Pembelian Lahan SMPN 23 Tangsel Berpotensi Rugikan Negara
loading...
A
A
A
TANGERANG SELATAN - Pembelian lahan seluas 4.500 meter persegi untuk pembangunan SMPN 23 Tangerang Selatan (Tangsel) berpotensi merugikan negara. Status lahan yang terletak di Jalan Sukamulya, Serua Indah, Ciputat, itu diketahui masih berperkara di pengadilan.
Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Disperkimta) Kota Tangsel telah membeli lahan itu dari salah satu bank swasta sebesar Rp10,8 miliar. Prosesnya sendiri cukup panjang, karena harus melalui lelang pada akhir 2017 silam.
Lahan itu disita oleh pihak bank sebagai agunan yang dijaminkan atas kredit sebesar Rp12 miliar kepada CV Multi Guna Utama. Penyebabnya, cicilan yang tersendat hingga hanya berjalan sekira selama 2 tahun dari total 5 tahun. Kemudian disepakati kedua belah pihak untuk sama-sama mencari pembeli.
Singkat cerita, karena proses lelang dinilai tak sesuai, kemudian hal itu digugat ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat oleh CV Multi Guna, 24 September 2019. Perkaranya teregister dengan nomor : 775/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Brt. Gugatan akhirnya dimenangkan pihak tergugat, yakni bank swasta pemberi kredit.
Setelah kalah di tingkat pertama, selanjutnya penggugat kembali mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dengan nomor : 105/SRT.PDT.BDG/2020/PN.Jkt.Brt. Kini tahapan banding pun masih berproses di sana.
Namun rupanya, pada tanggal 26 Januari 2021 kemarin telah dilakukan serah terima kunci lahan dari bank swasta itu ke Pemerintah Kota Tangsel melalui Disperkimta. Padahal perkaranya masih berproses di pengadilan tinggi atau dengan kata lain belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, barang atau suatu objek yang berstatus sengketa dan dalam status disita tak boleh diperjualbelikan. Menurut dia, sengketa objeknya harus disita oleh pengadilan agar tak dapat dipindahtangankan.
"Sengketa tingkat akhir itu putusan kasasi MA (Mahkamah Agung), setelah banding dilewati. Artinya setelah ada putusan kasasi, barulah putusan itu mempunyai kekuatan hukum mengikat," katanya dikonfirmasi, Minggu 31 Januari 2021.
Dikatakannya, dalam hal ini pemerintah harus diletakkan sebagai pembeli yang beritikad baik. Sehingga jika diketahui bahwa objek jual-beli itu menjadi objek sengketa, maka pemerintah harus membatalkan jual-beli dan meminta pengembalian uang negara dari penjual.
"Maka pemerintah sebagai pembeli berhak atas pengembalian uang pembayaran secara utuh dari penjualnya," ucapnya. Sayangnya, dijelaskan Fickar, pemerintah sangat mungkin menjadi pihak yang dirugikan dalam jual-beli ini. Sebab, belum tentu penjualnya siap dalam waktu singkat mengembalikan uang yang telah dibayarkan. Belum lagi, perencanaan program pemerintah yang berjalan bakal tertunda karena lahan tak bisa digunakan.
"Ya sangat bisa (dirugikan). Sangat mungkin penjual tidak bisa mengembalikan," terangnya. Pemilik lahan sendiri menyesalkan ketidak hati-hatian Pemkot Tangsel dalam menggunakan anggaran daerah untuk pembelian lahan itu. Apalagi lahan tersebut masih berperkara hingga sangat mungkin menimbulkan sengketa di kemudian hari.
"Jadi harusnya Pemkot menunggu proses perkara ini tuntas dulu. Bagaimana nanti jika kemudian hari banding kami dikabulkan pengadilan? apa dampaknya? kan itu malah merugikan keuangan negara," tutur kuasa hukum CV Multi Guna, R Dwinanda Natalistyo.
Dia menjelaskan, salah satu alasan pihaknya mengajukan pembatalan proses lelang adalah terkait penentuan nilai limit atau nilai likuidasinya yang sangat rendah, tak sesuai dengan apa yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 27/PMK.06/2016 tentang petunjuk pelaksanaan lelang.
Masih kata dia, berbagai langkah telah dilakukan agar tak terjadi jual-beli atas lahan itu. Di antaranya dengan mengirimkan surat imbauan kepada wali kota dengan Up. Ketua Tim Pengadaan Tanah Pemkot, Disperkimta, agar menunda pembelian lahan tersebut.
"Kami sudah beri imbauan ke Pemkot Tangsel bahwa lahan ini masih berperkara, tapi tidak ada tanggapan. Bahkan sudah kami ajukan surat blokir sertifikat ke BPN Tangsel, sehingga sebagaimana ketentuan maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) akan menolak pembuatan akta jika objeknya masih bersengketa, tapi ya tetap tidak dihiraukan," sambungnya.
Lebih lanjut, tim hukum dari penggugat mengingatkan adanya potensi kerugian negara dalam pembelian lahan berperkara itu. Lantaran proses pengadaannya melanggar prinsip kehati-hatian, akuntabilitas, serta implementasi tata kelola Good Governance yang baik.
"Kami akan lakukan upaya mengajukan surat perlindungan hukum ke instansi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta instansi lain guna menindaklanjuti temuan itu," tandasnya.
Sebelumnya saat dikonfirmasi, Kepala Bidang (Kabid) Pengadaan Tanah Disperkimta Tangsel, Rizkiyah, enggan mengomentari adanya proses banding atas lahan itu di Pengadilan Tinggi Jakarta Barat. Dia meyakini, jika pembelian lahan tersebut telah melalui administrasi yang benar.
