Asal Usul Gedung Istana Negara, Rumah Singgah Pengusaha Belanda yang Kini Simbol Kekuasaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Istana Negara selalu menarik untuk dibahas. Sebab Istana Negara merupakan simbol kekuasaan di Indonesia yang selalu diperebutkan setiap lima tahun sekali.
Tak lama lagi, tempat bersejarah ini bakal punya tuan rumah yang baru, yakni Presiden ke 8 RI. Meski pemilihan presiden masih menyisakan waktu 11 bulan lagi, namun mesin politik menuju orang nomor 1 di Indonesia sudah dipanaskan. Namun, siapa pun pemenang Pilpres nanti, yang pasti berkantor di Istana Negara.
Dikutip dari laman resmi Kementerian Sekretariat Negara, Selasa (23/5/2023), Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara. Istana negara menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara resmi kenegaraan, seperti pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasional, dan tempat jamuan kenegaraan.
Istana Negara juga berfungsinya sebagai Kantor Presiden. Pada peringatan hari besar kemerdekaan 17 Agustus, Istana Negara juga dipakai untuk acara jamuan makan Presiden dan para veteran. Istana Negara juga dipakai untuk acara resmi jamuan makan malam kenegaraan.
Istana Negara terletak di Jalan Veteran, Gambir, Jakarta Pusat. Istana Negara membelakangi Istana Merdeka yang menghadap ke Taman Monumen Nasional (Monas). Lingkungan Istana Negara meliputi beberapa bangunan lain, yaitu Kantor Presiden, Wisma Negara, Masjid Baiturrahim, dan Museum Istana Kepresidenan.
Istana Negara yang kini memiliki fungsi sakral, sebenarnya pada awalnya hanyalah kediaman pribadi seorang pengusaha warga negara Hindia Belanda bernama JA Van Braam. Istana Negara mulai dibangun tahun 1796 pada masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten, dan selesai tahun 1804 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Siberg.
Semula Istana Negara merupakan rumah peristirahatan luar kota JA Van Braam. Kala itu kawasan yang sekarang dikenal dengan nama Harmoni, merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia Baru.
Pada tahun 1820 rumah peristirahatan Van Braam ini disewa. Kemudian pada tahun 1821 dibeli oleh pemerintah kolonial untuk digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal para gubernur jenderal bila sedang ada urusan di Batavia.
Para gubernur jenderal waktu itu kebanyakan memang memilih tinggal di Istana Bogor yang lebih sejuk. Tetapi kadang-kadang mereka harus turun ke Batavia, khususnya untuk menghadiri pertemuan Dewan Hindia, setiap Rabu.
Rumah Van Braam dipilih untuk kepala kolonial, karena Istana Daendels di Lapangan Banteng belum selesai. Tapi setelah diselesaikan pun gedung itu hanya dipergunakan untuk kantor pemerintah.
Pada mulanya bangunan seluas 3.375 meter persegi berarsitektur gaya Yunani Kuno ini bertingkat dua. Tapi pada 1848 bagian atasnya dibongkar; dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Di sisi kiri kanan gedung utama dibangun tempat penginapan untuk para kusir dan ajudan Gubernur Jenderal.
Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang tanpa ada perubahan yang berarti. Di samping untuk penginapan gubernur jenderal, gedung bekas rumah Van Braam juga menampung fungsi sekretariat umum pemerintahan.
Kantor-kantor sekretariat itu terletak di bagian bangunan yang menghadap ke gang yang kemudian diberi nama sebagai Gang Secretarie. Dalam perjalanan waktu, gedung itu kemudian tidak mampu menampung semua kegiatan yang semakin meningkat.
Pada 1869, Gubernur Jenderal Pieter Mijer mengajukan permohonan untuk membangun sebuah gedung baru. Seorang Arsitek bernama Drossares dipercayakan untuk merancang gedung baru yang menghadap ke Koningsplein yang kelak bernama Istana Merdeka.
Gagasan itu baru tuntas diwujudkan sepuluh tahun kemudian. Sementara itu, bangunan lama yang menghadap ke Rijswijk akhirnya diperluas.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Istana Negara menjadi saksi sejarah atas penandatanganan naskah Persetujuan Linggajati pada tanggal 25 Maret 1947.
Setahun kemudian, pada 13 Maret 1948, Istana Negara kembali menjadi tuan rumah untuk pertemuan empat mata antara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Letnan Gubernur Jenderal Dr Hubertus J Van Mook.
