Aktivis Heran Kenapa BPOM Hanya Labeli Galon
loading...
A
A
A
JAKARTA - Associate Director Climate Policy Initiative & NPAP Behavior Change Task Force Tiza Mafira mempertanyakan kenapa BPOM hanya menyasar satu produk saja terkait pelabelan kandungan BPA pada kemasan Polikarbonat.
Menurut dia, Polikarbonat juga digunakan untuk kemasan dan produk lain yang cukup banyak jumlahnya. Selain itu, zat kimia lain yang juga mengandung risiko styrine, benzene untuk styrofoam seharusnya juga diungkapkan semua agar konsumen mengetahui dan mendapatkan transparansi.
Baca juga: IDI Dukung BPOM Terapkan Label Bebas BPA di Galon Air Minum
“jika argumennya adalah ternyata BPA nggak aman, maka seharusnya tidak menyasar hanya satu produk saja karena kan nggak cuma air galon saja yang pakai polikarbonat seharusnya tidak diskriminatif terhadap brand tertentu atau produk tertentu,” ujar Tiza di Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Dia mengatakan polemik pelabelan ini terjadi karena dihembuskan kabar bahwa ada masalah kesehatan dengan galon guna ulang.
“Sebenarnya saya nggak sepakat juga sih kalau reuse dibilang lebih berisiko daripada single use. Kalau kita bicara plastic sebenarnya semua materi plastik itu ada risikonya baik single use maupun reuse,” kata Tiza
Banyak isu lain di luar BPA yang juga menjadi polemik di luar negeri. Dia mencontohkan polemik yang sempat ramai di Amerika dan Eropa soal wrapping (pembungkus) untuk fast food. Bungkus kertas makanan cepat saji ini juga dilapisi suatu jenis plastik yang mengandung zat kimia berbahaya.
“Kemudian kalau bicara tentang PET itu juga ada kajian yang menemukan bahwa PET mengandung mikroplastik. Karenanya kita juga sering diminta jangan taruh botol di dalam mobil, kalau kena panas nggak aman airnya, ada proses migrasi kimia jika PET berada di dalam kondisi-kondisi tertentu. Styrofoam juga mengandung bionzine styrine apalagi kalau dipakai untuk merebus bakmi instan,“ ungkapnya.
Tetapi, justru peraturan ambang batas aman penggunaan zat kimia yang ditetapkan BPOM yang bisa dijadikan pegangan masyarakat. “Kenapa masih banyak produk-produk yang beredar dikemas dalam plastik karena kita punya BPOM dan semua negara di dunia punya food and drugs agency yang mengatakan ini ambang batas aman kimia,” ujar Tiza.
Senada dengan Tiza, pakar polimer dari ITB Achmad Zainal Abidin mengatakan, semua jenis plastik memiliki potensi migrasi zat kimia yang digunakan dalam proses pembuatannya.
Menurutnya, melabeli potensi bahaya zat kimia hanya terhadap plastik polikarbonat merupakan tindakan diskriminatif dan tidak sesuai semangat pengawasan pangan.
Sebagaimana diketahui, ada banyak jenis zat plastik yang boleh digunakan sebagai kemasan makanan minuman termasuk Polikarbonat (PC), Poly Etilene Tereftalat (PET), Poly Propilen (PP), dan lain lain.
Beragam jenis plastik tersebut digunakan sebagai kemasan pangan karena sifatnya yang inert (tidak bereaksi dengan lingkungan sekitar).
Dalam dua tahun terakhir ini ada upaya mendiskreditkan kemasan plastik polikarbonat (PC) yang digunakan sebagai kemasan galon air. Padahal dilihat dari sifatnya polikarbonat memiliki beberapa keunggulan dibanding galon berbahan PET.
Baca juga: Gaduh Soal Label BPA Galon Isi Ulang, Pengusaha Depot Air Minum Angkat Bicara
“Secara kimia ketahanan panas atau titik melting galon guna ulang berbahan Polikarbonat itu hampir 200-an derajat celsius dan kemasannya juga keras. Artinya, risiko untuk BPA-nya bermigrasi itu sangat rendah atau hampir tidak mungkin terjadi,” ujar Zainal.
Terkait migrasi zat kimia dari kemasan bahwa itu tidak hanya terjadi pada galon guna ulang PC saja, tapi juga galon sekali pakai berbahan PET. Menurutnya, migrasi zat kimia dari kemasan itu tetap ada akibat masih adanya zat yang belum bereaksi saat pembuatan galon, tapi jumlahnya tidak banyak.
“Jadi, kalau ada label berpotensi mengandung BPA pada galon guna ulang polikarbonat terhadap galon PET yang sekali pakai seharusnya juga diberlakukan hal yang sama. Karena, keduanya sama-sama berpotensi ada migrasi kimia dari kemasannya,” ujar Zainal.
