Dewan Pers Sesalkan Kekerasan dan Intimidasi terhadap Jurnalis di Acara Diskusi GMPG
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Pers akan menindaklanjuti laporan dari dua jurnalis korban kekerasan dan intimidasi oleh massa saat acara diskusi yang diadakan Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta, Rabu (26/7/2023).
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, pihaknya menyampaikan rasa prihatin atas tindakan kekerasan yang dialami oleh pekerja jurnalis saat sedang menjalankan tugas jurnalistik.
"Satgas antikekerasan sudah menyampaikan bahwa ini sudah merupakan pelanggaran terhadap kode etik, karena berupaya menghalangi fungsi wartawan untuk mencari berita. Siapapun dia harus memperoleh hukuman sebagaimana yang diatur perundang-undangan," ujar Ninik Rahayu saat menerima laporan dari perwakilan perusahaan media kedua jurnalis korban kekerasan dan intimidasi, Kamis (27/7/2023).
Ia meminta para korban untuk tidak melakukan justifikasi terhadap pelaku dan menyerahkan kepada pihak kepolisian yang melakukan penyelidikan atas kasus penganiyaan tersebut.
"Yang kita tahu teman-teman media datang ke acara penyelenggaraan diskusi yang menjadi sumber berita yang perlu disampaikan kepada publik. Lembaga tersebut merupakan sayap partai yang sedang berkontestasi dalam Pemilu 2024. Orang-orang yang datang di situ pasti ada tanggung jawab partai, diketahui, diikutsertakan, diizinkan untuk mengamankan atau apa pun," ucapnya.
Namun pada kenyataannya ada orang di dalam kawasan tersebut yang melaju aksi kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas wartawan. "Tindakan meminta maaf yang sudah dilakukan dengan menyampaikan permintaan maaf oleh pelaku, itu langkah yang baik, perlu diapresiasi," tandasnya.
Meski demikian, lanjut Ninik, perlu ada tanggung jawab dari pelaku karena bentuknya kekerasan fisik. Sebab pelaku hendak merusak alat dokumentasi kedua jurnalis.
"Dia inginnya menghentikan, menghancurkan, menghilangkan atau apapun. Menurut saya peristiwa ini tidak sepele karena ini peristiwa yang akan terus berulang kalau tidak ditindak," tegas Ninik.
Ia menyebutkan apabila hal tersebut hanya berakhir damai dan tidak ditindaklanjuti oleh pihak terkait, maka kejadian serupa ke depannya akan dianggap biasa-biasa saja kalau sudah ada permintaan maaf.
Ninik menyoroti dalam mendekati tahun Pemilu 2024, maka intensitas dan suhu perpolitikan nasional akan semakin panas, sehingga gesekan antara jurnalis dengan pihak yang di liput harus diantisipasi.
"Tadi Ketua Komisi Pengaduan sudah berkomunikasi dengan pihak terkait agar menjadi pembelajaran. Karena dalam kick off Pemilu, Dewan Pers sudah berharap seluruh partai yang jumlahnya 19, penyelenggara pemilu agar transparan, sehingga dapat dimanfaatkan awak media untuk disampaikan ke publik. Karena hak publik untuk tahu. Dengan informasi yang terbuka partisipasi masyarakat akan tinggi. Kalau ditutup-tutupi bagaimana masyarakat akan ikut dalam Pemilu 2024," kata dia.
Menurut Ninik, upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam mengheningkan liputan dan kerja jurnalistik tidak dibenarkan dengan alasan apa pun, apalagi terkait kepentingan publik dan dilakukan di ruang publik.
"Kita harus kembali ke sana, partai politik harus terbuka, transparan. Begitu juga penyelenggara pemilu, jangan pelit terhadap pemberitaan karena masyarakat ingin tahu. Nah, yang membantu ingin tahu adalah teman-teman media, nah kalau media dihalangi, maka konsolidasi demokrasi nya tidak terjadi," tambahnya.
Dewan Pers, kata Ninik, mengecam ada upaya menghalangi untuk memperoleh informasi yang merupakan hak publik terkait diskusi di lokasi tersebut. Ia menjelaskan, media dalam menjalankan tugasnya memang tidak perlu menunggu undangan, harus mengejar informasi, mengolah informasi.
"Kalau mereka (pihak yang diliput) tidak setuju, mereka punya hak jawab, jangan main kasar. Itu saya kira. Pokoknya yang penting jangan marah-marah, jangan dibalas dengan kemarahan, kita senyum saja tapi tetap pada koridor diproses secara hukum," tendasnya.
Ia juga berharap dari perusahaan menyiapkan konseling kepada para korban terkait kasus ini.
"Kalau di pusat saja kita tidak bisa tindak lanjuti bagaimana di daerah. Simtom kecil-kecil seperti ini harus kita tindaklanjuti," ucapnya.
