Jakarta Islamic Center, dari Lokalisasi Menjadi Pusat Agama Islam Terbesar di Ibu Kota

Rabu, 30 September 2020 - 12:01 WIB
loading...
Jakarta Islamic Center, dari Lokalisasi Menjadi Pusat Agama Islam Terbesar di Ibu Kota
Kompleks Jakarta Islamic Center (JIC) di Jalan Kramat Jaya, Koja, Jakarta Utara. SINDOnews/Yohannes Tobing
A A A
JAKARTA - Mendengar nama Jakarta Islamic Center (JIC) bagi masyarakat Indonesia khususnya warga Jakarta memang bukan hal yang baru. Banyak masyarakat yang sudah mengenal masjid yang disebut sebagai Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam.

Tidak heran, jika banyak umat islam baik dari dalam maupun luar Jakarta bahkan luar negeri yang berbondong bondong datang ke Kompleks JIC di Jalan Kramat Jaya, Koja, Jakarta Utara ini untuk melakukan kegiatan ibadah rutin maupun pendalaman agama Islam.

Selain dikenal dengan masjid raya yang megah dengan desain bangunan perpaduan antara budaya Timur Tengah dengan Eropa. Kompleks JIC yang memiliki luas lahan sebesar 11 hektare ini rupanya juga memiliki empat gedung yang dijadikan sebagai sarana pendidikan dan pelatihan agama islam di Jakarta.

Di balik semua itu, setiap orang yang pernah mengunjungi Jakarta Islamic Centre belum tentu mengetahui sejarah kelamnya area tersebut di masa lampau sebelum dijadikan pusat keagamaan seperti sekarang ini. (Baca juga; Mengenal TMII, Buah Gagasan Ibu Tien Soeharto )

Kasubdit Pengkajian JIC sekaligus Sejarahwan Berdirinya JIC, Paimun Karim mengatakan, sebelum menjadi pusat kegiatan agama Islam, lokasi ini merupakan wilayah hitam yang menjadi pusat kemaksiatan dan lokalisasi terbesar di Jakarta, bahkan terkenal seantero Asia Tenggara.

"Pada tahun 1970, Gubernur Ali Sadikin ingin membuat Jakarta menjadi kota metropolitan. Namun saat itu beliau melihat banyaknya PSK di protokol Jakarta seperti Pasar Senen, Kramat dan Pasar Baru. Belajar dari Thailand, beliau membentuk dan memilih tempat ini sebagai tempat yang bahasanya sebagai resosialisasi," ujar Paimun kepada SINDONews, Rabu (30/9/2020).

Dipilihlah lokasi Kramat Tunggak atau yang sekarang dikenal sebagai Kramat Jaya oleh Ali Sadikin. Lokasi ini dinilai jauh dari permukiman maupun tempat aktivitas masyarakat, bahkan tidak ada kendaraan yang melintas di wilayah tersebut. "Akhirnya pemerintah mengumpulkan 79 WTS dan 28 Germo di sini," ucap Paimun. (Baca juga; Ini Asal Usul Nama Ragunan )

Ketika awal berdiri lokalisasi Kramat Tunggak pada 1970, terbilang kecil, hanya seluas parkiran depan Mesjid JIC sekarang dan sisi pinggir lokasi hanya di tutupi atap seng. Bertahun-tahun lokalisasi ini berjalan, memasuki tahun 1980 sampai 1990, tempat ini mulai mengalami perluasan lahan.

"Berjalan 20 - 30 tahun akhirnya tempat pembinaan WTS ini memiliki lahan seluas 11 hektare. Karena tempat ini dipakai untuk membina WTS untuk bisa di kembalikan kepada masyarakat. Akhirnya pemerintah membangun Mesjid At-Taubah untuk mendididik spiritualnya sekaligus di tempat ini diobati dan diperiksa rutin oleh dokter supaya tidak sakit," Terangnya.

Namun sayangnya, hampir 30 tahun resosialisasi di tempat lokalisasi ini berjalan tidak membuat masyarakat semakin baik atau mengubah cara hidupnya. Sebaliknya, masyarakat di lokasi saat itu semakin kreatif dengan mengembangkan tempat pembinaan menjadi pusat lokalisasi terbesar.

Hal ini terbukti, puncaknya pada 1997. Lokalisasi yang berseberangan langsung dengan sebuah Panti Sosial Wanita Tunas Harapan yang merupakan Binaan DKI Jakarta ini memiliki perkembangan penghuni baik PSK maupun Germo. "Jadi berkembangnya lokasi ini dari 1970 sampai 1997, menjadi 2.000 orang," tuturnya.

