NU: Cegah Regresi Demokrasi Selama Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 ikut mempercepat penurunan kualitas demokrasi Indonesia dan banyak negara. Meski demikian, demokrasi dianggap bisa terus bertahan di tengah tekanan pandemi.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nadhlatul Ulama ( PBNU ) Helmy Faishal Zaini mengatakan, Economist Intelligent Unit (EIU) mencatat penurunan kualitas demokrasi Indonesia dan banyak negara selama pandemi. “Ada sejumlah tantangan bagi demokrasi,” ujarnya dalam diskusi Menuju Bali Democracy Forum: Demokrasi di Era Pandemi, Menjawab Tantangan Dari Setiap Negeri di Jakarta, Kamis (2/12/2021).
Baca juga: Gus Ipul Ingatkan Kepengurusan PBNU Hanya Sampai 25 Desember 2021
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah dan pakar politik internasional Universitas Paramadina Mahmud Syaltout juga hadir dalam diskusi itu. Mereka membahas berbagai aspek demokrasi di era pandemi.
Helmy yang juga anggota Komisi I DPR menyebut tantangan itu antara lain dari dunia digital yang semakin marak digunakan selama pandemi. “Paham-paham transnasional disebar melalui pelantar digital. Paham-paham itu memanfaatkan demokrasi untuk menghapuskan demokrasi,” katanya.
Prinsip demokrasi yang membolehkan perbedaan pendapat membuat penyebaran paham itu tidak mungkin dilarang. Hal yang bisa dilakukan meningkatkan pemahaman masyarakat atas isu-isu itu. Di sisi lain, perlu juga dipahami demokrasi bukan hanya soal hak berbeda pendapat. Padahal, kematangan demokrasi lebih dari hal itu. Dibutuhkan kesiapan dan kesabaran mengembangkan demokrasi karena proses demokratisasi membutuhkan waktu panjang.
Menurut dia, tidak tepat jika menganggap hanya ada satu versi demokrasi yang benar. Demokrasi tidak hanya dari paradigm sekuler yang memisahkan sepenuhnya agama dan kehidupan publik, termasuk sistem hukum dan politik. Demokrasi juga bisa menggunakan paradigma simbiotik seperti diterapkan di Indonesia.
Syaltout mengatakan, dampak nyata pandemi adalah tekanan ekonomi. Pada situasi ini, demokrasi transaksional semakin marak dan para calon petahana di pemilu cenderung diuntungkan.
Tekanan ekonomi juga membuat sebagian orang kesulitan menerima keragaman. Padahal, demokrasi membutuhkan keragaman. “Ini tercermin dari kasus Charlie Hebdo di Prancis. Selama pandemi seperti kelompok lain, toko-toko milik warga muslim Prancis tutup. Bisnis jasa mereka tidak berjalan. Mereka jadi sensitif,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal Gerakan Pemuda Ansor itu.
Sementara itu, Faizasyah mengatakan, pandemi memberi kesempatan kepada negara demokrasi untuk mencari model keseimbangan baru. Sebab, ada kebutuhan pengendalian pandemi dan di sisi lain ada kebutuhan tetap menjaga hak-hak warga.
Baca juga: Reuni 212 di Tengah Pandemi, Direktur Eksekutif KPMH: Harusnya Sewa Gedung
Pada negara-negara demokrasi, percobaan mencari keseimbangan itu dimungkinkan karena pemerintah dan masyarakat madani bisa bebas menyatakan pendapatnya. Diskusi-diskusi itu menjadi salah satu cara mencari keseimbangan baru di tengah pandemi.
Kondisi itu sulit diharapkan pada negara-negara otoriter. Lewat Bali Democracy Forum (BDF), Indonesia ingin menyediakan ajang bagi masing-masing negara berbagi pengalamannya dalam mengelola pandemi dan demokrasi. BDF tidak ditujukan untuk membandingkan beragam versi demokrasi. BDF juga tidak bermaksud menyeragamkan beragam versi demokrasi di berbagai negara. “Demokrasi tidak monolitik, amat berwarna,” ucapnya.
