Proyek Reklamasi, dari Kontroversi, Korupsi, hingga Penuhi Janji
A
A
A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta dipastikan akan meninjau ulang proyek pulau reklamasi di teluk Jakarta. Langkah pertama yang diambil adalah dengan menarik kembali 2 Raperda yang sudah di meja DPRD DKI dan membatalkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) di 3 pulau reklamasi, yakni pulau C, pulau D, dan pulau G.
Perjalanan proyek reklamasi ini memang cukup panjang, dimulai dari dikeluarkannya Kepres No.52 Tahun 1995 oleh Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995. Kepres ini dibuat pemerintah pusat agar kawasan pantai utara menjadi kawasan andalan yang diartikan sebagai kawasan yang mempunyai nilai strategis dari sudut pandang ekonomi dan perkembangan kota.
Namun harga yang harus dibayar dari proyek reklamasi ini cukup mahal, terutama dari sisi ekosistem laut dan pendapatan warga sekitar pantai yang kebanyakan sebagai nelayan dan menggantungkan hidupnya dari laut.
Dalam prosesnya, proyek reklamasi ini tak berjalan mulus karena pada tahun 2003, Menteri Lingkungan Hidup menilai kalau proyek tersebut tidak layak dari segi lingkungan yang diperkuat dengan studi AMDAL. Namun SK Menteri No.14 tahun 2003 yang dikeluarkan Menteri LH pada 19 Februari 2003 mendapat gugatan dari para pengembang.
Di persidangan PTUN, majelis hakim mengabulkan gugatan para pengembang. Kemenangan para pengembangan juga mendapat perlawanan, di tingkat Kasasi majelis hakim kembali memenangkan Menteri LH.
Pada tahun 2012, di era Gubernur Fauzi Bowo, DPRD DKI Jakarta mengesahkan Perda DKI No.1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Dalam perda ini, Kawasan Tengah Pantura akan dijadikan lokasi program pengembangan baru di DKI Jakarta.
Kendati begitu, proyek reklamasi baru dimulai tahun 2015 ketika Basuki T Purnama (Ahok) naik menjadi Gubernur DKI menggantikan Joko Widodo. Saat itu Ahok mengeluarkan izin reklamasi untuk beberapa pulau.
Dalam pro kontra, Ahok tetap keukeuh melanjutkan proyek reklamasi . Bahkan ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menghentikan proyek tersebut setelah melakukan rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, proyek tetap dijalankan. Ahok menganggap kalau penghentian proyek reklamasi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan hanya rekomendasi saja.
(Baca: Rizal Ramli Hentikan Sementara Proyek Reklamasi Teluk Jakarta )
Baru setelah Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kementerian Keluatan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan moratorium agar reklamasi dihentikan , Ahok tak berkutik. Bahkan DPR RI juga meminta agar proyek reklamasi dihentikan secara permanen , namun harus dilihat juga dari Amdalnya.
Untuk mengetahui lebih jauh proyek reklamasi, Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mendatangi pulau D. Di hadapan para pengembang, Rizal dengan tegas menyatakan kalau pengembang tidak bisa seenaknya mengatur soal reklamasi dan harus mengikuti aturan hukum yang ada. (Baca juga: Rizal Ramli: Negara Tak Bisa Diatur Pengembang Soal Reklamasi )
Pukulan telak bagi Ahok dan para pengembang juga datang dari putusan PTUN yang memenangkan gugatan para nelayan . Nelayan menggugat SK Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra. Mendengar putusan ini nelayan langsung sujud syukur di ruang sidang PTUN.
