Soal Reklamasi Ancol, Kent: Harusnya Didasarkan pada Perda RDTR dan Peraturan Zonasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth, menyayangkan kebijakan Anies Baswedan yang mengeluarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 202, tentang Izin Pelaksanaan Perluasan kawasan Taman Impian Jaya Ancol dan Dunia Fantasi (Dufan). Keputusan tersebut dinilai cacat hukum dikarenakan tidak dilandasi oleh Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi.
Pria yang kerap disapa Kent itu mengatakana, SK yang dikeluarkan oleh orang nomor satu di Jakarta itu hanya didasarkan pada UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Keistimewaan DKI, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Perluasan reklamasi Ancol harus didasarkan pada Perda RDTR dan Peraturan Zonasi, karena Kepgub berada di bawah Perda status kekuatan hukumnya. Jadi tidak bisa semena-mena mengeluarkan Kepgub mengenai perluasan Ancol dan Dufan," ujar Kent dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (11/7/2020).
Ia juga sangat menyayangkan langkah pria kelahiran Kuningan pada 7 Mei 1969 itu, yang tidak melakukan kajian dan konsultasi terlebih dahulu kepada pihak-pihak terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup. (Baca juga: Soal Reklamasi Ancol, Wagub: Kami Sedang Revisi RDTR)
"Saya juga sangat menyayangkan langkah Pak Anies, kenapa sebelum SK keluar tidak konsultasi teknis terlebih dahulu kepada Kementerian Kelautan, dan kementerian yang lain serta para ahli. Karena saya yakin perluasan tersebut pasti akan berdampak pada lingkungan sekitarnya," bebernya.
Ia pun mengaku aneh dengan keputusan Anies, yang terkesan tergesa-gesa dalam membuat Kepgub tentang perluasan Ancol dan Dufan. Kent menduga adanya permainan yang tidak sehat seperti Pemprov DKI meminta jatah kontribusi sebesar 5% setelah PT Pembangunan Jaya Ancol selesai memperluas kawasan Ancol.
"Saya menduga disini ada permainan antara Pak Anies dan pengelola. Kenapa harus bermanuver secara senyap mengeluarkan SK, seharusnya bisa lebih transparan dan bisa duduk bersama-sama dalam membahas hal tersebut, undang stakeholder-stakeholder terkait," tegasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Saefullah menyatakan, perluasan kawasan Ancol bertujuan untuk menyediakan kawasan rekreasi bagi masyarakat, dan lebih mengutamakan kepentingan publik. (Baca juga: Izinkan Reklamasi Ancol, Pengamat Nilai Inkonsistensi Kebijakan )
Kent pun menduga jika perluasan Ancol dan Dufan akan menimbulkan praktik komersialisasi kawasan pesisir di Teluk Jakarta, yang tidak sejalan dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 jo UU Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 tahun 2010.
"Jika ada praktik komersil, maka Pemprov DKI otomatis tidak sejalan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, dimana wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi bagi warga yang ingin mengakses kawasan tersebut tidak harus bayar, atau gratis, jika memang benar diperuntukan untuk kepentingan masyarakat, seperti apa yang diutarakan oleh pak sekda," ketus Kent.
Selain itu, Kent pun menyakini, jika perluasan kawasan Ancol dan Dufan akan membuat kerusakan habitat laut dan kawasan sekitar yang menjadi tempat pengambilan material pasir untuk dijadikan bahan pengerukan reklamasi tersebut.
Kent juga menilai, Anies juga telah melanggar janji kampanyenya pada Pilkada DKI 2017 lalu, yang menyatakan akan menghentikan kegiatan reklamasi dalam bentuk apapun, seperti yang tertuang di poin keempat dari 23 janji kampanye Anies-Sandi. Meskipun sebelumnya ia telah menutup sejumlah proyek reklamasi di kawasan Utara Jakarta, tapi saat ini kembali mengizinkan untuk perluasan Ancol dan Dufan.
