Tak Bayar Iuran, Aliran Listrik di Perumahan Aruba Diputus
A
A
A
DEPOK - Anak-anak sekolah yang tinggal di Perumahan Aruba, Kecamatan Pancoran Mas, Depok terpaksa belajar tanpa aliran listrik. Padahal, pekan ini mereka harus menjalani ujian tengah semester (UTS). Namun mereka tidak dapat belajar di rumahnya karena aliran listrik di sejumlah perumahan tersebut diputus sepihak oleh pengembang.
Pemutusan aliran listrik itu sudah terjadi sejak 10 hari. Setidaknya ada tujuh rumah yang aliran listriknya diputus. Alasannya, mereka tidak bersedia membayar iuran pengelolaan lingkungan (IPL).
"Kenapa kita tidak membayar iuran tersebut, karena ada beberapa aturan manajemen pengembang, yang sebetulnya bukan menjadi tanggungan kami," kata Fid Addison, salah seorang warga di lokasi, Minggu 23 September 2018 malam.
Dia menjelaskan, besaran IPL ditentukan setelah perhimpunan penghuni dibentuk. Hal itu berdasarkan Berita Acara Serah Terima (BAST) rumah. Perhimpunan penghuni dan RT itu sudah terbentuk dari tahun 2015. Hanya saja ada ketidaksepakatan mengenai besaran nominal.
"Perhimpunan penghuni dan RT itu sudah terbentuk dari tahun 2015, namun ternyata besaran IPL tetap mereka yang menentukan, awalnya Rp200 ribu, kemudian naik kata pengembang tergantung luas rumah jadi warga ada yang harus membayar Rp400 ribu, Rp700 ribu sampai satu juta rupiah," beber Fid.
Dia juga merasa ada klausul yang dianggap janggal. Misalnya adanya klausul biaya staff dan prasarana umum yang menurut Fid, seharusnya diserahkan kepada pemerintah.
"Tentunya, ini sebuah bentuk kesewenangan. Mereka memutuskan aliran listrik dan sekarang rencananya mereka juga akan mengambil akses jalan kami," ungkapnya.
Dengan dipadamkan aliran listrik selama 10 hari kata dia membuat warga mengalami tekanan psikologi. Karena mereka tidak bisa melakukan aktivitas normal terutama di malam hari.
"Anak-anak tidak bisa belajar, padahal sebentar lagi mau ujian sekolah. Apalagi di sini, kita enggak pake PAM tapi pompa air, kalau enggak ada listrik bagaimana kita mau mandi," tandasnya.
Fid menuturkan warga ada yang sudah melunasi rumah tersebut. Serta ada yang mengurus lewat KPR.
"Sebetulnya, kita tidak ada lagi hubungan dengan pengembang semuanya sudah diurus kalaupun yang ambil KPR dia urusannya kan dengan bank bukan pengembang. Kalau begini kita tidak seperti punya rumah, layaknya seperti ngekost saja," ucap Fid.
Dia pun berharap ada perhatian dari pemerintah. Warga juga sudah membuat laporan atas kejadian ini.
"Karena kesewenang-wenangan ini, kami memilih tidak membayar IPL sampai ada kata sepakat, dan meminta Pemda untuk mengambil alih pra sarana umum di perumahan ini sesuai dengan Perda 14 Tahun 2013," katanya.
Sebagai bentuk simpati, warga pun menggelar aksi 1000 lilin pada Sabtu 22 September 2018 malam. Puluhan warga kompleks menyalakan lilin sambil menyuarakan keluh kesah mereka. "Kami butuh listrik, sudah 10 hari seperti ini anak-anak kami mau ujian," kata warga.
Bahkan ibu-ibu pun menangis karena kebingungan harus mengadu kemana, dalam kondisi genting tanpa lampu. "Tolong nyalakan listrik kami, ada anak-anak mau belajar sampai pakai lampu emergency. Saya minta tolong banget," kata Reny, warga lainnya.
Herry Setiawan pemilik rumah, yang juga rumahnya mengalami pemadaman listrik mengatakan pihaknya telah mengadu kepada PLN dan Pemerintah Kota Depok mengenai kejadian yang dialaminya.
