Legenda Roti Lauw, Makanan Jalanan Cikini-Gondangdia yang Ada Sebelum Indonesia Merdeka
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gerombolan gerobak roti berwarna putih menyelimuti jalanan Cikini - Gondangdia, Jakarta Pusat setiap paginya. Mereka merupakan pedagang roti Lauw yang melegenda.
Rutinitas pagi itu kerap dilakukan para pedagang gerobak Roti Lauw sebelum nantinya berdagang dan berkeliling ke pelosok permukiman Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Depok menjajakan roti. Tak hanya rakyat, pelanggan Roti Lauw juga bahkan pemimpin negara.
Setiap harinya, roti ini menjadi pilihan santapan Presiden di Istana Kepresidenan Bogor, bahkan sesekali muncul saat jamuan kenegaraan bersama dengan para tamu negara. Berdiri sejak 1940, Roti Lauw telah ada jauh sebelum Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaannya.
Memanfaatkan kebiasaan masyarakat Eropa yang gemar makan roti di pagi hari. Lau Tjoan To atau Junus Jahja mengawali usahanya dengan membuat rotinya sendiri dan menjualnya dengan gerobak ke beberapa jalanan di sekitar Cikini - Gondangdia.Bagi Lau hal itu tidaklah sulit, mengingat dirinya merupakan keturunan dari Lau Lok Soei yang merupakan master pembuat roti.
Kian lama, Roti Lauw mulai digemari warganya, hingga puncaknya terjadi 1948 ketika bisnis ini berkembang.Lau kemudian membuka toko roti di Gondangdia yang hingga kini masih bertahan. Tidak heran roti ini menjadi salah satu koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Meski saat ini toko roti tengah berkembang, namun Roti Lauw masih bertahan dengan marketing sederhananya.
Rasanya yang khas dan cita rasa tinggi menjadi salah satu keunggulannya. Termasuk di tahun 80-an, saat publik Jakarta mendambakkan Roti Tan Ek Tjoan, Roti Lauw justru berkembang pesat dengan menjamurnya beberapa toko roti.Selain karena cita rasanya, Roti Lauw terkenal dengan keawetannya yang tetap empuk meski tersimpan 3 hari.
Selain itu, dibandingkan roti isi lainnya, Roti memiliki karakter kuat, yakini rasa roti yang padat, keras, dan berwarna kecoklatan yang membuat siapapun kembali ke masa lalu. Karenanya tidak heran, roti buaya milik Roti Lauw menjadi salah satu roti terbaik. Campuran kayu manis, gula merah, dan taburan kacang wijen menjadi pembeda roti ini dengan roti lainnya.
Tidak heran, lewat Roti Buaya, Lauw masih bertahan hingga kini dan menjadi pilihan utama setiap acara lamaran maupun perkawinan masyarakat betawi. Kini Roti Lauw dikelola oleh generasi ketiga keluarga Lau Tjoan To, masih menjaga cita rasanya sebagai roti jadul.
Ronico Yuswari, penerus generasi kedua Lauw Bakery, menuturkan resep dan tampilan roti dari dahulu hingga kini masih sama. Hanya dirinya melakukan inovasi sehingga hadir banyak pilihan rasa, seperti keju, mocca, pisang keju, kacang, dan masih banyak lainnya.
Selain itu, mereka juga merambah ke pusat perbelanjaan, salah satunya di Mall Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sayang minimnya literasi dan kurangnya marketing membuat penikmat roti alami penurunan dari generasi menengah atas, kini menjadi masyarakat menengah ke bawah.
Rutinitas pagi itu kerap dilakukan para pedagang gerobak Roti Lauw sebelum nantinya berdagang dan berkeliling ke pelosok permukiman Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Depok menjajakan roti. Tak hanya rakyat, pelanggan Roti Lauw juga bahkan pemimpin negara.
Setiap harinya, roti ini menjadi pilihan santapan Presiden di Istana Kepresidenan Bogor, bahkan sesekali muncul saat jamuan kenegaraan bersama dengan para tamu negara. Berdiri sejak 1940, Roti Lauw telah ada jauh sebelum Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaannya.
Memanfaatkan kebiasaan masyarakat Eropa yang gemar makan roti di pagi hari. Lau Tjoan To atau Junus Jahja mengawali usahanya dengan membuat rotinya sendiri dan menjualnya dengan gerobak ke beberapa jalanan di sekitar Cikini - Gondangdia.Bagi Lau hal itu tidaklah sulit, mengingat dirinya merupakan keturunan dari Lau Lok Soei yang merupakan master pembuat roti.
Kian lama, Roti Lauw mulai digemari warganya, hingga puncaknya terjadi 1948 ketika bisnis ini berkembang.Lau kemudian membuka toko roti di Gondangdia yang hingga kini masih bertahan. Tidak heran roti ini menjadi salah satu koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Meski saat ini toko roti tengah berkembang, namun Roti Lauw masih bertahan dengan marketing sederhananya.
Rasanya yang khas dan cita rasa tinggi menjadi salah satu keunggulannya. Termasuk di tahun 80-an, saat publik Jakarta mendambakkan Roti Tan Ek Tjoan, Roti Lauw justru berkembang pesat dengan menjamurnya beberapa toko roti.Selain karena cita rasanya, Roti Lauw terkenal dengan keawetannya yang tetap empuk meski tersimpan 3 hari.
Selain itu, dibandingkan roti isi lainnya, Roti memiliki karakter kuat, yakini rasa roti yang padat, keras, dan berwarna kecoklatan yang membuat siapapun kembali ke masa lalu. Karenanya tidak heran, roti buaya milik Roti Lauw menjadi salah satu roti terbaik. Campuran kayu manis, gula merah, dan taburan kacang wijen menjadi pembeda roti ini dengan roti lainnya.
Tidak heran, lewat Roti Buaya, Lauw masih bertahan hingga kini dan menjadi pilihan utama setiap acara lamaran maupun perkawinan masyarakat betawi. Kini Roti Lauw dikelola oleh generasi ketiga keluarga Lau Tjoan To, masih menjaga cita rasanya sebagai roti jadul.
Ronico Yuswari, penerus generasi kedua Lauw Bakery, menuturkan resep dan tampilan roti dari dahulu hingga kini masih sama. Hanya dirinya melakukan inovasi sehingga hadir banyak pilihan rasa, seperti keju, mocca, pisang keju, kacang, dan masih banyak lainnya.
Selain itu, mereka juga merambah ke pusat perbelanjaan, salah satunya di Mall Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sayang minimnya literasi dan kurangnya marketing membuat penikmat roti alami penurunan dari generasi menengah atas, kini menjadi masyarakat menengah ke bawah.
(ams)