Analis Kebijakan Publik Minta Transparansi dalam Aturan DKT di Bandara Soetta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktorat Perhubungan Udara harus transparansi dalam penerapan aturan di Daerah Keamanan Terbatas (DKT) atau yang umumnya disebut Lini 1 di Bandara Soekarno Hatta (Soetta) . DEmikian disampaikanAnalisis Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah.
"Pengecekan barang atau kargo yang keluar dari Bandara harus transparansi jangan sampai pengawasan menjadi lemah," ujar Trubus dalam keterangannya, Jumat (7/5/2021).
Hal ini disampaikan terkait masih beroperasinya sejumlah Regulated Agent (RA) di Daerah Keamanan Terbatas atau Lini 1 Bandara Soetta. Padahal, sudah ada Peraturan Menteri Perhubungan bahwa operasional operator RA di Lini 1 untuk segera memindahkan operasional RA keluar dari DKT.
Namun aturan ini tidak diindahkan sejak dari tahun 2012 sampai sekarang, atau sudah 10 tahun perpindahan operasional RA tidak pernah terwujud.
Analisis Kebijakan Publik ini menyoroti ada 6 poin yang harus dilaksanakan Kementerian Perhubungan dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Yakni, transparansi, tata kelola, pengawasan, penegakan hukum, pertanggungjawaban (akuntabilitas) publik, dan evaluasi.
Dari sisi transparansi, ia menyontohkan, antara kargo yang lebih dahulu dan belakangan datang bisa menjadi bersamaan hasil pengecekan. Jika kargo yang datang belakangan tetapi pemeriksaan lebih cepat, menurutnya, jelas ada pihak-pihak yang diuntungkan. "Idealnya, harus melalui Lini 2," katanya.
Jika ini terus berlanjut, kata Trubus, ada potensi penyimpangan yang menyebabkan terjadinya kerugian negara karena pengawasan lemah. "Ada kargo yang harus segera sampai di tempat tujuan maka mereka melalui Lini 1. Sebab, tidak semua kargo terperiksa dan menimbulkan kerawanan keamanan," katanya.
Ia mengatakan, bahwa sumber kebijakan itu kewenangannya adalah Kementerian Perhubungan maka seharusnya ada intervensi dari kementerian. Mendorong Kementerian Perhubungan untuk penegakan hukum jika dikaitkan dengan pelanggaran.
Juga, katanya lagi, harus ada pertanggungjawaban ke publik (akuntabilitas). Misalnya, kenapa yang nggak boleh menjadi boleh dan terakhir, harus ada evaluasi karena aturan belum berjalan.
"Intinya, tidak ada political will dari pimpinan Kementerian Perhubungan mewakili pemerintah, unsur pelaku usaha dan publik atau masyarakat," jelasnya.
"Pengecekan barang atau kargo yang keluar dari Bandara harus transparansi jangan sampai pengawasan menjadi lemah," ujar Trubus dalam keterangannya, Jumat (7/5/2021).
Hal ini disampaikan terkait masih beroperasinya sejumlah Regulated Agent (RA) di Daerah Keamanan Terbatas atau Lini 1 Bandara Soetta. Padahal, sudah ada Peraturan Menteri Perhubungan bahwa operasional operator RA di Lini 1 untuk segera memindahkan operasional RA keluar dari DKT.
Namun aturan ini tidak diindahkan sejak dari tahun 2012 sampai sekarang, atau sudah 10 tahun perpindahan operasional RA tidak pernah terwujud.
Analisis Kebijakan Publik ini menyoroti ada 6 poin yang harus dilaksanakan Kementerian Perhubungan dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Yakni, transparansi, tata kelola, pengawasan, penegakan hukum, pertanggungjawaban (akuntabilitas) publik, dan evaluasi.
Dari sisi transparansi, ia menyontohkan, antara kargo yang lebih dahulu dan belakangan datang bisa menjadi bersamaan hasil pengecekan. Jika kargo yang datang belakangan tetapi pemeriksaan lebih cepat, menurutnya, jelas ada pihak-pihak yang diuntungkan. "Idealnya, harus melalui Lini 2," katanya.
Jika ini terus berlanjut, kata Trubus, ada potensi penyimpangan yang menyebabkan terjadinya kerugian negara karena pengawasan lemah. "Ada kargo yang harus segera sampai di tempat tujuan maka mereka melalui Lini 1. Sebab, tidak semua kargo terperiksa dan menimbulkan kerawanan keamanan," katanya.
Ia mengatakan, bahwa sumber kebijakan itu kewenangannya adalah Kementerian Perhubungan maka seharusnya ada intervensi dari kementerian. Mendorong Kementerian Perhubungan untuk penegakan hukum jika dikaitkan dengan pelanggaran.
Juga, katanya lagi, harus ada pertanggungjawaban ke publik (akuntabilitas). Misalnya, kenapa yang nggak boleh menjadi boleh dan terakhir, harus ada evaluasi karena aturan belum berjalan.
"Intinya, tidak ada political will dari pimpinan Kementerian Perhubungan mewakili pemerintah, unsur pelaku usaha dan publik atau masyarakat," jelasnya.