"Kalau kekerasan fisik tidak bisa tipiring. Tipiring itu pelanggaran administrasi seperti tilang, kemarin dibahas di pleno dan MOU dengan kepolisian. Tapi memang perlu Peraturan Kapolri (Perkap) yang teknis nya detail di daerah," kata dia.
Dewan Pers juga tengah menyusun kurikulum terkait jurnalistik di berbagai lembaga agar dapat menghormati proses kerja jurnalistik. "Kami sedang mendorong integrasi kurikulum pers di kepolisian. Bukan kami minta jadi narasumber, yang kita bangun sistem kurikulum nya. Nanti semua orang bisa mengajarkan, kita memantau hasilnya," ucap Ninik Rahayu.
Ia juga mendorong perusahaan media untuk mengupayakan pemulihan terhadap korban. "Bagaimanapun traumatik pasti ada. Meskipun mereka ceria dan tegar yang mengalami aksi kekerasan. Kita di Dewan Pers juga tengah menyusun aturan terkait proses pemulihan baik fisik maupun psikis bagi pers yang menjadi korban kekerasan dan intimidasi," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana menyebutkan, pihaknya sudah mendapatkan laporan dan akan segera menindaklanjuti kepada instansi terkait.
"Saya ucapkan terima kasih atas yang hadir. Kita sangat prihatin atas kejadian ini. Memang menjelang pemilu ini perlu kita antisipasi berbagai gesekan seperti ini. Baik terima kasih, kita sudah lengkap mendapatkan laporan dan kronologis," kata Yadi.
Ia menyebutkan, AJI dan JTI yang tergabung dalam Satgas Anti Kekerasan Dewan Pers juga akan mendampingi langsung terkait kasus kekerasan terhadap kedua jurnalis yang mengalami kekerasan dan intimidasi.
"Kita sudah analisa disini, problem nya adalah polisi menggunakan tipiring, KUHP. Kita berharap memang Pasal 18 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dimasukkan dalam perkara ini, karena perkara ini melanggar Pasal 4," kata Yadi.
"Ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya ada kejadian di Lodan Ancol dan pelakunya sudah ditangkap, kemudian di Kejagung saat pemeriksaan Airlangga, dan ketiga di Restoran Pulau Dua Senayan. Prosesnya harus sesuai hukum, UU Pers harus disematkan. Jangan hanya Pasal 352 KUHP Penganiayaan Ringan dan Pasal 335 KUHP tentang Ancaman," pungkas Yadi.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, pihaknya menyampaikan rasa prihatin atas tindakan kekerasan yang dialami oleh pekerja jurnalis saat sedang menjalankan tugas jurnalistik.
"Satgas antikekerasan sudah menyampaikan bahwa ini sudah merupakan pelanggaran terhadap kode etik, karena berupaya menghalangi fungsi wartawan untuk mencari berita. Siapapun dia harus memperoleh hukuman sebagaimana yang diatur perundang-undangan," ujar Ninik Rahayu saat menerima laporan dari perwakilan perusahaan media kedua jurnalis korban kekerasan dan intimidasi, Kamis (27/7/2023).
Ia meminta para korban untuk tidak melakukan justifikasi terhadap pelaku dan menyerahkan kepada pihak kepolisian yang melakukan penyelidikan atas kasus penganiyaan tersebut.
"Yang kita tahu teman-teman media datang ke acara penyelenggaraan diskusi yang menjadi sumber berita yang perlu disampaikan kepada publik. Lembaga tersebut merupakan sayap partai yang sedang berkontestasi dalam Pemilu 2024. Orang-orang yang datang di situ pasti ada tanggung jawab partai, diketahui, diikutsertakan, diizinkan untuk mengamankan atau apa pun," ucapnya.
Namun pada kenyataannya ada orang di dalam kawasan tersebut yang melaju aksi kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas wartawan. "Tindakan meminta maaf yang sudah dilakukan dengan menyampaikan permintaan maaf oleh pelaku, itu langkah yang baik, perlu diapresiasi," tandasnya.
Meski demikian, lanjut Ninik, perlu ada tanggung jawab dari pelaku karena bentuknya kekerasan fisik. Sebab pelaku hendak merusak alat dokumentasi kedua jurnalis.
"Dia inginnya menghentikan, menghancurkan, menghilangkan atau apapun. Menurut saya peristiwa ini tidak sepele karena ini peristiwa yang akan terus berulang kalau tidak ditindak," tegas Ninik.
Ia menyebutkan apabila hal tersebut hanya berakhir damai dan tidak ditindaklanjuti oleh pihak terkait, maka kejadian serupa ke depannya akan dianggap biasa-biasa saja kalau sudah ada permintaan maaf.