Kini rakyat Indonesia bersiap menyongsong Pilpres 2024. Lantas siapakah yang terpilih menempati Istana Negara? Kita tunggu hasil pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
Tak lama lagi, tempat bersejarah ini bakal punya tuan rumah yang baru, yakni Presiden ke 8 RI. Meski pemilihan presiden masih menyisakan waktu 11 bulan lagi, namun mesin politik menuju orang nomor 1 di Indonesia sudah dipanaskan. Namun, siapa pun pemenang Pilpres nanti, yang pasti berkantor di Istana Negara.
Dikutip dari laman resmi Kementerian Sekretariat Negara, Selasa (23/5/2023), Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara. Istana negara menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara resmi kenegaraan, seperti pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasional, dan tempat jamuan kenegaraan.
Istana Negara juga berfungsinya sebagai Kantor Presiden. Pada peringatan hari besar kemerdekaan 17 Agustus, Istana Negara juga dipakai untuk acara jamuan makan Presiden dan para veteran. Istana Negara juga dipakai untuk acara resmi jamuan makan malam kenegaraan.
Istana Negara terletak di Jalan Veteran, Gambir, Jakarta Pusat. Istana Negara membelakangi Istana Merdeka yang menghadap ke Taman Monumen Nasional (Monas). Lingkungan Istana Negara meliputi beberapa bangunan lain, yaitu Kantor Presiden, Wisma Negara, Masjid Baiturrahim, dan Museum Istana Kepresidenan.
Istana Negara yang kini memiliki fungsi sakral, sebenarnya pada awalnya hanyalah kediaman pribadi seorang pengusaha warga negara Hindia Belanda bernama JA Van Braam. Istana Negara mulai dibangun tahun 1796 pada masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten, dan selesai tahun 1804 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Siberg.
Semula Istana Negara merupakan rumah peristirahatan luar kota JA Van Braam. Kala itu kawasan yang sekarang dikenal dengan nama Harmoni, merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia Baru.
Pada tahun 1820 rumah peristirahatan Van Braam ini disewa. Kemudian pada tahun 1821 dibeli oleh pemerintah kolonial untuk digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal para gubernur jenderal bila sedang ada urusan di Batavia.
Para gubernur jenderal waktu itu kebanyakan memang memilih tinggal di Istana Bogor yang lebih sejuk. Tetapi kadang-kadang mereka harus turun ke Batavia, khususnya untuk menghadiri pertemuan Dewan Hindia, setiap Rabu.
Rumah Van Braam dipilih untuk kepala kolonial, karena Istana Daendels di Lapangan Banteng belum selesai. Tapi setelah diselesaikan pun gedung itu hanya dipergunakan untuk kantor pemerintah.
Pada mulanya bangunan seluas 3.375 meter persegi berarsitektur gaya Yunani Kuno ini bertingkat dua. Tapi pada 1848 bagian atasnya dibongkar; dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Di sisi kiri kanan gedung utama dibangun tempat penginapan untuk para kusir dan ajudan Gubernur Jenderal.
Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang tanpa ada perubahan yang berarti. Di samping untuk penginapan gubernur jenderal, gedung bekas rumah Van Braam juga menampung fungsi sekretariat umum pemerintahan.
Kantor-kantor sekretariat itu terletak di bagian bangunan yang menghadap ke gang yang kemudian diberi nama sebagai Gang Secretarie. Dalam perjalanan waktu, gedung itu kemudian tidak mampu menampung semua kegiatan yang semakin meningkat.
Pada 1869, Gubernur Jenderal Pieter Mijer mengajukan permohonan untuk membangun sebuah gedung baru. Seorang Arsitek bernama Drossares dipercayakan untuk merancang gedung baru yang menghadap ke Koningsplein yang kelak bernama Istana Merdeka.
Gagasan itu baru tuntas diwujudkan sepuluh tahun kemudian. Sementara itu, bangunan lama yang menghadap ke Rijswijk akhirnya diperluas.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Istana Negara menjadi saksi sejarah atas penandatanganan naskah Persetujuan Linggajati pada tanggal 25 Maret 1947.
Setahun kemudian, pada 13 Maret 1948, Istana Negara kembali menjadi tuan rumah untuk pertemuan empat mata antara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Letnan Gubernur Jenderal Dr Hubertus J Van Mook.
Kini rakyat Indonesia bersiap menyongsong Pilpres 2024. Lantas siapakah yang terpilih menempati Istana Negara? Kita tunggu hasil pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
(thm)