Jakarta Islamic Center, dari Lokalisasi Menjadi Pusat Agama Islam Terbesar di Ibu Kota
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mendengar nama Jakarta Islamic Center (JIC) bagi masyarakat Indonesia khususnya warga Jakarta memang bukan hal yang baru. Banyak masyarakat yang sudah mengenal masjid yang disebut sebagai Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam.
Tidak heran, jika banyak umat islam baik dari dalam maupun luar Jakarta bahkan luar negeri yang berbondong bondong datang ke Kompleks JIC di Jalan Kramat Jaya, Koja, Jakarta Utara ini untuk melakukan kegiatan ibadah rutin maupun pendalaman agama Islam.
Selain dikenal dengan masjid raya yang megah dengan desain bangunan perpaduan antara budaya Timur Tengah dengan Eropa. Kompleks JIC yang memiliki luas lahan sebesar 11 hektare ini rupanya juga memiliki empat gedung yang dijadikan sebagai sarana pendidikan dan pelatihan agama islam di Jakarta.
Di balik semua itu, setiap orang yang pernah mengunjungi Jakarta Islamic Centre belum tentu mengetahui sejarah kelamnya area tersebut di masa lampau sebelum dijadikan pusat keagamaan seperti sekarang ini. (Baca juga; Mengenal TMII, Buah Gagasan Ibu Tien Soeharto )
Kasubdit Pengkajian JIC sekaligus Sejarahwan Berdirinya JIC, Paimun Karim mengatakan, sebelum menjadi pusat kegiatan agama Islam, lokasi ini merupakan wilayah hitam yang menjadi pusat kemaksiatan dan lokalisasi terbesar di Jakarta, bahkan terkenal seantero Asia Tenggara.
"Pada tahun 1970, Gubernur Ali Sadikin ingin membuat Jakarta menjadi kota metropolitan. Namun saat itu beliau melihat banyaknya PSK di protokol Jakarta seperti Pasar Senen, Kramat dan Pasar Baru. Belajar dari Thailand, beliau membentuk dan memilih tempat ini sebagai tempat yang bahasanya sebagai resosialisasi," ujar Paimun kepada SINDONews, Rabu (30/9/2020).
Dipilihlah lokasi Kramat Tunggak atau yang sekarang dikenal sebagai Kramat Jaya oleh Ali Sadikin. Lokasi ini dinilai jauh dari permukiman maupun tempat aktivitas masyarakat, bahkan tidak ada kendaraan yang melintas di wilayah tersebut. "Akhirnya pemerintah mengumpulkan 79 WTS dan 28 Germo di sini," ucap Paimun. (Baca juga; Ini Asal Usul Nama Ragunan )
Ketika awal berdiri lokalisasi Kramat Tunggak pada 1970, terbilang kecil, hanya seluas parkiran depan Mesjid JIC sekarang dan sisi pinggir lokasi hanya di tutupi atap seng. Bertahun-tahun lokalisasi ini berjalan, memasuki tahun 1980 sampai 1990, tempat ini mulai mengalami perluasan lahan.
"Berjalan 20 - 30 tahun akhirnya tempat pembinaan WTS ini memiliki lahan seluas 11 hektare. Karena tempat ini dipakai untuk membina WTS untuk bisa di kembalikan kepada masyarakat. Akhirnya pemerintah membangun Mesjid At-Taubah untuk mendididik spiritualnya sekaligus di tempat ini diobati dan diperiksa rutin oleh dokter supaya tidak sakit," Terangnya.
Namun sayangnya, hampir 30 tahun resosialisasi di tempat lokalisasi ini berjalan tidak membuat masyarakat semakin baik atau mengubah cara hidupnya. Sebaliknya, masyarakat di lokasi saat itu semakin kreatif dengan mengembangkan tempat pembinaan menjadi pusat lokalisasi terbesar.
Tidak heran, jika banyak umat islam baik dari dalam maupun luar Jakarta bahkan luar negeri yang berbondong bondong datang ke Kompleks JIC di Jalan Kramat Jaya, Koja, Jakarta Utara ini untuk melakukan kegiatan ibadah rutin maupun pendalaman agama Islam.
Selain dikenal dengan masjid raya yang megah dengan desain bangunan perpaduan antara budaya Timur Tengah dengan Eropa. Kompleks JIC yang memiliki luas lahan sebesar 11 hektare ini rupanya juga memiliki empat gedung yang dijadikan sebagai sarana pendidikan dan pelatihan agama islam di Jakarta.
Di balik semua itu, setiap orang yang pernah mengunjungi Jakarta Islamic Centre belum tentu mengetahui sejarah kelamnya area tersebut di masa lampau sebelum dijadikan pusat keagamaan seperti sekarang ini. (Baca juga; Mengenal TMII, Buah Gagasan Ibu Tien Soeharto )
Kasubdit Pengkajian JIC sekaligus Sejarahwan Berdirinya JIC, Paimun Karim mengatakan, sebelum menjadi pusat kegiatan agama Islam, lokasi ini merupakan wilayah hitam yang menjadi pusat kemaksiatan dan lokalisasi terbesar di Jakarta, bahkan terkenal seantero Asia Tenggara.
"Pada tahun 1970, Gubernur Ali Sadikin ingin membuat Jakarta menjadi kota metropolitan. Namun saat itu beliau melihat banyaknya PSK di protokol Jakarta seperti Pasar Senen, Kramat dan Pasar Baru. Belajar dari Thailand, beliau membentuk dan memilih tempat ini sebagai tempat yang bahasanya sebagai resosialisasi," ujar Paimun kepada SINDONews, Rabu (30/9/2020).
Dipilihlah lokasi Kramat Tunggak atau yang sekarang dikenal sebagai Kramat Jaya oleh Ali Sadikin. Lokasi ini dinilai jauh dari permukiman maupun tempat aktivitas masyarakat, bahkan tidak ada kendaraan yang melintas di wilayah tersebut. "Akhirnya pemerintah mengumpulkan 79 WTS dan 28 Germo di sini," ucap Paimun. (Baca juga; Ini Asal Usul Nama Ragunan )
Ketika awal berdiri lokalisasi Kramat Tunggak pada 1970, terbilang kecil, hanya seluas parkiran depan Mesjid JIC sekarang dan sisi pinggir lokasi hanya di tutupi atap seng. Bertahun-tahun lokalisasi ini berjalan, memasuki tahun 1980 sampai 1990, tempat ini mulai mengalami perluasan lahan.
"Berjalan 20 - 30 tahun akhirnya tempat pembinaan WTS ini memiliki lahan seluas 11 hektare. Karena tempat ini dipakai untuk membina WTS untuk bisa di kembalikan kepada masyarakat. Akhirnya pemerintah membangun Mesjid At-Taubah untuk mendididik spiritualnya sekaligus di tempat ini diobati dan diperiksa rutin oleh dokter supaya tidak sakit," Terangnya.
Namun sayangnya, hampir 30 tahun resosialisasi di tempat lokalisasi ini berjalan tidak membuat masyarakat semakin baik atau mengubah cara hidupnya. Sebaliknya, masyarakat di lokasi saat itu semakin kreatif dengan mengembangkan tempat pembinaan menjadi pusat lokalisasi terbesar.