Pengamat: Penertiban Lokalisasi Kalijodo Jadi Momen Penting Negeri Ini
A
A
A
JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan menertibkan kawasan lokalisasi Kalijodo, Jakarta Utara. Ahok juga berencana akan melegalkan kompleks lokalisasi yang diawasi oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Menanggapi hal tersebut, pengamat sosial budaya dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, penertiban lokalisasi akan selalu menjadi momen penting negeri ini. Pasalnya, lokalisasi menjadi miniatur bagaimana negara hadir dalam "ruang bawah tanah" yang sarat dengan kompleksitas ekonomi-sosial-budaya hingga politik.
"Untuk menyelesaikan persoalan ini secara sederhana dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu upaya mengurangi penawarannya atau mengurangi permintaannya," kata Devie ketika dihubungi Sindonews, Jumat 12 Februari 2016.
Devie melanjutkan, dua pendekatan ini yang kemudian membelah 196 negara di dunia menjadi 77 negara yang kemudian memilih melegalkan dan sisanya memberlakukan sistem yang sangat ketat terhadap praktik lokalisasi.
Indonesia dan Thailand ada di posisi negara yang tidak melegalkan secara hukum. Namun di tataran praktik kemasyarakatan, 'bisnis lokalisasi' tersedia untuk melayani pria hidung belang.
Belajar dari Amerika dan Eropa, Swedia memilih untuk melegalkan prostitusi dan secara empiris didapatkan hasil sanggup menurunkan pelaku seks komersial.
"Mengapa Swedia bisa berhasil? Karena Swedia memilih untuk mengurangi permintaan (demand) dengan cara memberlakukan hukuman denda yang ketat terhadap para konsumen prostitusi ini," tambahnya.
Sedangkan Amerika, lanjut Devie, memilih untuk mengurangi supply dengan tidak melegalkan prostitusi, tidak juga berhasil mengurangi angka prostitusinya. Ternyata tidak semua negara yang melegalkan prostitusi berjalan sukses.
"Belanda dan Jerman yang semenjak era-2.000-an melegalkan prostitusi, justru gagal untuk mengurangi angka prostitusi. Karena mereka justru memberikan kesempatan pada pasar untuk menambah supply tanpa berupaya mengurangi demand (permintaan) melalui kebijakan pidana misalnya," tuturnya.
Dari dua pendekatan itu, kata dia, antara mengurangi penawarannya atau mengurangi permintaannya, secara ringkas pembebasan sempurna seperti Jerman, Belanda terbukti tidak mampu mengurangi praktik kekerasan terhadap perempuan.
Berdasarkan studi di Belanda 70% perempuan masih mengalami penyiksaan. Dengan bebasnya praktik prostitusi, terbukti 79% perempuan ingin keluar dari jeratan bisnis ini.
Pembebasan justru membuat praktik penjualan orang (trafficking) semakin meluas. Praktik prostitusi anak pun semakin menguat.
Sedangkan Amerika yang memilih tidak melegalkan terbukti membuat 82% perempuan mengalami kekerasan. Karena di sana illegal, membuat para korban ini tidak berani untuk melaporkan kepada polisi.
"Sebanyak 68% mengalami pemerkosaan dan para perempuan ini 18 kali berpotensi lebih besar untuk bunuh diri karena tekanan emosional," tutup Devie.
PILIHAN:
Kawasan Puncak Diguyur Hujan, Bendung Katulampa Siaga III
Menanggapi hal tersebut, pengamat sosial budaya dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, penertiban lokalisasi akan selalu menjadi momen penting negeri ini. Pasalnya, lokalisasi menjadi miniatur bagaimana negara hadir dalam "ruang bawah tanah" yang sarat dengan kompleksitas ekonomi-sosial-budaya hingga politik.
"Untuk menyelesaikan persoalan ini secara sederhana dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu upaya mengurangi penawarannya atau mengurangi permintaannya," kata Devie ketika dihubungi Sindonews, Jumat 12 Februari 2016.
Devie melanjutkan, dua pendekatan ini yang kemudian membelah 196 negara di dunia menjadi 77 negara yang kemudian memilih melegalkan dan sisanya memberlakukan sistem yang sangat ketat terhadap praktik lokalisasi.
Indonesia dan Thailand ada di posisi negara yang tidak melegalkan secara hukum. Namun di tataran praktik kemasyarakatan, 'bisnis lokalisasi' tersedia untuk melayani pria hidung belang.
Belajar dari Amerika dan Eropa, Swedia memilih untuk melegalkan prostitusi dan secara empiris didapatkan hasil sanggup menurunkan pelaku seks komersial.
"Mengapa Swedia bisa berhasil? Karena Swedia memilih untuk mengurangi permintaan (demand) dengan cara memberlakukan hukuman denda yang ketat terhadap para konsumen prostitusi ini," tambahnya.
Sedangkan Amerika, lanjut Devie, memilih untuk mengurangi supply dengan tidak melegalkan prostitusi, tidak juga berhasil mengurangi angka prostitusinya. Ternyata tidak semua negara yang melegalkan prostitusi berjalan sukses.
"Belanda dan Jerman yang semenjak era-2.000-an melegalkan prostitusi, justru gagal untuk mengurangi angka prostitusi. Karena mereka justru memberikan kesempatan pada pasar untuk menambah supply tanpa berupaya mengurangi demand (permintaan) melalui kebijakan pidana misalnya," tuturnya.
Dari dua pendekatan itu, kata dia, antara mengurangi penawarannya atau mengurangi permintaannya, secara ringkas pembebasan sempurna seperti Jerman, Belanda terbukti tidak mampu mengurangi praktik kekerasan terhadap perempuan.
Berdasarkan studi di Belanda 70% perempuan masih mengalami penyiksaan. Dengan bebasnya praktik prostitusi, terbukti 79% perempuan ingin keluar dari jeratan bisnis ini.
Pembebasan justru membuat praktik penjualan orang (trafficking) semakin meluas. Praktik prostitusi anak pun semakin menguat.
Sedangkan Amerika yang memilih tidak melegalkan terbukti membuat 82% perempuan mengalami kekerasan. Karena di sana illegal, membuat para korban ini tidak berani untuk melaporkan kepada polisi.
"Sebanyak 68% mengalami pemerkosaan dan para perempuan ini 18 kali berpotensi lebih besar untuk bunuh diri karena tekanan emosional," tutup Devie.
PILIHAN:
Kawasan Puncak Diguyur Hujan, Bendung Katulampa Siaga III
(mhd)