Kasus Penipuan Libatkan Residivis, Pakar Hukum: Tak Layak Dapat Restorative Justice
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai restorative justice (RJ) tidak layak diberikan untuk pelaku tindak pidana atau penjahat kambuhan alias residivis. Bahkan, statusnya sebagai residivis seharusnya menjadi faktor pemberat hukuman.
"Kalau residivis itu seseorang yang sudah berkali-kali melakukan tindak pidana, karena itu disebut penjahat kambuhan. Itu tidak cocok RJ diberlakukan kepada residivis," ujar Fickar, Kamis (31/8/2023).
Dia juga mengingatkan kejaksaan dalam memberikan RJ agar benar-benar mempertimbangkan apsek keadilan di masyarakat. “RJ bisa bermuatan negatif, bisa juga sebaliknya. Karena bukan tidak mungkin bisa digunakan oleh oknum dengan modus RJ, padahal di balik itu ada transaksi jahat,’’ ungkapnya.
Terkait konteks RJ, Fickar menyoroti kasus dugaan penipuan dengan terdakwa B yang merupakan Komisaris Utama sebuah perusahaan dan MA (Komisaris) yang saat ini disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Muncul berbagai spekulasi perkara tersebut akan diselesaikan melalui jalur RJ. Pasalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) selalu meminta penundaan waktu sidang dengan berdalih ketidaksiapannya saat agenda tuntutan terdakwa harus dibacakan.
Akibatnya, Ketua Majelis Hakim Delta Tamtama yang memimpin persidangan harus menundanya hingga empat kali acara persidangan.
Fickar menduga adanya unsur kesengajaan melalui penundaan perkara. “Seharusnya kejaksaan tidak boleh melakukan penundaan dengan alasan belum siap. Jika itu terjadi, ada kesan menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Semestinya kejaksaan membuktikan keseriusannya dengan mengajukan tuntutan maksimal,” ujarnya.
Diketahui, kasus penipuan ini bermula dari laporan seseorang berinisial FT di mana terlapor B menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta autentik dengan maksud menggunakan akta tersebut untuk penipuan jual beli tanah di Desa Kedawung, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada 2016 lalu.
Sebelumnya, terdakwa B dan MA juga pernah terlibat kasus penipuan serupa dan berhasil ditangkap Bareskrim Polri dengan kerugian Rp233 miliar.
"Kalau residivis itu seseorang yang sudah berkali-kali melakukan tindak pidana, karena itu disebut penjahat kambuhan. Itu tidak cocok RJ diberlakukan kepada residivis," ujar Fickar, Kamis (31/8/2023).
Dia juga mengingatkan kejaksaan dalam memberikan RJ agar benar-benar mempertimbangkan apsek keadilan di masyarakat. “RJ bisa bermuatan negatif, bisa juga sebaliknya. Karena bukan tidak mungkin bisa digunakan oleh oknum dengan modus RJ, padahal di balik itu ada transaksi jahat,’’ ungkapnya.
Terkait konteks RJ, Fickar menyoroti kasus dugaan penipuan dengan terdakwa B yang merupakan Komisaris Utama sebuah perusahaan dan MA (Komisaris) yang saat ini disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Muncul berbagai spekulasi perkara tersebut akan diselesaikan melalui jalur RJ. Pasalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) selalu meminta penundaan waktu sidang dengan berdalih ketidaksiapannya saat agenda tuntutan terdakwa harus dibacakan.
Akibatnya, Ketua Majelis Hakim Delta Tamtama yang memimpin persidangan harus menundanya hingga empat kali acara persidangan.
Fickar menduga adanya unsur kesengajaan melalui penundaan perkara. “Seharusnya kejaksaan tidak boleh melakukan penundaan dengan alasan belum siap. Jika itu terjadi, ada kesan menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Semestinya kejaksaan membuktikan keseriusannya dengan mengajukan tuntutan maksimal,” ujarnya.
Diketahui, kasus penipuan ini bermula dari laporan seseorang berinisial FT di mana terlapor B menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta autentik dengan maksud menggunakan akta tersebut untuk penipuan jual beli tanah di Desa Kedawung, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada 2016 lalu.
Sebelumnya, terdakwa B dan MA juga pernah terlibat kasus penipuan serupa dan berhasil ditangkap Bareskrim Polri dengan kerugian Rp233 miliar.