Sekali lagi, kendati kalah di persidangan Ahok tetap ngotot untuk melanjutkan proyek reklamasi. Pemprov DKI berencana mengajukan banding terkait putusan itu. Tak hanya itu, PT Muara Wisesa Samudra juga ikut melakukan banding . (Baca: Keok Digugat Nelayan, Ahok Ngotot Lanjutkan Proyek Reklamasi )
Saat Ahok ngotot melanjutkan proyek reklamasi, Menko bidang Kemaritiman Rizal Ramli ambil sikap tegas soal izin reklamasi Pulau G. Rizal Ramli mengatakan kalau pembangunan Pulau G membahayakan dan terindentifikasi masuk dalam pelanggaran kategori berat. (Baca juga: Pelanggaran Berat, Rizal Ramli Batalkan Izin Pulau G )
Tak main-main, Rizal Ramli yang dikenal dengan jurus Rajawali Kepret ini juga menyetop pembangunan Pulau G secara permanen. Tak hanya itu, ternyata Rizal Ramli juga menyorot soal pembangunan 3 pulau lain nya, yakni Pulau C, Pulau D, dan Pulau N.
Sekali lagi, bukan Ahok namanya kalau tidak ngeyel terhadap putusan menteri. Ahok beranggapan yang bisa menghentikan proyek reklamasi hanya keputusan presiden (kepres) sehingga dirinya menunggu langkah selanjutnya pemerintah pusat.
Ternyata kekerasan Ahok untuk terus melanjutkan proyek reklamasi karena menganggap dirinya selalu dilindungi oleh presiden. Mengenai ini, Rizal Ramli juga menyindir Ahok yang dianggapnya cengeng .
Di tengah kerasnya Rizal Ramli membatalkan sejumlah pulau di proyek reklamasi, mendadak presiden melakukan resufle. Di sini, kedudukan Menko Maritim diganti oleh Luhut Binsar Panjaitan yang sebelumnya merupakan Menkopolhukam.
Pandangan Luhut soal pembangunan pulau G jelas berbanding terbalik dengan Rizal Ramli. Bahkan Luhut memutuskan untuk melanjutkan pembangunan Pulau G . (Baca juga: Luhut dan Rizal Ramli Beda Pendapat Soal Pulau G )
Saat pemerintah sibuk untuk melanjutkan proyek reklamasi, aroma korupsi di proyek tersebut tercium KPK. Salah satu anggota DPRD DKI tertangkap tangan menerima suap dari salah satu bos pengembang pulau reklamasi untuk memuluskan raperda tentang reklamasi. Dalam kasus ini, sejumlah anggota DPRD dan pejabat DKI diperiksa KPK, termasuk Ahok . (Baca juga: Usai Diperiksa KPK, Ahok Akui Terbitkan 3 Izin Reklamasi )
Menyusul dilanjutkannya proyek reklamasi oleh Menko Kemaritiman yang baru, BPN Jakarta Utara menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan di 2 pulau, yakni Pulau C dan Pulau D. Bahkan pengembang sudah melunaskan kewajibannya untuk membayar Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) senilai Rp400 miliar yang masuk ke kas Pemprov DKI. (Baca: Setelah HPL, Kini 2 Pulau Reklamasi Dapat HGB )
Begitu kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta akan diganti, Pemprov DKI nampaknya ngotot agar 2 Ranperda tentang pulau reklamasi segera dibahas DPRD DKI. (Baca juga: Pemprov DKI Desak Ranperda Reklamasi Disahkan Sebelum Anies-Sandi Dilantik )
Setelah dilantik, Anies-Sandi langsung bekerja untuk memenuhi janji kampanyenya, salah satunya menolak reklamasi .
Terbukti, belum sampai 100 hari jadi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menarik kembali Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang sudah ada di meja DPRD DKI. Padahal Raperda ini yang menjadi pintu gerbang dari kelanjutan proyek reklamasi terhadap pulau-pulau lain yang akan dibangun. (Baca juga: Cabut 2 Raperda, Anies Hentikan Proyek Reklamasi Teluk Jakarta )
Sebulan kemudian, Anies membatalkan seritifikat hak guna bangunan (HGB) di 3 pulau reklamasi, yakni Pulau C, Pulau D, dan Pulau G . Kini masyarakat masih menunggu langkah apa yang akan dilakukan Anies-Sandi terhadap pulau-pulau reklamasi yang terlanjur sudah jadi.