"Kami telah membuat laporan polisi bahkan telah meminta mediasi ke DPRD Kota Depok dan Pemkot Depok, kami juga meminta pihak PLN segera menanggapi apa yang dialami oleh kami," tutupnya.
Pemutusan aliran listrik itu sudah terjadi sejak 10 hari. Setidaknya ada tujuh rumah yang aliran listriknya diputus. Alasannya, mereka tidak bersedia membayar iuran pengelolaan lingkungan (IPL).
"Kenapa kita tidak membayar iuran tersebut, karena ada beberapa aturan manajemen pengembang, yang sebetulnya bukan menjadi tanggungan kami," kata Fid Addison, salah seorang warga di lokasi, Minggu 23 September 2018 malam.
Dia menjelaskan, besaran IPL ditentukan setelah perhimpunan penghuni dibentuk. Hal itu berdasarkan Berita Acara Serah Terima (BAST) rumah. Perhimpunan penghuni dan RT itu sudah terbentuk dari tahun 2015. Hanya saja ada ketidaksepakatan mengenai besaran nominal.
"Perhimpunan penghuni dan RT itu sudah terbentuk dari tahun 2015, namun ternyata besaran IPL tetap mereka yang menentukan, awalnya Rp200 ribu, kemudian naik kata pengembang tergantung luas rumah jadi warga ada yang harus membayar Rp400 ribu, Rp700 ribu sampai satu juta rupiah," beber Fid.
Dia juga merasa ada klausul yang dianggap janggal. Misalnya adanya klausul biaya staff dan prasarana umum yang menurut Fid, seharusnya diserahkan kepada pemerintah.
"Tentunya, ini sebuah bentuk kesewenangan. Mereka memutuskan aliran listrik dan sekarang rencananya mereka juga akan mengambil akses jalan kami," ungkapnya.
Dengan dipadamkan aliran listrik selama 10 hari kata dia membuat warga mengalami tekanan psikologi. Karena mereka tidak bisa melakukan aktivitas normal terutama di malam hari.
"Anak-anak tidak bisa belajar, padahal sebentar lagi mau ujian sekolah. Apalagi di sini, kita enggak pake PAM tapi pompa air, kalau enggak ada listrik bagaimana kita mau mandi," tandasnya.
Fid menuturkan warga ada yang sudah melunasi rumah tersebut. Serta ada yang mengurus lewat KPR.
"Sebetulnya, kita tidak ada lagi hubungan dengan pengembang semuanya sudah diurus kalaupun yang ambil KPR dia urusannya kan dengan bank bukan pengembang. Kalau begini kita tidak seperti punya rumah, layaknya seperti ngekost saja," ucap Fid.
Dia pun berharap ada perhatian dari pemerintah. Warga juga sudah membuat laporan atas kejadian ini.
"Karena kesewenang-wenangan ini, kami memilih tidak membayar IPL sampai ada kata sepakat, dan meminta Pemda untuk mengambil alih pra sarana umum di perumahan ini sesuai dengan Perda 14 Tahun 2013," katanya.
Sebagai bentuk simpati, warga pun menggelar aksi 1000 lilin pada Sabtu 22 September 2018 malam. Puluhan warga kompleks menyalakan lilin sambil menyuarakan keluh kesah mereka. "Kami butuh listrik, sudah 10 hari seperti ini anak-anak kami mau ujian," kata warga.
Bahkan ibu-ibu pun menangis karena kebingungan harus mengadu kemana, dalam kondisi genting tanpa lampu. "Tolong nyalakan listrik kami, ada anak-anak mau belajar sampai pakai lampu emergency. Saya minta tolong banget," kata Reny, warga lainnya.
Herry Setiawan pemilik rumah, yang juga rumahnya mengalami pemadaman listrik mengatakan pihaknya telah mengadu kepada PLN dan Pemerintah Kota Depok mengenai kejadian yang dialaminya.
"Kami telah membuat laporan polisi bahkan telah meminta mediasi ke DPRD Kota Depok dan Pemkot Depok, kami juga meminta pihak PLN segera menanggapi apa yang dialami oleh kami," tutupnya.
(mhd)