Publik terjebak politik praktis

Rabu, 25 Juli 2012 - 20:54 WIB
Publik terjebak politik praktis
Publik terjebak politik praktis
A A A
Sindonews.com - Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta putaran pertama belum memberikan pendidian politik yang maksimal kepada publik. Sejumlah bentuk pelanggaran selama proses Pilgub itu kerap membuat masyarakat terjebak pada politik praktis.

Demikian dikatakan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Yusfitradi. Menurut dia, pada proses Pilkada lalu terdapat isu politik uang (money politics) begitu gencar dilakukan oleh kontestan. Politik uang ini dilakukan dengan beragam modus, ada berupa memberikan barang, uang secara langsung, menyerahkan bantuan dan lain sebagainya.

"Semua bentuk politik uang ini sering terjadi, tapi tidak ada yang dapat ditindak secara hukum," ungkap Yusfitradi pada diskusi evaluasi Pilkada DKI Jakarta 2012 putaran pertama di kantor Panwaslu DKI Jakarta, Rabu (25/7/2012).

Selain soal money politics, sambung Yusfitradi, persoalan lebih krusial dan substantif terjadi di Pilkada DKI Jakarta, yakni permasalahan daftar pemilih tetap (DPT). Persoalan ini hampir berulang terjadi di setiap pesta demokrasi daerah. Dengan berulangnya masalah tersebut, semestinya Panwaslu DKI Jakarta telah menyiapkan disain pengawasan lebih optimal.

"Kalau melihat pada keberlangsungan Pilkada kemarin, Panwaslu belum menunjukkan rancangan pengawasan lebih pas untuk mengantisipasi agar tidak terjadinya banyak pelanggaran di Pilkada ini," tandasnya.

Selain itu, diskusi ini juga mendaulat sejumlah aktivis Pilkada untuk menyampaikan penilaian terhadap keberlangsungan Pilgub ibu kota ini. Di antaranya peneliti Indonesian Corupption Watch (ICW) Abdullah Dahlan, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Endang Wihdatiningtyas, Ketua Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah, dan Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini.

Tidak ketinggalan juga perwakilan dua pasangan calon yang akan bertarung di putaran kedua nanti, Tim Advokasi Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, Maryogi dan Tim Advokasi Jokowi-Ahok, Deny Iskandar.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini berpendapat, selama pilkada putaran pertama lalu, banyak bentuk pelanggaran ditemuka oleh para penggiat pemantau Pilkada. Sedangkan Panwaslu sebagai lembaga yang telah dibekali dengan personil, anggaran dan kewenangan tidak dapat mendeteksi bentuk pelanggaran di tengah masyarakat.

Bila pun ada pelanggaran dilaporkan warga kepada petugas Panwaslu, namun tindaklanjutnya tidak jelas. "Sejatinya pihak di dalam sistem ini lebih mengetahui bentuk persoalan Pilkada. Semua itu dapat dituntaskan agar tidak lagi hal serupa pada masa lampau," kata Titi.

Menghadapi putaran kedua, Titi mengingatkan, para penyelengara Pilkada, terutama Panwaslu lebih inovatif lagi membuat pencegahan pelanggaran politik. Pencegahan ini dapat membuahkan hasil, jika terus membuat pendidikan politik yang preventif. Tindakan tersebut untuk mencegah publik tidak terjebak pada pelanggaran pemilu yang tidak mencerdaskan atau pragmatis.

Sedangkan anggota Bawaslu Endang Wihdatiningtyas mempertanyakan, dalam pengawasan Pilkada DKI Jakarta ini, Panaslu apakah telah menindaklanjuti sejumlah laporan pelanggaran. Baik pelanggaran administratif maupun pidana.

Bila telah ditindaklanjuti, seberapa banyak yang telah dieksekusi. "Panwaslu harus membuat laporan seperti demikian. Agar terlihat bagaimana bentuk perkembangan dinamika Pilkada tersebut," ujar Endang.

Sebagai lembaga pengawas, Panwaslu bertanggungjawab untuk mengantisipasi agar Pilkada ini harus berlangsung aman dan minim pelanggaran. Keberhasilan panwaslu itu terlihat dengan jumlah pelanggaran terjadi.

Semakin banyak pelanggaran terjadi, semakin lemah Panwaslu melakukan upaya preventif kepada peserta atau pun masyarakat. "Minim pelanggaran ini bukan berarti Panwaslu tidak mengakomodir laporan masyarakat," ujarnya.

Beragama kritikan tersebut ditangkis oleh Ketua Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah. Dia mengatakan, dalam pelaksanaan setiap pekerjaan pihak masih mengalami sejumlah kekurangan. “Pertemuan ini untuk bagian evaluasi bagi kami agar bisa bertindak lebih baik lagi ke depan,” kata Ramdansyah.

Meski begitu, dia mengklaim telah berusaha mengakomodir sejumlah laporan masyarakat terhadap pelanggaran terjadi di tingkat bawah. Hanya saja semua pelanggaran itu tidak dapat ditindaklanjuti, karena kekurangan barang bukti (BB) atau saksi yang melihat langsung atas bentuk pelanggaran yang dilaporkan. “Kendala kita selama terhadap saksi dan alat bukti,” pungkasnya.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7809 seconds (0.1#10.140)