Rentan Dikriminalisasi, Notaris Minta Perlindungan Profesi Dihormati

Rabu, 24 November 2021 - 17:56 WIB
loading...
Rentan Dikriminalisasi, Notaris Minta Perlindungan Profesi Dihormati
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita. Foto: Dok SINDOnews
A A A
JAKARTA - Merebaknya isu over kriminalisasi terhadap profesi notaris kian santer belakangan ini. Isu mengemuka lantaran berbagai pemberitaan terkait kasus mafia tanah.

Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita, over kriminalisasi artinya sesuatu yang merupakan tindak pidana ditetapkan melalui cara-cara yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dia sampaikan dalam diskusi bertema “Over Kriminalisasi Terhadap Pelaksanaan UUJN (Undang-Undang Jabatan Notaris)”.

Diskusi diselenggarakan oleh kelompok notaris pendengar dan pemikir (Kelompecapir) sebuah forum beranggotakan notaris, Selasa (23/11/2021). Diskusi juga menghadirkan Guru Besar Hukum Pidana UGM Prof Marcus Priyo Gunarto.
Baca juga: 2 Notaris Kasus Mafia Tanah Nirina Zubir Ditahan di Rutan Polda Metro Jaya

Romli mengatakan, fakta adanya notaris yang mengalami kriminalisasi dalam menjalankan jabatannya harus dilihat, apakah termasuk kategori kriminalisasi atau over kriminalisasi. “Jika kriminalisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka positif. Namun jika over kriminalisasi baru dosa,” ujarnya dalam diskusi yang dimoderatori Dewi Tenty, inisiator dan pendiri Kelompecapir.

Dalam menjalankankan jabatannya notaris memiliki payung hukum yakni UU No 30 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Meskipun ruang lingkup pekerjaan notaris adalah keperdataan terkait pembuatan akta di mana dalam UU semua sanksinya peringatan dan administratif.

“Tetapi tidak berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku sepanjang bukti-bukti yang diperoleh penyelidik cukup, maka bisa dikenakan satu tindak pidana,” kata Romli.

Dari ketentuan yang ada, dalam logika akal sehat tidak mungkin notaris melakukan penipuan, penggelapan dan pemalsuan. Jika itu terjadi mungkin ada orang lain yang berhubungan dengan notaris yang memalsukan sehingga melakukan perbuatan yang memenuhi unsur tersebut. “Kalau memang notaris berinsiatif melakukan penipuan, pemalsuan, penggelapan. Aneh ini kekecualian dari norma yang tidak biasa,” ungkapnya.

Namun, di luar perundang-undangan ada hal penting yang juga harus dilakukan, yakni terkait pengawasan jabatan notaris. Permasalahan yang dihadapi oleh notaris secara keseluruhan adalah belum adanya koordinasi, sinergi antara majelis pengawas, sinergi pengurus pusat dan daerah jika tidak ditangani dengan baik maka masalah-masalah yang dihadapi notaris dalam ruang lingkup keperdataan bisa menjadi pidana.

Prof Marcus Gunarto menyampaikan kriminalisasi dalam berbagai literatur dikatakan perbuatan yang semula bukan pidana menjadi pidana yaitu memformulasikan satu perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana, namun karena ada kebijakan kriminal itu ditetapkan sebagai perbuatan tindak pidana.

“Namun, dalam sehari-hari ada istilah juga kriminalisasi yaitu maknanya untuk menetapkan tersangka atau terdakwa atas perbuatan yang tidak dilakukannya,” ujar Marcus.

Sedangkan, over kriminalisasi adalah penggunaan sanksi pidana yang melampaui batas. Dalam kaitannya dengan jabatan notaris, tidak ada ketentuan pidana diatur dalam jabatan UU notaris, sehingga kriminalisasi secara potensial terjadi berdasarkan undang-undang lain. Dalam konteks penegakan hukum sebagai seorang notaris tidak dapat dipastikan sebagai tersangka, namun jika ada notaris indikasi tindak pidana yang dilakukan dapat dipastikan akan diminta sebagai saksi.

