Komandan Brimob Ini Berbisik pada Jenderal Kopassus: Tarik Mundur Pasukan atau Kontak Senjata

Senin, 24 Oktober 2022 - 06:02 WIB
loading...
Komandan Brimob Ini Berbisik pada Jenderal Kopassus: Tarik Mundur Pasukan atau Kontak Senjata
Mantan Kapolri Jenderal Polisi Anton Soedjarwo. Foto: Dok Buku 40 Tahun ABRI, Mabes ABRI-Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI
A A A
JAKARTA - Komandan Resimen Pelopor Brimob Kombes Pol Anton Soedjarwo berbisik pada Kolonel (Inf) Sarwo Edhie Wibowo saat penjagaan di Istana Presiden. Saat itu, legenda Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kini dikenal Komando Pasukan Khusus ( Kopassus ) mengenakan pakaian sipil berada di belakang demonstran.

Menurut buku Resimen Pelopor (Edisi Revisi), Pasukan Elite Yang Terlupakan, penulis Anton Agus Setyawan dan Andi M Darlis, Januari 2013, Kombes Anton meminta Sarwo Edhie menarik mundur pasukan atau akan terjadi kontak senjata dengan pasukan Pelopor Brimob.
Baca juga: Kisah Komandan Brimob yang Miliki Jimat Mengendus Gerombolan Pemberontak

Permintaan itu dipenuhi Sarwo Edhie yang kemudian menarik pasukan RPKAD berpakaian sipil keluar dari kerumunan demonstran mahasiswa. Diketahui, Sarwo Edhie mengakhiri dunia kemiliteran dengan pangkat Letjen TNI. Dia adalah ayah Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono, Ibu Negara Republik Indonesia yang merupakan istri Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada tahun 1966 memang sedang panasnya aksi demonstrasi mahasiswa untuk menyampaikan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Bulan Maret 1966, sesaat sebelum penembakan terhadap Arief Rahman Hakim terjadi bentrok yang melibatkan pasukan Pelopor anggota Resimen Tjakrabirawa melawan para demonstran.

Ketika demonstrasi ada sekelompok mahasiswa dan massa yang berhasil menerobos ke belakang Istana. Tiba-tiba, menurut anggota Pelopor yang waktu itu tengah berjaga terdengar suara tembakan dari kerumunan demonstran yang diarahkan ke posisi para penjaga.

Mendengar tembakan tersebut, prajurit Pelopor Brimob bereaksi dan melepaskan tembakan balasan. Pasukan Pelopor menembak dari ketinggian sehingga menimbulkan banyak korban.

Setelah bentrokan, pasukan Pelopor melakukan penyisiran dan menemukan beberapa mayat demonstran yang menjadi korban penembakan. Anehnya, di tubuh mayat-mayat tersebut ditemukan senjata berupa Sten Gun, Thompson, dan pistol semiotomatis FN Cal 45 yang merupakan senjata standar Angkatan Darat (AD).

Dua tahun berselang tepatnya 1968, Mabak (Mabes) Polri mengeluarkan SK penggantian Komandan Resimen Pelopor Brimob Kombes Pol Anton Soedjarwo. Pergantian pejabat di tengah konflik tak pelak menimbulkan kecurigaan.

Entah karena terpengaruh suasana yang memanas dan konflik di tubuh Polri atau hal-hal lain, reaksi yang ditunjukkan para anggota Pelopor sungguh di luar dugaan.

Wakil Komandan Resimen Pelopor Brimob AKBP Soetrisno Ilham memimpin langsung pengepungan Mabak Polri dengan membawa seluruh anggota Pelopor menggunakan truk.

Mereka hanya minta satu tuntutan saja. Tuntutan itu yakni SK penggantian Kombes Anton dicabut atau mereka akan terus mengepung Mabes Polri hingga batas waktu tidak ditentukan.

Setibanya di Mabes Polri, AKBP Soetrisno Ilham langsung memerintahkan pasukannya menutup seluruh akses menuju Mabes. Dia juga menempatkan penembak jitu atau sniper di beberapa titik strategis kemudian memerintahkan mereka melepaskan tembakan peringatan kepada siapa pun yang keluar dari Mabes Polri, termasuk Kapolri Jenderal Pol Soetjipto Joedodihardjo.

Suasana di Mabes Polri begitu mencekam. Beberapa kali pasukan Pelopor melepaskan tembakan peringatan ketika ada perwira Polri yang nekat keluar dari kompleks Mabes.

Untuk mencegah konflik yang lebih besar, Mabes Polri akhirnya memenuhi tuntutan tersebut. Terlebih dalam situasi politik yang tidak menentu, konflik antaranggota Polri akan berakibat sangat tidak menguntungkan bagi institusi Polri. Buntut pengepungan Pelopor Brimob yakni mundurnya Kapolri Jenderal Pol Soetjipto Joedodihardjo.
Baca juga: Komandan Brimob Ini Bertaruh Nyawa demi Selamatkan Presiden Soekarno

Sementara, bagi personel Resimen Pelopor, peristiwa pengepungan membawa efek yang tidak menguntungkan jika ditimbang secara politis. Mundurnya Kapolri Soetjipto setelah pengepungan Brimob merupakan akumulasi dari ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Soetjipto sejak paruh kedua tahun 1967.

Kapolri Soetjipto menjabat mulai 9 Mei 1965-15 Mei 1968. Jika dirunut ternyata konflik di kalangan Jenderal Polri tidak terlepas dari kisruh politik pasca Gerakan 30 September yang memecah TNI dan Polri menjadi dua kubu yakni pro Soekarno dan pro Orde Baru.

Sebenarnya dalam tubuh Polri tidak terjadi gejolak yang berarti. Tekanan justru datang dari pihak luar yang menghendaki Polri dibersihkan dari para pendukung Soekarno. Dan, salah satu sasaran pembersihan adalah Komandan Resimen Pelopor Brimob Kombes Pol Anton Soedjarwo yang dianggap pendukung Soekarno.

Sekadar mengingatkan, pada periode 4 Desember 1982-6 Juni 1986 Jenderal Polisi Anton Soedjarwo menjabat Kapolri.
(jon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2042 seconds (0.1#10.140)