Nestapa Anak Juru Parkir, Sulit Urus KIP-PIP hingga Tak Mampu Beli Buku di SMAN 6 Tangsel
loading...
A
A
A
TANGERANG SELATAN - Pasangan suami isteri, Gantina (35) dan Reni Jaya (36) nampak murung di sudut warung kopi dekat kantor Kepala Cabang Dinas (KCD) SMA di Villa Melati Mas, Pondok Jagung, Serpong Utara, Tangerang Selatan (Tangsel).
Usai mengusap peluh, Reni pun mulai bercerita seraya menunjukkan beberapa lembaran dokumen yang dibawa. Keduanya seolah pasrah, lantaran tak kunjung ada kepastian soal pembuatan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Indonesia Pintar (PIP) bagi putranya MF (16) yang bersekolah di SMAN 6.
"Kita capek udah ngurus ke sana-sini tetap belum dapat kepastiannya itu seperti apa," tutur Reni, Rabu (1/9/2021).
Didampingi sang suami, Reni pun memberanikan diri menjelaskan hal yang dialami polos apa adanya. Ibu dari 3 anak itu mengatakan, sejak awal MF masuk SMAN 6 pada tahun lalu, dia telah mencoba mengurus pembuatan KIP dan PIP. Bahkan salah satu guru di sana pun ikut menawarkan bantuan dalam pendataan.
"Waktu itu ada guru yang bilang ke saya, katanya mau bantu. Yaudah saya serahin data dan persyaratannya. Cuman habis itu, belum ada hasilnya sampai sekarang. Saya udah hubungikan, nanyain prosesnya, tapi katanya belum ada nama anak saya," ucapnya.
Karena tak ada kabar kepastian, Reni dan suami memutuskan untuk mengurus langsung pembuatan PIP dan KIP. Setelah berkordinasi dengan guru sekolah sebelumnya, dia mulai menempuh segala prosedur yang harus dilalui.
"Karena saya urus udah lama, dari anak saya pertama masuk kelas 1 sampai sekarang udah kelas 2. Ya udah akhirnya saya minta surat keterangan dari sekolah. Setelah itu saya jalan ngurus sendiri, sudah ke Dinas Sosial juga. Kemarin Selasa, saya juga sudah ke KCD, tapi dibilang sama pegawainya mereka enggak ngurus pembuatan KIP dan PIP," bebernya.
Tak puas mendapat jawaban itu, Reni dan suami kembali mendatangi KCD hari ini. Lagi-lagi hasilnya sama, pegawai yang ditemui menjelaskan bahwa mereka tak berwenang memproses pembuatan KIP dan PIP langsung.
"Tadi ke situ lagi (KCD), dan jawabannya ya sama. Jadi pegawainya bilang, registrasinya harus melalui operator sekolah, nanti dari sekolah yang kirim datanya ke kita. Jadi disuruh balik lagi ke sekolah," katanya.
Gantina dan Reni merupakan keluarga kecil yang kondisi ekonominya tak sebaik wali murid kebanyakan di SMAN 6. Penghasilan Gantina sebagai juru parkir, tak bisa menopang berbagai kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk keperluan lain di luar itu.
"Dulu narik angkot, tapi karena sepi, enggak ketutup setorannya akhirnya sekarang jadi tukang parkir," sambung dia.
Meski berasal dari keluarga tak mampu, Reni dan Gantina merasa bangga karena putra mereka bisa mengenyam pendidikan di SMAN 6 Tangsel melalui jalur afirmasi. Untuk itulah keduanya berharap banyak dari KIP dan PIP agar meringankan beban biaya kebutuhan sekolah.
"Dari sekolah kan disuruh beli juga buat buku paket pendamping, dulu beli Rp900 ribuan. Kalau kemarin ini kita disuruh beli buku harganya Rp510 ribu, belinya di koperasi sekolah, kita bingung uangnya belum ada. Kalau udah ada itu (KIP-PIP) kan agak ringan jadinya," ungkapnya.
Sementara itu, Humas SMAN 6 Tangsel, Arie Yunitarie, memastikan pihaknya akan membantu segala proses pembuatan KIP ataupun PIP bagi siswa tidak mampu.
"Nanti kita cek dulu ya pak. Pasti sekolah ada alasan. Kita nggak pernah nggak bantu, apalagi untuk masalah PIP dan segala macamnya, kita pasti bantu. Kita upayakan, apalagi tidak mampu," ucapnya dihubungi terpisah.
Dia menjelaskan, pada tahun lalu data siswa yang ingin membuat PIP telah diajukan. Namun dari jumlah itu tak seluruhnya bisa disetujui. "Memang biasanya tidak di ACC seratus persen, selalu berbeda setiap tahunnya. Untuk PIP tahun ini memamg belum bisa diajukan, karena data belum lengkap," terangnya.