Perjalanan proyek reklamasi ini memang cukup panjang, dimulai dari dikeluarkannya Kepres No.52 Tahun 1995 oleh Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995. Kepres ini dibuat pemerintah pusat agar kawasan pantai utara menjadi kawasan andalan yang diartikan sebagai kawasan yang mempunyai nilai strategis dari sudut pandang ekonomi dan perkembangan kota.
Namun harga yang harus dibayar dari proyek reklamasi ini cukup mahal, terutama dari sisi ekosistem laut dan pendapatan warga sekitar pantai yang kebanyakan sebagai nelayan dan menggantungkan hidupnya dari laut.
Dalam prosesnya, proyek reklamasi ini tak berjalan mulus karena pada tahun 2003, Menteri Lingkungan Hidup menilai kalau proyek tersebut tidak layak dari segi lingkungan yang diperkuat dengan studi AMDAL. Namun SK Menteri No.14 tahun 2003 yang dikeluarkan Menteri LH pada 19 Februari 2003 mendapat gugatan dari para pengembang.
Di persidangan PTUN, majelis hakim mengabulkan gugatan para pengembang. Kemenangan para pengembangan juga mendapat perlawanan, di tingkat Kasasi majelis hakim kembali memenangkan Menteri LH.
Pada tahun 2012, di era Gubernur Fauzi Bowo, DPRD DKI Jakarta mengesahkan Perda DKI No.1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Dalam perda ini, Kawasan Tengah Pantura akan dijadikan lokasi program pengembangan baru di DKI Jakarta.
Kendati begitu, proyek reklamasi baru dimulai tahun 2015 ketika Basuki T Purnama (Ahok) naik menjadi Gubernur DKI menggantikan Joko Widodo. Saat itu Ahok mengeluarkan izin reklamasi untuk beberapa pulau.
Dalam pro kontra, Ahok tetap keukeuh melanjutkan proyek reklamasi . Bahkan ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menghentikan proyek tersebut setelah melakukan rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, proyek tetap dijalankan. Ahok menganggap kalau penghentian proyek reklamasi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan hanya rekomendasi saja.
(Baca: Rizal Ramli Hentikan Sementara Proyek Reklamasi Teluk Jakarta )
Baru setelah Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kementerian Keluatan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan moratorium agar reklamasi dihentikan , Ahok tak berkutik. Bahkan DPR RI juga meminta agar proyek reklamasi dihentikan secara permanen , namun harus dilihat juga dari Amdalnya.
Untuk mengetahui lebih jauh proyek reklamasi, Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mendatangi pulau D. Di hadapan para pengembang, Rizal dengan tegas menyatakan kalau pengembang tidak bisa seenaknya mengatur soal reklamasi dan harus mengikuti aturan hukum yang ada. (Baca juga: Rizal Ramli: Negara Tak Bisa Diatur Pengembang Soal Reklamasi )
Pukulan telak bagi Ahok dan para pengembang juga datang dari putusan PTUN yang memenangkan gugatan para nelayan . Nelayan menggugat SK Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra. Mendengar putusan ini nelayan langsung sujud syukur di ruang sidang PTUN.