Dari segi lingkungan hidup, plastik guna ulang lebih baik daripada plastik sekali pakai karena penggunaan berulang akan mengurangi dan menunda menjadi sampah. Dari segi materi yang masuk untuk membuatnya juga jauh lebih sedikit hal ini akan berkontribusi pada pengurangan emisi.
Menurut dia, Polikarbonat juga digunakan untuk kemasan dan produk lain yang cukup banyak jumlahnya. Selain itu, zat kimia lain yang juga mengandung risiko styrine, benzene untuk styrofoam seharusnya juga diungkapkan semua agar konsumen mengetahui dan mendapatkan transparansi.
Baca juga: IDI Dukung BPOM Terapkan Label Bebas BPA di Galon Air Minum
“jika argumennya adalah ternyata BPA nggak aman, maka seharusnya tidak menyasar hanya satu produk saja karena kan nggak cuma air galon saja yang pakai polikarbonat seharusnya tidak diskriminatif terhadap brand tertentu atau produk tertentu,” ujar Tiza di Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Dia mengatakan polemik pelabelan ini terjadi karena dihembuskan kabar bahwa ada masalah kesehatan dengan galon guna ulang.
“Sebenarnya saya nggak sepakat juga sih kalau reuse dibilang lebih berisiko daripada single use. Kalau kita bicara plastic sebenarnya semua materi plastik itu ada risikonya baik single use maupun reuse,” kata Tiza
Banyak isu lain di luar BPA yang juga menjadi polemik di luar negeri. Dia mencontohkan polemik yang sempat ramai di Amerika dan Eropa soal wrapping (pembungkus) untuk fast food. Bungkus kertas makanan cepat saji ini juga dilapisi suatu jenis plastik yang mengandung zat kimia berbahaya.
“Kemudian kalau bicara tentang PET itu juga ada kajian yang menemukan bahwa PET mengandung mikroplastik. Karenanya kita juga sering diminta jangan taruh botol di dalam mobil, kalau kena panas nggak aman airnya, ada proses migrasi kimia jika PET berada di dalam kondisi-kondisi tertentu. Styrofoam juga mengandung bionzine styrine apalagi kalau dipakai untuk merebus bakmi instan,“ ungkapnya.
Tetapi, justru peraturan ambang batas aman penggunaan zat kimia yang ditetapkan BPOM yang bisa dijadikan pegangan masyarakat. “Kenapa masih banyak produk-produk yang beredar dikemas dalam plastik karena kita punya BPOM dan semua negara di dunia punya food and drugs agency yang mengatakan ini ambang batas aman kimia,” ujar Tiza.
Senada dengan Tiza, pakar polimer dari ITB Achmad Zainal Abidin mengatakan, semua jenis plastik memiliki potensi migrasi zat kimia yang digunakan dalam proses pembuatannya.
Menurutnya, melabeli potensi bahaya zat kimia hanya terhadap plastik polikarbonat merupakan tindakan diskriminatif dan tidak sesuai semangat pengawasan pangan.
Sebagaimana diketahui, ada banyak jenis zat plastik yang boleh digunakan sebagai kemasan makanan minuman termasuk Polikarbonat (PC), Poly Etilene Tereftalat (PET), Poly Propilen (PP), dan lain lain.
Beragam jenis plastik tersebut digunakan sebagai kemasan pangan karena sifatnya yang inert (tidak bereaksi dengan lingkungan sekitar).
Dalam dua tahun terakhir ini ada upaya mendiskreditkan kemasan plastik polikarbonat (PC) yang digunakan sebagai kemasan galon air. Padahal dilihat dari sifatnya polikarbonat memiliki beberapa keunggulan dibanding galon berbahan PET.
Baca juga: Gaduh Soal Label BPA Galon Isi Ulang, Pengusaha Depot Air Minum Angkat Bicara
“Secara kimia ketahanan panas atau titik melting galon guna ulang berbahan Polikarbonat itu hampir 200-an derajat celsius dan kemasannya juga keras. Artinya, risiko untuk BPA-nya bermigrasi itu sangat rendah atau hampir tidak mungkin terjadi,” ujar Zainal.
Terkait migrasi zat kimia dari kemasan bahwa itu tidak hanya terjadi pada galon guna ulang PC saja, tapi juga galon sekali pakai berbahan PET. Menurutnya, migrasi zat kimia dari kemasan itu tetap ada akibat masih adanya zat yang belum bereaksi saat pembuatan galon, tapi jumlahnya tidak banyak.
“Jadi, kalau ada label berpotensi mengandung BPA pada galon guna ulang polikarbonat terhadap galon PET yang sekali pakai seharusnya juga diberlakukan hal yang sama. Karena, keduanya sama-sama berpotensi ada migrasi kimia dari kemasannya,” ujar Zainal.
Dari segi lingkungan hidup, plastik guna ulang lebih baik daripada plastik sekali pakai karena penggunaan berulang akan mengurangi dan menunda menjadi sampah. Dari segi materi yang masuk untuk membuatnya juga jauh lebih sedikit hal ini akan berkontribusi pada pengurangan emisi.
(jon)