Arie pun meminta agar orang tua siswa mendatangi sekolah esok hari guna pengurusan KIP dan PIP. "Nanti kalau misalnya anak ini mau mengkomunikasikan lagi, coba biar datang ke sekolah. Kalau di sekolah bisa menemui BK, bisa menemui kesiswaan, nanti kami fasilitasi," pungkasnya.
Usai mengusap peluh, Reni pun mulai bercerita seraya menunjukkan beberapa lembaran dokumen yang dibawa. Keduanya seolah pasrah, lantaran tak kunjung ada kepastian soal pembuatan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Indonesia Pintar (PIP) bagi putranya MF (16) yang bersekolah di SMAN 6.
"Kita capek udah ngurus ke sana-sini tetap belum dapat kepastiannya itu seperti apa," tutur Reni, Rabu (1/9/2021).
Didampingi sang suami, Reni pun memberanikan diri menjelaskan hal yang dialami polos apa adanya. Ibu dari 3 anak itu mengatakan, sejak awal MF masuk SMAN 6 pada tahun lalu, dia telah mencoba mengurus pembuatan KIP dan PIP. Bahkan salah satu guru di sana pun ikut menawarkan bantuan dalam pendataan.
"Waktu itu ada guru yang bilang ke saya, katanya mau bantu. Yaudah saya serahin data dan persyaratannya. Cuman habis itu, belum ada hasilnya sampai sekarang. Saya udah hubungikan, nanyain prosesnya, tapi katanya belum ada nama anak saya," ucapnya.
Karena tak ada kabar kepastian, Reni dan suami memutuskan untuk mengurus langsung pembuatan PIP dan KIP. Setelah berkordinasi dengan guru sekolah sebelumnya, dia mulai menempuh segala prosedur yang harus dilalui.
"Karena saya urus udah lama, dari anak saya pertama masuk kelas 1 sampai sekarang udah kelas 2. Ya udah akhirnya saya minta surat keterangan dari sekolah. Setelah itu saya jalan ngurus sendiri, sudah ke Dinas Sosial juga. Kemarin Selasa, saya juga sudah ke KCD, tapi dibilang sama pegawainya mereka enggak ngurus pembuatan KIP dan PIP," bebernya.
Tak puas mendapat jawaban itu, Reni dan suami kembali mendatangi KCD hari ini. Lagi-lagi hasilnya sama, pegawai yang ditemui menjelaskan bahwa mereka tak berwenang memproses pembuatan KIP dan PIP langsung.
"Tadi ke situ lagi (KCD), dan jawabannya ya sama. Jadi pegawainya bilang, registrasinya harus melalui operator sekolah, nanti dari sekolah yang kirim datanya ke kita. Jadi disuruh balik lagi ke sekolah," katanya.
Gantina dan Reni merupakan keluarga kecil yang kondisi ekonominya tak sebaik wali murid kebanyakan di SMAN 6. Penghasilan Gantina sebagai juru parkir, tak bisa menopang berbagai kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk keperluan lain di luar itu.
"Dulu narik angkot, tapi karena sepi, enggak ketutup setorannya akhirnya sekarang jadi tukang parkir," sambung dia.
Meski berasal dari keluarga tak mampu, Reni dan Gantina merasa bangga karena putra mereka bisa mengenyam pendidikan di SMAN 6 Tangsel melalui jalur afirmasi. Untuk itulah keduanya berharap banyak dari KIP dan PIP agar meringankan beban biaya kebutuhan sekolah.
"Dari sekolah kan disuruh beli juga buat buku paket pendamping, dulu beli Rp900 ribuan. Kalau kemarin ini kita disuruh beli buku harganya Rp510 ribu, belinya di koperasi sekolah, kita bingung uangnya belum ada. Kalau udah ada itu (KIP-PIP) kan agak ringan jadinya," ungkapnya.
Sementara itu, Humas SMAN 6 Tangsel, Arie Yunitarie, memastikan pihaknya akan membantu segala proses pembuatan KIP ataupun PIP bagi siswa tidak mampu.
"Nanti kita cek dulu ya pak. Pasti sekolah ada alasan. Kita nggak pernah nggak bantu, apalagi untuk masalah PIP dan segala macamnya, kita pasti bantu. Kita upayakan, apalagi tidak mampu," ucapnya dihubungi terpisah.
Dia menjelaskan, pada tahun lalu data siswa yang ingin membuat PIP telah diajukan. Namun dari jumlah itu tak seluruhnya bisa disetujui. "Memang biasanya tidak di ACC seratus persen, selalu berbeda setiap tahunnya. Untuk PIP tahun ini memamg belum bisa diajukan, karena data belum lengkap," terangnya.
Arie pun meminta agar orang tua siswa mendatangi sekolah esok hari guna pengurusan KIP dan PIP. "Nanti kalau misalnya anak ini mau mengkomunikasikan lagi, coba biar datang ke sekolah. Kalau di sekolah bisa menemui BK, bisa menemui kesiswaan, nanti kami fasilitasi," pungkasnya.
(thm)