Beberapa kali mengalami pergantian Gubernur, rupanya belum ada yang mampu melakukan pembinaan ataupun pengembalian para wanita tuna sosial kembali ke masyarakat atau menjadi lebih baik saat itu. Hingga pada akhirnya pada 1998 ketika Indonesia sedang mengalami krisis moneter (Krismon), membuat pengunjung Lokalisasi Kramat Tunggak mengalami penurunan.

Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso berusaha untuk membongkar tempat lokalisasi yang sudah menjadi wilayah permanen. Upaya itu didukungan warga sekitar yang mulai memadati area sisi Kramat Tunggak dan mulai merasakan keresahan dengan adanya tempat prostitusi tersebut. Kemudian Sutiyoso memangil Tim Peneliti dari UI untuk melihat dampak dari sosial ekonomi.

"Saat itu diriset rupanya mengganggu lingkungan dan banyak keluhan. Karena orang semakin ramai belakang juga sudah ada orang, jadi orang mulai resah karena orang baik baik tapi dicap sebagai orang yang kawasan juga," terang Paimun.

Sementara itu situasi lingkungan sekitar, kata Paimun, kriminalitas sangat tinggi bahkan pembunuhan terjadi tiap malam. "Jadi macam-macam di sini, ada yang mabuk, tidak bayar, peredaran narkoba, bahkan mau hilang tinggal datang saja ke sini. Namanya pusatnya maksiat, ngumpul saja begituan semua," Kata Paimun.

Melihat kondisi lokalisasi seperti itu, Sutiyoso lalu berinisiatif untuk menutup permanen tempat tersebut. Pada 1998, Sutiyoso mengeluarkan SK Gubernur DKI Jakarta yang memutuskan untuk menutup tempat yang semula sebagai resosialisasi ini paling lambat 31 Desember 1999. Selain mengambil kebijakan tersebut, Sutiyoso juga akan mengembalikan para penghuni menuju kampung halamannya yang mayoritas berasal dari wilayah Pantura.

"Proses itu diterbitkan, sebelum mereka (PSK) dipulangkan. Sutiyoso memberikan semacam pendidikan usaha bagi warga lokalisasi dengan beberapa terapan seperti Tata Boga dan Tata Busana. Jadi mendidik orang sini 300 orang setiap satu angkatan dan diberikan modal usaha," jelas Paimun.

Dengan adanya kebijakan Gubernur terkait Lokalisasi Kramat Tunggak, Paimun menuturkan, penutupan nyaris tidak ada perlawanan atau demo menuntut dari warga. Sebab saat itu, pemerintah mengeluarkan biaya besar untuk kebijakan ini. "Penertiban penutupan pemerintah memberikan ganti untung hingga Rp700 milyar bagi mereka yang memiliki tempat tinggal di lokasi," tuturnya.

Keberhasilan pemerintah DKI Jakarta menutup lokalisasi Kramat Tunggak menjadi contoh bagi daerah lainnya. Bahkan pada 2010 Muspika Surabaya datang langsung ke Jakarta untuk bertanya bagaimana caranya menutup Kramat Tunggak dengan tanpa perlawanan seperti yang terjadi di Dolly.
Jakarta Islamic Center, dari Lokalisasi Menjadi Pusat Agama Islam Terbesar di Ibu Kota

Mesjid JIC Mulai Dibangun
Memasuki tahun 2000 lahan Kramat Tunggak sudah dinyatakan bersih dari permukiman Lokalisasi. Kemudian, Sutiyoso melihat pada masa itu masyarakat selalu demonya terkait umat Islam. Dari isu inilah Sutiyoso menilai bahwa lokasi yang dahulunya kelam harus dihilangkan dan dikembalikan kepada fungsinya terutama umat islam.

"Sebelum berpikir untuk membangun JIC ini, beliau pergi ke Mekkah dan dis ana berpikir, Jakarta belum memiliki Islamic Center. Sepulang ibadah umrah, beliau mendatangi Rektor IAIN atau UIN Azumardi Azhra untuk berkonsultasi dan didukung penuh. Namun pembangunan ini bukan hanya soal masjid saja, tetapi harus membuat aktivitas keagamaan umat islam khususnya di DKI Jakarta," terang Paimun.

Akhirnya awal 2001, Pembangunan Kawasan Masjid JIC sudah dimulai dan dikonsep secara matang baik dari sisi pembangunan, aspek hukum yang kuar, pembentukan kelembagaan hingga SDM yang telah di siapkan dengan baik. "Dan ini dibantu konsultan yang melakukan studi banding hingga ke Mesir, Iran, Perancis dan Inggris. Konsep pembagunannya mengadopsi budaya Timur dan Barat," tuturnya.