Ninik menyoroti dalam mendekati tahun Pemilu 2024, maka intensitas dan suhu perpolitikan nasional akan semakin panas, sehingga gesekan antara jurnalis dengan pihak yang di liput harus diantisipasi.
"Tadi Ketua Komisi Pengaduan sudah berkomunikasi dengan pihak terkait agar menjadi pembelajaran. Karena dalam kick off Pemilu, Dewan Pers sudah berharap seluruh partai yang jumlahnya 19, penyelenggara pemilu agar transparan, sehingga dapat dimanfaatkan awak media untuk disampaikan ke publik. Karena hak publik untuk tahu. Dengan informasi yang terbuka partisipasi masyarakat akan tinggi. Kalau ditutup-tutupi bagaimana masyarakat akan ikut dalam Pemilu 2024," kata dia.
Menurut Ninik, upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam mengheningkan liputan dan kerja jurnalistik tidak dibenarkan dengan alasan apa pun, apalagi terkait kepentingan publik dan dilakukan di ruang publik.
"Kita harus kembali ke sana, partai politik harus terbuka, transparan. Begitu juga penyelenggara pemilu, jangan pelit terhadap pemberitaan karena masyarakat ingin tahu. Nah, yang membantu ingin tahu adalah teman-teman media, nah kalau media dihalangi, maka konsolidasi demokrasi nya tidak terjadi," tambahnya.
Dewan Pers, kata Ninik, mengecam ada upaya menghalangi untuk memperoleh informasi yang merupakan hak publik terkait diskusi di lokasi tersebut. Ia menjelaskan, media dalam menjalankan tugasnya memang tidak perlu menunggu undangan, harus mengejar informasi, mengolah informasi.
"Kalau mereka (pihak yang diliput) tidak setuju, mereka punya hak jawab, jangan main kasar. Itu saya kira. Pokoknya yang penting jangan marah-marah, jangan dibalas dengan kemarahan, kita senyum saja tapi tetap pada koridor diproses secara hukum," tendasnya.
Ia juga berharap dari perusahaan menyiapkan konseling kepada para korban terkait kasus ini.
"Kalau di pusat saja kita tidak bisa tindak lanjuti bagaimana di daerah. Simtom kecil-kecil seperti ini harus kita tindaklanjuti," ucapnya.
"Kalau kekerasan fisik tidak bisa tipiring. Tipiring itu pelanggaran administrasi seperti tilang, kemarin dibahas di pleno dan MOU dengan kepolisian. Tapi memang perlu Peraturan Kapolri (Perkap) yang teknis nya detail di daerah," kata dia.
Dewan Pers juga tengah menyusun kurikulum terkait jurnalistik di berbagai lembaga agar dapat menghormati proses kerja jurnalistik. "Kami sedang mendorong integrasi kurikulum pers di kepolisian. Bukan kami minta jadi narasumber, yang kita bangun sistem kurikulum nya. Nanti semua orang bisa mengajarkan, kita memantau hasilnya," ucap Ninik Rahayu.
Ia juga mendorong perusahaan media untuk mengupayakan pemulihan terhadap korban. "Bagaimanapun traumatik pasti ada. Meskipun mereka ceria dan tegar yang mengalami aksi kekerasan. Kita di Dewan Pers juga tengah menyusun aturan terkait proses pemulihan baik fisik maupun psikis bagi pers yang menjadi korban kekerasan dan intimidasi," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana menyebutkan, pihaknya sudah mendapatkan laporan dan akan segera menindaklanjuti kepada instansi terkait.
"Saya ucapkan terima kasih atas yang hadir. Kita sangat prihatin atas kejadian ini. Memang menjelang pemilu ini perlu kita antisipasi berbagai gesekan seperti ini. Baik terima kasih, kita sudah lengkap mendapatkan laporan dan kronologis," kata Yadi.
Ia menyebutkan, AJI dan JTI yang tergabung dalam Satgas Anti Kekerasan Dewan Pers juga akan mendampingi langsung terkait kasus kekerasan terhadap kedua jurnalis yang mengalami kekerasan dan intimidasi.
"Kita sudah analisa disini, problem nya adalah polisi menggunakan tipiring, KUHP. Kita berharap memang Pasal 18 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dimasukkan dalam perkara ini, karena perkara ini melanggar Pasal 4," kata Yadi.
"Ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya ada kejadian di Lodan Ancol dan pelakunya sudah ditangkap, kemudian di Kejagung saat pemeriksaan Airlangga, dan ketiga di Restoran Pulau Dua Senayan. Prosesnya harus sesuai hukum, UU Pers harus disematkan. Jangan hanya Pasal 352 KUHP Penganiayaan Ringan dan Pasal 335 KUHP tentang Ancaman," pungkas Yadi.
(thm)