Mencegah Aksi Penjambretan Ponsel

Senin, 28 September 2020 - 07:02 WIB
loading...
Mencegah Aksi Penjambretan Ponsel
Foto: dok/SINDOnews
A A A
Mohammad Irvan Olii, S.Sos, M.Si
Pengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI

Salah satu barang kepemilikan individual masyarakat yang masih sering menjadi sasaran kriminalitas adalah telepon genggam atau smartphone atau dikenal dengan akronim ponsel. Berdasarkan pemikiran Felson dan Eckert (2018), terdapat perbedaan antara kriminalitas (criminality) dengan kejahatan (crime).

Kriminalitas adalah kecenderungan umum untuk melakukan kejahatan, sedangkan kejahatan mengacu pada suatu peristiwa yang spesifik. Felson dan Eckert mengatakan seseorang dapat saja memiliki kecenderungan berbuat jahat yang tinggi, namun belum tentu punya kesempatan untuk melakukannya. Sementara seseorang yang tidak memiliki kecenderungan melakukan kejahatan dapat saja terdorong melakukannya karena kemudahan kesempatan atau karena pengaruh kelompok terdekat (termasuk juga keluarga). (Baca: Berkata Kotor dan Keji, Dosa yang Sering Diremehkan)

Kepemilikan ponsel pada abad ke-21 seakan telah mengetengahkannya menjadi bentuk risiko baru atau dengan kata lain telah membuat pemiliknya terpapar risiko (exposure to risk) yang berwujud kejahatan. Hal ini, menurut Felson dan Eckert (2018), dapat dipahami dengan paradoks sederhana, yakni andaikan mengemudikan kendaraan dengan kecepatan tinggi akan membuat pengemudinya terpapar berbagai risiko kecelakaan yang termasuk kecelakaan mematikan. Namun, mengemudikan kendaraan dengan kecepatan tinggi secara umum banyak yang tidak menyebabkan kecelakaan, sekalipun kecelakaan terjadi terkadang tidaklah fatal.

Felson dan Eckert menyatakan terpapar risiko tidaklah menjadikan hal buruk akan terjadi setiap saat. Ini hanya menunjukkan bahwa terdapat rata-rata tinggi risiko yang buruk akan mungkin saja terjadi. Bila dikaitkan dengan kepemilikan ponsel, tidaklah selalu membuat seseorang akan menjadi korban penjambretan ponsel, walaupun memang telah ada sejumlah peristiwa yang membuat pemilik ponsel menjadi korban penjambretan.

Felson dan Eckert juga mengungkapkan situasi yang berisiko dapat dicermati menjadi dua pandangan. Pertama, risiko yang secara objektif. Hal ini karena berdasarkan catatan kejahatan menunjukkan angka-angka tinggi sehingga suatu tempat yang memiliki atau tercatat menunjukkan jumlah kejahatan yang banyak pada suatu cakupan waktu pendek dapat dikatakan sebagai tempat berisiko. Jadi, lokasi-lokasi atau tempat-tempat secara statistik tercatat pernah mengalami peristiwa kejahatan dengan jumlah relatif tinggi, maka bisa dikatakan lokasi atau tempat tersebut memiliki kemungkinan risiko kejahatan yang tinggi. Salah satu lokasi paling sering terungkap dalam pemberitaan media berkenaan dengan penjambretan ponsel adalah jalan raya dan korban serta pelaku pada umumnya adalah pengguna kendaraan roda dua.

Pandangan kedua, risiko secara subyektif, yakni mudahnya karena risiko tersebut membuat masyarakat menjadi takut. Contohnya, ketika masyarakat mendapatkan berita dari media massa atau media sosial mengenai terjadinya kejahatan penjambretan ponsel pada beberapa tempat yang umum dikenalnya. Tentu saja hal itu bisa membuat masyarakat menjadi takut, terutama bila anggota masyarakat tersebut sering memanfaatkan tempat yang diberitakan itu. (Baca juga: Mahasiswa ITS Buat Aplikasi Pemantau Kondisi Manula)

Walaupun kejahatan sering kali dipandang sebagai peristiwa yang terjadi dalam waktu dan tempat pada lokasi yang spesifik, peristiwa kejahatan hanyalah satu dari berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang proses terjadinya kejahatan (Cornish, 1994).

