran di Jabodetabek?
Pakar Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Prof Adrianus Meliala berpandangan, maraknya tawuran antar kelompok remaja di Jabodetabek karena energi anak muda tidak tersalurkan dengan baik selama pandemi Covid-19.
Hal itu bisa disebut juga denganoutlet release theory. Terlebih, pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama dua tahun di Indonesia membuat anak-anak muda tidak bisa banyak bermain dan berinteraksi sosial. Hal itu yang membuat anak muda lepas kontrol saat adanya pelonggaran protokol kesehatan (prokes) beberapa waktu belakangan.
”Kemungkinan tengah terjadi apa yang disebut outlet release theory. Jadi, karena energi yang ada selama ini terpendam tidak bisa keluar, maka saat ada outlet atau pelepasan, maka situasinya kacau. Mirip rusa masuk kota,” kata Adrianus, Minggu (10/4/2022).
”Situasi pandemi (khususnya fase 3) yang baru saja kita hadapi membuat kita tertekan kembali. Maka, saat kondisi mulai normal, orang-orang seperti mengalami kegembiraan luar biasa,” imbuhnya.
Mantan Komisioner Ombudsman Republik Indonesia mengatakan, ada perwujudan kegembiraan luar biasa dari para anak muda saat situasi sudah perlahan kembali normal. Mereka meluapkan kegembiraannya dengan berkumpul dan memperkuat kekompakan antar sesama rekannya.
”Salah satu 'kegembiraan' itu terwujud dalam bentuk berkumpul, memperkuat kekompakan yg selama ini lemah (disebut in-group feeling),” terang Adrianus.
”In-group feeling bisa timbul saat ada kelompok massa lain berpapasan dan ledek-ledekan. Tapi bisa juga musuh sengaja dicari agar kelompok kelihatan kompaknya. Ada-ada aja persoalan yang dijadikan pemicu,” sambungnya.
Adrianus meminta agar ada pengawasan dan perhatian lebih dari keluarga untuk anak-anaknya. Terutama, anak laki-laki yang menjelang dewasa. ”Selayaknya keluarga lebih mengetatkan pengawasan terhadap perilaku anak-anak tanggung mereka saat di luar rumah,” pungkasnya.
Tak sedikit pemuda yang merenggut nyawanya dalam aksi tawuran tersebut. Tawuran antar kelompok pemuda tersebut bukan hanya meresahkan, tapi juga membahayakan. Tak sedikit juga yang jadi korban salah sasaran akibat aksi gagah-gagahan itu. Lantas, apa dugaan penyebab maraknya tawuran di Jabodetabek?
Pakar Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Prof Adrianus Meliala berpandangan, maraknya tawuran antar kelompok remaja di Jabodetabek karena energi anak muda tidak tersalurkan dengan baik selama pandemi Covid-19.
Hal itu bisa disebut juga denganoutlet release theory. Terlebih, pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama dua tahun di Indonesia membuat anak-anak muda tidak bisa banyak bermain dan berinteraksi sosial. Hal itu yang membuat anak muda lepas kontrol saat adanya pelonggaran protokol kesehatan (prokes) beberapa waktu belakangan.
”Kemungkinan tengah terjadi apa yang disebut outlet release theory. Jadi, karena energi yang ada selama ini terpendam tidak bisa keluar, maka saat ada outlet atau pelepasan, maka situasinya kacau. Mirip rusa masuk kota,” kata Adrianus, Minggu (10/4/2022).
”Situasi pandemi (khususnya fase 3) yang baru saja kita hadapi membuat kita tertekan kembali. Maka, saat kondisi mulai normal, orang-orang seperti mengalami kegembiraan luar biasa,” imbuhnya.
Mantan Komisioner Ombudsman Republik Indonesia mengatakan, ada perwujudan kegembiraan luar biasa dari para anak muda saat situasi sudah perlahan kembali normal. Mereka meluapkan kegembiraannya dengan berkumpul dan memperkuat kekompakan antar sesama rekannya.
”Salah satu 'kegembiraan' itu terwujud dalam bentuk berkumpul, memperkuat kekompakan yg selama ini lemah (disebut in-group feeling),” terang Adrianus.
”In-group feeling bisa timbul saat ada kelompok massa lain berpapasan dan ledek-ledekan. Tapi bisa juga musuh sengaja dicari agar kelompok kelihatan kompaknya. Ada-ada aja persoalan yang dijadikan pemicu,” sambungnya.
Adrianus meminta agar ada pengawasan dan perhatian lebih dari keluarga untuk anak-anaknya. Terutama, anak laki-laki yang menjelang dewasa. ”Selayaknya keluarga lebih mengetatkan pengawasan terhadap perilaku anak-anak tanggung mereka saat di luar rumah,” pungkasnya.
(ams)