MAKI Soroti Mafia Hukum terkait Kriminalisasi Perkara Perdata

Senin, 21 September 2020 - 17:23 WIB
loading...
MAKI Soroti Mafia Hukum terkait Kriminalisasi Perkara Perdata
Foto: Ilustrasi/Dok SINDOnews
A A A
JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mencurigai maraknya modus menyeret perkara perdata ke ranah pidana dengan menggunakan jejaring mafia hukum untuk menekan pihak yang bersengketa duduk dalam meja perundingan agar menerima skenario penyelesaian versi pemberi order.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengungkapkan banyak pengusaha yang mengeluhkan lingkungan penegakan hukum yang tidak ramah terhadap kegiatan bisnis yang wajar. Ini dikarenakan pengusaha yang bisa mengakses jejaring mafia hukum diduga sering menggunakan instrumen hukum pidana untuk menekan pengusaha lainnya dengan tujuan akhir penguasaan aset atau merampok. (Baca juga: PN Jaksel Vonis Bebas Komisaris PT DBG)

“Situasi ini menjadi keprihatinan para pengusaha. Perkara yang awalnya perdata tiba-tiba diseret ke ranah pidana. Dicari-cari celah untuk mempidanakan lawan bisnis. Apa ini bukan kriminalisasi namanya?” ujarnya di Jakarta, Senin (21/9/2020).

Boyamin mencontohkan kasus yang menjerat Hartanto Jusman terkait perkara dugaan pidana pemalsuan sehubungan operasional perusahaan miliknya yang sebelumnya disidangkan di PN Tangerang. “Namun, akhirnya Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya memvonis bebas yang bersangkutan,” katanya.

Dia mensinyalir mereka yang terlibat dalam jejaring mafia hukum diduga berasal dari lintas institusi, mulai dari oknum kepolisian, oknum kejaksaan, oknum kehakiman, bahkan seringkali oknum lawyer pun ikut dalam orkestra permainan kriminalisasi perkara perdata.

“Kalau semua pihak benar-benar serius hendak menghadirkan lingkungan bisnis yang kondusif, keberadaan jejaring mafia hukum harus dibersihkan. Stop kriminalisasi perkara perdata,” tegasnya.

Pakar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana meminta aparat penegak hukum berhati-hati jika menangani kasus perdata menjadi pidana. Dia menilai bisa terjadi sebuah praktik kriminalisasi dalam perkara tersebut.

“Jadi aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa harus waspada bila ada aduan atas masalah perdata ke pidana,” ujarnya, pekan lalu.

Hal itu disampaikan Hikmahanto menyusul adanya putusan majelis hakim dalam perkara PT DBG dan PT GPE di PN Jakarta Selatan yang menyatakan terdakwa (Komisaris PT DGB) tidak terbukti bersalah melakukan penipuan karena antara kedua belah pihak sudah ada perjanjian kerja.

Dia menegaskan utang-piutang dan perjanjian kerja tidak bisa dilaporkan ke ranah pidana. Menurut dia, penegak hukum harus paham bahwa pidana itu harus ada niat jahat (mens rea) atau actus reus. (Baca juga: Pemerhati Hukum: Banyak Kasus Perdata ke Pidana, Indikasi Ada Permainan)

Sementara, ketika bertindak sebagai saksi ahli dalam perkara dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta autentik gadai saham di PN Denpasar beberapa waktu lalu dimana Dirut PT Geria Wijaya Prestige (GWP) Harijanto Karjadi duduk di kursi terdakwa, mantan Hakim Agung Yahya Harahap menilai hakim sebaiknya menunda pemeriksaan perkara pidana sampai perkara perdata yang menyertainya mendapatkan putusan final atau berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Menurut Yahya, itu merujuk ketentuan tentang titik singgung perkara perdata dan pidana yang melibatkan pihak yang sama atau yang melekat pada barang tertentu. Dalam kamus hukum, titik singgung perkara perdata dan pidana itu dinamakan perselisihan prayudisial (prejudiciel geschill).

Meski hakim diberikan kebebasan untuk memilih apakah tetap meneruskan perkara pidana berbarengan dengan proses perkara perdata atau menunda pemeriksaan perkara pidana dengan menunggu tuntasnya perkara perdata, tapi pada umumnya kalangan pakar hukum dan praktisi hukum sepakat proses perkara pidana lebih baik ditunda sampai perkara perdata memperoleh putusan final atau berkekuatan hukum tetap.
(jon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1808 seconds (0.1#10.140)