"Administrasi sudah clear and clean. Semuanya sudah clear," ujarnya singkat.
Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Disperkimta) Kota Tangsel telah membeli lahan itu dari salah satu bank swasta sebesar Rp10,8 miliar. Prosesnya sendiri cukup panjang, karena harus melalui lelang pada akhir 2017 silam.
Lahan itu disita oleh pihak bank sebagai agunan yang dijaminkan atas kredit sebesar Rp12 miliar kepada CV Multi Guna Utama. Penyebabnya, cicilan yang tersendat hingga hanya berjalan sekira selama 2 tahun dari total 5 tahun. Kemudian disepakati kedua belah pihak untuk sama-sama mencari pembeli.
Singkat cerita, karena proses lelang dinilai tak sesuai, kemudian hal itu digugat ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat oleh CV Multi Guna, 24 September 2019. Perkaranya teregister dengan nomor : 775/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Brt. Gugatan akhirnya dimenangkan pihak tergugat, yakni bank swasta pemberi kredit.
Setelah kalah di tingkat pertama, selanjutnya penggugat kembali mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dengan nomor : 105/SRT.PDT.BDG/2020/PN.Jkt.Brt. Kini tahapan banding pun masih berproses di sana.
Namun rupanya, pada tanggal 26 Januari 2021 kemarin telah dilakukan serah terima kunci lahan dari bank swasta itu ke Pemerintah Kota Tangsel melalui Disperkimta. Padahal perkaranya masih berproses di pengadilan tinggi atau dengan kata lain belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, barang atau suatu objek yang berstatus sengketa dan dalam status disita tak boleh diperjualbelikan. Menurut dia, sengketa objeknya harus disita oleh pengadilan agar tak dapat dipindahtangankan.
"Sengketa tingkat akhir itu putusan kasasi MA (Mahkamah Agung), setelah banding dilewati. Artinya setelah ada putusan kasasi, barulah putusan itu mempunyai kekuatan hukum mengikat," katanya dikonfirmasi, Minggu 31 Januari 2021.
Dikatakannya, dalam hal ini pemerintah harus diletakkan sebagai pembeli yang beritikad baik. Sehingga jika diketahui bahwa objek jual-beli itu menjadi objek sengketa, maka pemerintah harus membatalkan jual-beli dan meminta pengembalian uang negara dari penjual.
"Maka pemerintah sebagai pembeli berhak atas pengembalian uang pembayaran secara utuh dari penjualnya," ucapnya. Sayangnya, dijelaskan Fickar, pemerintah sangat mungkin menjadi pihak yang dirugikan dalam jual-beli ini. Sebab, belum tentu penjualnya siap dalam waktu singkat mengembalikan uang yang telah dibayarkan. Belum lagi, perencanaan program pemerintah yang berjalan bakal tertunda karena lahan tak bisa digunakan.
"Ya sangat bisa (dirugikan). Sangat mungkin penjual tidak bisa mengembalikan," terangnya. Pemilik lahan sendiri menyesalkan ketidak hati-hatian Pemkot Tangsel dalam menggunakan anggaran daerah untuk pembelian lahan itu. Apalagi lahan tersebut masih berperkara hingga sangat mungkin menimbulkan sengketa di kemudian hari.
"Jadi harusnya Pemkot menunggu proses perkara ini tuntas dulu. Bagaimana nanti jika kemudian hari banding kami dikabulkan pengadilan? apa dampaknya? kan itu malah merugikan keuangan negara," tutur kuasa hukum CV Multi Guna, R Dwinanda Natalistyo.
Dia menjelaskan, salah satu alasan pihaknya mengajukan pembatalan proses lelang adalah terkait penentuan nilai limit atau nilai likuidasinya yang sangat rendah, tak sesuai dengan apa yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 27/PMK.06/2016 tentang petunjuk pelaksanaan lelang.
Masih kata dia, berbagai langkah telah dilakukan agar tak terjadi jual-beli atas lahan itu. Di antaranya dengan mengirimkan surat imbauan kepada wali kota dengan Up. Ketua Tim Pengadaan Tanah Pemkot, Disperkimta, agar menunda pembelian lahan tersebut.
"Kami sudah beri imbauan ke Pemkot Tangsel bahwa lahan ini masih berperkara, tapi tidak ada tanggapan. Bahkan sudah kami ajukan surat blokir sertifikat ke BPN Tangsel, sehingga sebagaimana ketentuan maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) akan menolak pembuatan akta jika objeknya masih bersengketa, tapi ya tetap tidak dihiraukan," sambungnya.
Lebih lanjut, tim hukum dari penggugat mengingatkan adanya potensi kerugian negara dalam pembelian lahan berperkara itu. Lantaran proses pengadaannya melanggar prinsip kehati-hatian, akuntabilitas, serta implementasi tata kelola Good Governance yang baik.
"Kami akan lakukan upaya mengajukan surat perlindungan hukum ke instansi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta instansi lain guna menindaklanjuti temuan itu," tandasnya.
Sebelumnya saat dikonfirmasi, Kepala Bidang (Kabid) Pengadaan Tanah Disperkimta Tangsel, Rizkiyah, enggan mengomentari adanya proses banding atas lahan itu di Pengadilan Tinggi Jakarta Barat. Dia meyakini, jika pembelian lahan tersebut telah melalui administrasi yang benar.
"Administrasi sudah clear and clean. Semuanya sudah clear," ujarnya singkat.
(mhd)