Menurut Haelterman (2016), terjadinya kejahatan melibatkan berbagai rangkaian tahapan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan (series of sequential decisions and actions) serta terpapar berbagai faktor yang memiliki pengaruh dan mengganggu. Perlulah untuk dipahami bahwa peristiwa kejahatan adalah proses dinamis dengan berbagai tahapan yang melibatkan rangkaian keputusan berdasarkan pengkajian yang berlangsung atas berbagai pilihan terhadap situasi yang terjadi, serta dapat berubah langkah bergantung pada umpan balik lingkungan yang ada (Wortley, 2012).

Terjadinya penjambretan atas ponsel tidak terlepas dari keputusan-keputusan yang dibuat, baik oleh pelaku maupun korban. Ketika seseorang memutuskan untuk selalu terhubung dengan ponselnya dan tidak mencermati lingkungan sekitar maka keputusan ini menjadi salah satu faktor yang bisa menyebabkan sasaran penjambretan. Begitu pula ketika seseorang karena keterpaksaan, seperti tuntutan untuk menyediakan perangkat telepon pintar agar anaknya dapat tetap bersekolah karena belajar beralih menjadi secara daring akibat kondisi pandemi, memilih melakukan penjambretan ponsel milik orang lain. (Baca juga: Susu Colostrum Dikalim Mampu Pulihkan Saraf Kejepit)

Proses keputusan seseorang terlibat dalam kejahatan, entah sebagai korban atau pelaku, dapat terjadi pada saat mereka melakukan aktivitas kesehariannya. Dengan begitu, perlu terdapat semacam pengendalian, seperti yang dikemukakan Felson dan Eckert bahwa terdapat pengendalian personal (diri sendiri), yang merupakan bendungan pertama dan termasuk adalah pengendalian diri terhadap orang lain berdasarkan standar moral umum dari masyarakat.

Ketika pengendalian diri ini gagal, maka masyarakat bisa mencoba membatasi perilaku yang bertentangan dengan mengentaskan pengendalian sosial. Ini merupakan bendungan kedua dan memerlukan keterikatan sosial antarorang dalam masyarakat. Ketika kedua bendungan tadi gagal, maka masyarakat bisa menerapkan pengendalian secara situasional yang dapat dikatakan sebagai bendungan ketiga., yakni dengan cara menggentarkan pelanggaran aturan secara mendasar pada kehidupan keseharian. Hal terakhir yang bisa dilakukan masyarakat bila ketiga bendungan tersebut juga gagal adalah mengentaskan pengendalian secara formal melalui sistem peradilan pidana, setidaknya dengan keberadaan pengawasan atau patroli dari pihak kepolisian.

Lebih baik melakukan pencegahan dari kemungkinan berisiko menjadi korban penjambretan ponsel. Lakukanlah langkah-langkah pengendalian diri, minimal tumbuhkanlah kesadaran diri akan keberadaan pada suatu lingkungan ketika memanfaatkan perangkat ponsel. Sesama anggota masyarakat perlu pula saling mengingatkan sesama pengguna ponsel bila memang penggunaan ponsel terjadi pada tempat atau waktu yang dapat memunculkan risiko terjadinya penjambretan ponsel.

Hal ini juga bisa diperluas dengan memperbanyak serta memperluas informasi mengenai tempat dan waktu berisiko terjadinya penjambretan ponsel, yang semoga tidak justru menimbulkan rasa takut berlebihan. Sebaliknya, lebih membuat mereka yang berpotensi menjadi pelaku membatalkan niatannya. Artinya, pengentasan pengendalian formal bukanlah harus selalu terwujudkan bila upaya mencegah dapat lebih dahulu terlaksanakan. (Lihat videonya: Dua Kelompok Oramas di Bekasi Selatan Terlibat Bentrok)

Terutama pada masa pandemi global sekarang ini, yang telah menimbulkan tekanan sosial serta perubahan pola kehidupan dengan lebih mengentaskan kebutuhan akan pemanfaatan penggunaan ponsel pintar yang memiliki kemampuan daring. Perlulah diperbanyak upaya pencegahan agar tidak banyak anggota masyarakat yang menjerumuskan dirinya melakukan kejahatan hanya demi pemenuhan kebutuhan tersebut.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1662 seconds (0.1#10.140)