"Keputusan Pak Anies telah membohongi serta mencederai hak-hak nelayan dan warga pesisir lainnya, karena akan berdampak langsung pada kehidupan mereka. Kasihan warga pesisir, mereka hanya mengandalkan laut untuk mencari nafkah. Tolong Pak Anies jangan menjilat ludah yang sudah dikeluarkan," pungkasnya.
Pria yang kerap disapa Kent itu mengatakana, SK yang dikeluarkan oleh orang nomor satu di Jakarta itu hanya didasarkan pada UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Keistimewaan DKI, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Perluasan reklamasi Ancol harus didasarkan pada Perda RDTR dan Peraturan Zonasi, karena Kepgub berada di bawah Perda status kekuatan hukumnya. Jadi tidak bisa semena-mena mengeluarkan Kepgub mengenai perluasan Ancol dan Dufan," ujar Kent dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (11/7/2020).
Ia juga sangat menyayangkan langkah pria kelahiran Kuningan pada 7 Mei 1969 itu, yang tidak melakukan kajian dan konsultasi terlebih dahulu kepada pihak-pihak terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup. (Baca juga: Soal Reklamasi Ancol, Wagub: Kami Sedang Revisi RDTR)
"Saya juga sangat menyayangkan langkah Pak Anies, kenapa sebelum SK keluar tidak konsultasi teknis terlebih dahulu kepada Kementerian Kelautan, dan kementerian yang lain serta para ahli. Karena saya yakin perluasan tersebut pasti akan berdampak pada lingkungan sekitarnya," bebernya.
Ia pun mengaku aneh dengan keputusan Anies, yang terkesan tergesa-gesa dalam membuat Kepgub tentang perluasan Ancol dan Dufan. Kent menduga adanya permainan yang tidak sehat seperti Pemprov DKI meminta jatah kontribusi sebesar 5% setelah PT Pembangunan Jaya Ancol selesai memperluas kawasan Ancol.
"Saya menduga disini ada permainan antara Pak Anies dan pengelola. Kenapa harus bermanuver secara senyap mengeluarkan SK, seharusnya bisa lebih transparan dan bisa duduk bersama-sama dalam membahas hal tersebut, undang stakeholder-stakeholder terkait," tegasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Saefullah menyatakan, perluasan kawasan Ancol bertujuan untuk menyediakan kawasan rekreasi bagi masyarakat, dan lebih mengutamakan kepentingan publik. (Baca juga: Izinkan Reklamasi Ancol, Pengamat Nilai Inkonsistensi Kebijakan )
Kent pun menduga jika perluasan Ancol dan Dufan akan menimbulkan praktik komersialisasi kawasan pesisir di Teluk Jakarta, yang tidak sejalan dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 jo UU Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 tahun 2010.
"Jika ada praktik komersil, maka Pemprov DKI otomatis tidak sejalan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, dimana wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi bagi warga yang ingin mengakses kawasan tersebut tidak harus bayar, atau gratis, jika memang benar diperuntukan untuk kepentingan masyarakat, seperti apa yang diutarakan oleh pak sekda," ketus Kent.
Selain itu, Kent pun menyakini, jika perluasan kawasan Ancol dan Dufan akan membuat kerusakan habitat laut dan kawasan sekitar yang menjadi tempat pengambilan material pasir untuk dijadikan bahan pengerukan reklamasi tersebut.
Kent juga menilai, Anies juga telah melanggar janji kampanyenya pada Pilkada DKI 2017 lalu, yang menyatakan akan menghentikan kegiatan reklamasi dalam bentuk apapun, seperti yang tertuang di poin keempat dari 23 janji kampanye Anies-Sandi. Meskipun sebelumnya ia telah menutup sejumlah proyek reklamasi di kawasan Utara Jakarta, tapi saat ini kembali mengizinkan untuk perluasan Ancol dan Dufan.
"Keputusan Pak Anies telah membohongi serta mencederai hak-hak nelayan dan warga pesisir lainnya, karena akan berdampak langsung pada kehidupan mereka. Kasihan warga pesisir, mereka hanya mengandalkan laut untuk mencari nafkah. Tolong Pak Anies jangan menjilat ludah yang sudah dikeluarkan," pungkasnya.
(thm)