Sekali lagi, kendati kalah di persidangan Ahok tetap ngotot untuk melanjutkan proyek reklamasi. Pemprov DKI berencana mengajukan banding terkait putusan itu. Tak hanya itu, PT Muara Wisesa Samudra juga ikut melakukan banding . (Baca: Keok Digugat Nelayan, Ahok Ngotot Lanjutkan Proyek Reklamasi )
Saat Ahok ngotot melanjutkan proyek reklamasi, Menko bidang Kemaritiman Rizal Ramli ambil sikap tegas soal izin reklamasi Pulau G. Rizal Ramli mengatakan kalau pembangunan Pulau G membahayakan dan terindentifikasi masuk dalam pelanggaran kategori berat. (Baca juga: Pelanggaran Berat, Rizal Ramli Batalkan Izin Pulau G )
Tak main-main, Rizal Ramli yang dikenal dengan jurus Rajawali Kepret ini juga menyetop pembangunan Pulau G secara permanen. Tak hanya itu, ternyata Rizal Ramli juga menyorot soal pembangunan 3 pulau lain nya, yakni Pulau C, Pulau D, dan Pulau N.
Sekali lagi, bukan Ahok namanya kalau tidak ngeyel terhadap putusan menteri. Ahok beranggapan yang bisa menghentikan proyek reklamasi hanya keputusan presiden (kepres) sehingga dirinya menunggu langkah selanjutnya pemerintah pusat.
Ternyata kekerasan Ahok untuk terus melanjutkan proyek reklamasi karena menganggap dirinya selalu dilindungi oleh presiden. Mengenai ini, Rizal Ramli juga menyindir Ahok yang dianggapnya cengeng .
Di tengah kerasnya Rizal Ramli membatalkan sejumlah pulau di proyek reklamasi, mendadak presiden melakukan resufle. Di sini, kedudukan Menko Maritim diganti oleh Luhut Binsar Panjaitan yang sebelumnya merupakan Menkopolhukam.
Pandangan Luhut soal pembangunan pulau G jelas berbanding terbalik dengan Rizal Ramli. Bahkan Luhut memutuskan untuk melanjutkan pembangunan Pulau G . (Baca juga: Luhut dan Rizal Ramli Beda Pendapat Soal Pulau G )
Saat pemerintah sibuk untuk melanjutkan proyek reklamasi, aroma korupsi di proyek tersebut tercium KPK. Salah satu anggota DPRD DKI tertangkap tangan menerima suap dari salah satu bos pengembang pulau reklamasi untuk memuluskan raperda tentang reklamasi. Dalam kasus ini, sejumlah anggota DPRD dan pejabat DKI diperiksa KPK, termasuk Ahok . (Baca juga: Usai Diperiksa KPK, Ahok Akui Terbitkan 3 Izin Reklamasi )
Menyusul dilanjutkannya proyek reklamasi oleh Menko Kemaritiman yang baru, BPN Jakarta Utara menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan di 2 pulau, yakni Pulau C dan Pulau D. Bahkan pengembang sudah melunaskan kewajibannya untuk membayar Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) senilai Rp400 miliar yang masuk ke kas Pemprov DKI. (Baca: Setelah HPL, Kini 2 Pulau Reklamasi Dapat HGB )
Begitu kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta akan diganti, Pemprov DKI nampaknya ngotot agar 2 Ranperda tentang pulau reklamasi segera dibahas DPRD DKI. (Baca juga: Pemprov DKI Desak Ranperda Reklamasi Disahkan Sebelum Anies-Sandi Dilantik )
Setelah dilantik, Anies-Sandi langsung bekerja untuk memenuhi janji kampanyenya, salah satunya menolak reklamasi .
Terbukti, belum sampai 100 hari jadi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menarik kembali Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang sudah ada di meja DPRD DKI. Padahal Raperda ini yang menjadi pintu gerbang dari kelanjutan proyek reklamasi terhadap pulau-pulau lain yang akan dibangun. (Baca juga: Cabut 2 Raperda, Anies Hentikan Proyek Reklamasi Teluk Jakarta )
Sebulan kemudian, Anies membatalkan seritifikat hak guna bangunan (HGB) di 3 pulau reklamasi, yakni Pulau C, Pulau D, dan Pulau G . Kini masyarakat masih menunggu langkah apa yang akan dilakukan Anies-Sandi terhadap pulau-pulau reklamasi yang terlanjur sudah jadi.
(ysw)