Dia menyebut BDF sejak awal tidak dirancang sebagai ajang mencari format terbaik demokrasi. BDF dirancang menjadi forum berbagi untuk negara yang sedang mempraktikkan atau masih berminat pada demokrasi. Sebab, proses demokratisasi tidak selamanya mulus. Di Timur Tengah dan Afrika Utara, demokratisasi yang dikenal sebagai Arab Spring tidak sepenuhnya menghasilkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Kondisi itu bisa memicu penurunan kepercayaan warga pada demokrasi.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nadhlatul Ulama ( PBNU ) Helmy Faishal Zaini mengatakan, Economist Intelligent Unit (EIU) mencatat penurunan kualitas demokrasi Indonesia dan banyak negara selama pandemi. “Ada sejumlah tantangan bagi demokrasi,” ujarnya dalam diskusi Menuju Bali Democracy Forum: Demokrasi di Era Pandemi, Menjawab Tantangan Dari Setiap Negeri di Jakarta, Kamis (2/12/2021).
Baca juga: Gus Ipul Ingatkan Kepengurusan PBNU Hanya Sampai 25 Desember 2021
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah dan pakar politik internasional Universitas Paramadina Mahmud Syaltout juga hadir dalam diskusi itu. Mereka membahas berbagai aspek demokrasi di era pandemi.
Helmy yang juga anggota Komisi I DPR menyebut tantangan itu antara lain dari dunia digital yang semakin marak digunakan selama pandemi. “Paham-paham transnasional disebar melalui pelantar digital. Paham-paham itu memanfaatkan demokrasi untuk menghapuskan demokrasi,” katanya.
Prinsip demokrasi yang membolehkan perbedaan pendapat membuat penyebaran paham itu tidak mungkin dilarang. Hal yang bisa dilakukan meningkatkan pemahaman masyarakat atas isu-isu itu. Di sisi lain, perlu juga dipahami demokrasi bukan hanya soal hak berbeda pendapat. Padahal, kematangan demokrasi lebih dari hal itu. Dibutuhkan kesiapan dan kesabaran mengembangkan demokrasi karena proses demokratisasi membutuhkan waktu panjang.
Menurut dia, tidak tepat jika menganggap hanya ada satu versi demokrasi yang benar. Demokrasi tidak hanya dari paradigm sekuler yang memisahkan sepenuhnya agama dan kehidupan publik, termasuk sistem hukum dan politik. Demokrasi juga bisa menggunakan paradigma simbiotik seperti diterapkan di Indonesia.
Syaltout mengatakan, dampak nyata pandemi adalah tekanan ekonomi. Pada situasi ini, demokrasi transaksional semakin marak dan para calon petahana di pemilu cenderung diuntungkan.
Tekanan ekonomi juga membuat sebagian orang kesulitan menerima keragaman. Padahal, demokrasi membutuhkan keragaman. “Ini tercermin dari kasus Charlie Hebdo di Prancis. Selama pandemi seperti kelompok lain, toko-toko milik warga muslim Prancis tutup. Bisnis jasa mereka tidak berjalan. Mereka jadi sensitif,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal Gerakan Pemuda Ansor itu.
Sementara itu, Faizasyah mengatakan, pandemi memberi kesempatan kepada negara demokrasi untuk mencari model keseimbangan baru. Sebab, ada kebutuhan pengendalian pandemi dan di sisi lain ada kebutuhan tetap menjaga hak-hak warga.
Baca juga: Reuni 212 di Tengah Pandemi, Direktur Eksekutif KPMH: Harusnya Sewa Gedung
Pada negara-negara demokrasi, percobaan mencari keseimbangan itu dimungkinkan karena pemerintah dan masyarakat madani bisa bebas menyatakan pendapatnya. Diskusi-diskusi itu menjadi salah satu cara mencari keseimbangan baru di tengah pandemi.
Kondisi itu sulit diharapkan pada negara-negara otoriter. Lewat Bali Democracy Forum (BDF), Indonesia ingin menyediakan ajang bagi masing-masing negara berbagi pengalamannya dalam mengelola pandemi dan demokrasi. BDF tidak ditujukan untuk membandingkan beragam versi demokrasi. BDF juga tidak bermaksud menyeragamkan beragam versi demokrasi di berbagai negara. “Demokrasi tidak monolitik, amat berwarna,” ucapnya.
Dia menyebut BDF sejak awal tidak dirancang sebagai ajang mencari format terbaik demokrasi. BDF dirancang menjadi forum berbagi untuk negara yang sedang mempraktikkan atau masih berminat pada demokrasi. Sebab, proses demokratisasi tidak selamanya mulus. Di Timur Tengah dan Afrika Utara, demokratisasi yang dikenal sebagai Arab Spring tidak sepenuhnya menghasilkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Kondisi itu bisa memicu penurunan kepercayaan warga pada demokrasi.
(jon)