“Jadi, kriminalisasi dalam proses tersebut sebagai tersangka bukan sebagai saksi,namun harus ditemukan adanya maksud-maksud jahat atau mensrea,” ucapnya.

Dalam konteks melindungi profesi notaris, pemanggilan notaris baik sebagai saksi maupun tersangka selain ditentukan dalam KUHAP juga diatur dalam UU Jabatan Notaris.

Menurut Dewi Tenty, notaris yang juga inisator kelompecapir, diskusi diselenggarakan lantaran adanya pemberitaan yang masif profesi notaris yang dikaitkan dengan mafia tanah. Bahkan, terjadi kasus kriminalisasi yang menimpa notaris dan PPAT seperti halnya sebuah puncak gunung es masih banyak lagi kasus-kasus yang dialami notaris di berbagai daerah.

“Salah satu faktornya yang kami lihat adalah UU Jabatan Notaris dinilai mengatur terlalu rinci tentang kewajiban dan larangan terhadap notaris sehingga menjadikan bumerang bagi notaris itu sendiri,” ujar Dewi.

UUJN sebagai payung hukum bagi notaris hendaknya dikaji kembali dengan merevisi pasal-pasal yang rentan terhadap pidana bagi notaris. Harus pula segera proses legislasi UU tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Dalam pandangan Dewi Tenty, diskusi ini menghasilan poin penting di antaranya adalah sinergi dari pengurus organisasi profesi dengan majelis pengawas notaris mulai dari tingkat daerah, wilayah sampai pusat agar perlindungan terhadap notaris maksimal.

“Harmonisasi antarlembaga juga makin penting mengingat kini merebak biro jasa yang dibuat dengan KLBI yang sudah ditetapkan oleh BKPM tentang pengurusan badan hukum dan pertanahan yang notabene merupakan domain notaris dan PPAT sebagai pejabat umum,” jelasnya.
Baca juga: Buru Notaris Mafia Tanah Nirina Zubir, Polisi: Tak Ada Tempat Aman Bagi Buron

Kelompecapir juga mencatat perlunya dibuat suatu pemahaman antara notaris dengan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman untuk menyamakan presepsi tugas dan wewenang notaris sebagai pejabat umum. Bahwa akta notaris dan PPAT adalah akta autentik di mana sebagai alat bukti, akta itu “sudah berbicara” sehingga jika terjadi permasalahan kemudian hari tak perlu lagi keterangan lain dari notaris dan PPAT, yang bahkan sering menyeret notaris dan PPAT pada kriminalisasi.

Terkait penahanan notaris dan PPAT tidak diperlukan jika terjadi suatu kasus. Sebab, alasan penahanan menurut UU hanya jika dikhawatirkan yang bersangkutan melarikan diri dan menghilangkan alat bukti. Notaris tak mungkin seperti itu, karena kantornya jelas dan ada data sentralnya baik di Kemenkumham maupun Badan Pertanahan Nasional (BPN). Akta notaris dalam suatu proses pidana hanya diperlukan pada tahap “penyelidikan”.

Dewi juga meminta agar diberlakukan asas ultimum remedium, hukum pidana hendaknya dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Notaris dan PPAT sebagai pejabat umum harus memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat berdasarkan UUJN dan Peraturan Jabatan PPAT seharusnya melaksanakan pekerjaannya lebih ke arah perdata atau administrasi bukan kepada hukum pidana.

“Serta asas restoratif justice yang merupakan alternatif dalam hukum pidana yang bertujuan membangun peradilan pidana yang peka tentang masalah korban bukan penekanan pada hukuman,” ucapnya.

Terakhir, UU Jabatan Notaris mengamanatkan notaris yang juga berfungsi sosial yaitu melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehubungan dengan pembuatan akta yang akan dibuat. “Jangan sampai fungsi ini disalahartikan para penegak hukum dalam “twilight crime” menjadikan notaris masuk ke dalam “meeting of mind”, menyuruh melakukan atau turut membantu melakukan,” kata Dewi Tenty.
(jon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1459 seconds (0.1#10.140)