Masjid Raya JIC selesai dibangun pada 2003 dan diresmikan langsung oleh Sutiyoso pada 4 Maret 2003 dan ditandai dengan salat Jumat perdana. Pada 2005 Pemerintah mulai melakukan pembangunan tiang pancang di bagian gedung diklat sebelah Masjid Raya dan dilanjutkan pembangunan ke wisma bisnis center pada oktober 2006.

"Total ada lima bangunan. Satu bangunan masjid, satu gedung untuk Diklat dan tiga bangunan gedung untuk bisnis," Ucap Paimun.

Konsep Pendidikan dan Bisnis Syariah
Meskipun tujuan utama dari pembangunan Jakarta Islamic Center (JIC) adalah untuk menghilangkan jejak kelam lokasi prostitusi di ujung Jakarta. Namun Pemerintah saat itu berkonsep bahwa berdirinya masjid dan tempat pengkajian ini bisa menjadi sebuah akses bagi masyarakat maupun tamu negara yang ingin belajar agama Islam lebih mendalam.

"Jadi memang konsep utama adalah menghilangkan jejak hitam lokasi ini yang dulu. Lalu secara matang pengubahan tempat ino tidak hanya untuk menjadi masjid. Tetapi juga untuk Aspek Pendidikan, Aspek Bisnis (hotel, perkantoran dan convention), dan puncaknya Aspek Spiritual," kata Paimun.

Paimun menuturkan, Aspek Bisnis yang dimaksud dalam JIC sendiri adalah penerapan bisnis Syariah yang kala itu belum ada di Jakarta. "Untuk itu pembangunan wisma atau hotel yang berada di JIC memang bertujuan untuk melaksanakan aspek ekonomi syariah. Nah kita menghadirkan nuansa baru ada hotel di masjid untuk mendukung wisata Islam," ujarnya.

Paimun menjelaskan, meskipun Hotel JIC sudah jadi tetapi belum sempat berbisnis karena masih belum diizinkan. Karena masih belum digunakan, oleh Gubernur Basuki atau Ahok, hotel ini dipakai sebagai tempat jabatan kepemimpinan DKI Jakarta. Selain itu di Hotel JIC juga pernah dipakai oleh ratusan orang yang mengikuti acara Cyberisasi Masjid dan 2019 acara Islamic Center juga dilakukan.

Selain hotel, JIC juga mengelola bisnis gedung perkantoran dan gedung convention. Hampir sama seperti nasib Hotel yang juga masih belum mulai operasionalnya. "Karena aspek bisnis masih belum boleh. Karena belum digunakan aspek bisnis. Selama ini hanya pendidikan dan saat ini kami hanya berharap soal akses dan kita masih menunggu. Karena konsep awal itu tidak seperti sekarang atau UPT tapi dibawah Sekda," tuturnya.

Terkait soal pendidikan atau pengkajian agama Islam, Paimun mengatakan bahwa dalam setahun JIC di kunjungi masyarakat dari belahan pelosok Indonesia. Bahkan banyak wisatawan baik dari kawasan timur dan eropa melakukan kunjungan untuk mengetahui dan mendalami sejarah Islam.

"Selama setahun, JIC dikunjungi sekitar 3 juta orang. Dalam hal ini seperti slat wajib, kunjungan warga timur tengah yang datang untuk kerja sama membuat kajian pendidikan islam, dari Amerika juga kemarin. Termasuk juga peneliti baik dari Jepang, Singapura. Jadi JIC ini menjadi rujukan sebagai budaya betawi," Tuturnya.

Jadi Lokasi Isolasi Pasien OTG COVID-19
Belakangan nama JIC menjadi ramai dengan adanya rencana penanganan dan pengendalian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan menambah tiga tempat isolasi mandiri, salah satunya adalah hotel yang ada di dalam Kawasan JIC.

"Ada beberapa program jadi gedung Ini mau dijadikan isolasi pengendali untuk pasien OTG. Kita berharap tidak hanya aspek gedungnya yang di pakai tapi kita juga bisa memberikan konsep untuk bagaimana pembinaan di sini," ujarnya.

Menurut Paimun penanganan kasus Covid-19 bukan saja sakit karena fisik. Akan tetapi juga karena sakit non fisiknya juga. Banyak yang sembuh itu juga karena kesadaran spiritual dia naik. "Jadi harapan kita ke depan dengan dipakainya hotel JIC, maka pasien tidak hanya sembuh dari COVID-19, tapi juga spiritualnya meningkat," tutup Paimun.
(wib)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2524 seconds (0.1#10.140)