Kreditur IOI Temui Penyidik yang Dinilai Paksakan Pasal Pidana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kreditur produk High Promissory Notes (HYPN) PT IndoSterling Optima Investa (IOI) diketahui menemui penyidik Polri yang dinilai memaksakan pasal pidana terhadap keputusan inkrah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Salah satu kreditur HYPN IOI asal Surabaya, Viana Koeswanto, pada hari ini Selasa (4/5/2021) mencoba menemui penyidik Subdit Perindustrian dan Perdaganan (InDag) Mabes Polri yang dipimpin oleh AKBP Agung Yudha Adhi Nugraha.
“Sebagai kreditur produk HYPN dari IOI yang telah sepakat dengan putusan PKPU dan telah menerima pembayaran kami justru mempertanyakan mengapa polisi justru tetap memaksakan untuk membawa kasus ini ke persidangan,” ujar Viana.
Berdasarkan skema Putusan No 174/Pdl Sus-PKPU 2020/PN Niaga Jakarta Pusat atas proses restrukturisasi produk High Promissory Notes (HYPN) senilai Rp1,9 triliun, terdapat sebanyak tujuh kelompok kreditur yang pembayarannya dilakukan bertahap sampai tahun 2027.
Awalnya, IOI akan mulai melakukan pembayaran pada Maret 2021. Namun, proses itu dipercepat pada Desember 2020 dan secara bertahap dilakukan pembayaran. Hingga pekan ini, IOI telah melakukan enam kali pembayaran terhadap 1.102 kreditor.
“Sebagai kreditur, kami justru akan dirugikan ketika pembayaran kepada kami macet. Kami tidak ingin nasib kami serupa nasabah kasus-kasus lain akhirnya tidak menerima hak kami,” tegas Viana.
Sebelumnya, kuasa hukum PT IndoSterling Optima Investa (IOI) Hardodi kepada media Minggu (2/5/2021) mengungkapkan, dalam sistem hukum perdata pihak kreditor memiliki hak untuk mengajukan pembatalan perdamaian apabila debitor telah lalai melaksanakan isi perdamaian. Hal ini diatur dalam Pasal 291 Jo Pasal 170 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
“Boleh saja menempuh jalur pidana kalau IOI dianggap telah lalai menjalankan kewajibannya sesuai putusan PKPU, tapi faktanya sejauh ini lancar-lancar saja. Bahkan sebagai itikad baik klien kami melakukan percepatan pembayaran. Perlu diketahui, saya sering ditanya sebagian besar kreditur, apakah uang kami bisa kembali kalau jalur pidana terus berjalan, saya jawab tidak ada jaminan bisa kembali,” tutur kuasa hukum IOI dari HD Law Firm
Hardodi merasa heran mengapa pihak penyidik Mabes Polri begitu ngotot melanjutkan kasus meskipun buktinya masih kurang. Bahkan di beberapa Polda justru telah mengeluarkan SP3 dengan alasan restorative justice.
"Kalau fokusnya pada kepentingan kreditur, maka proses perdata harusnya didahulukan," kata Hardodi.
Sehari sebelumnya, Senin (3/5/2021), IOI telah menunaikan pembayaran tahap keenam dari proses restrukturisasi HYPN senilai Rp1,9 triliun.
Communication Director IndoSterling Group, Deasy Sutedja, di tempat terpisah menyatakan komitmen untuk menjalankan kewajiban dari putusan PKPU. Percepatan pembayaran yang dilakukan IOI di masa pandemi ini menjadi bukti nyata komitmen perusahaan memenuhi kewajiban kepada kreditur sesuai dengan hal yang telah disepakati.
“Kami selalu berkomitmen sejak awal bahwa IOI akan berusaha menjadikan kepentingan kreditur sebagai prioritas utama,” tutur Deasy.
Salah satu kreditur HYPN IOI asal Surabaya, Viana Koeswanto, pada hari ini Selasa (4/5/2021) mencoba menemui penyidik Subdit Perindustrian dan Perdaganan (InDag) Mabes Polri yang dipimpin oleh AKBP Agung Yudha Adhi Nugraha.
“Sebagai kreditur produk HYPN dari IOI yang telah sepakat dengan putusan PKPU dan telah menerima pembayaran kami justru mempertanyakan mengapa polisi justru tetap memaksakan untuk membawa kasus ini ke persidangan,” ujar Viana.
Berdasarkan skema Putusan No 174/Pdl Sus-PKPU 2020/PN Niaga Jakarta Pusat atas proses restrukturisasi produk High Promissory Notes (HYPN) senilai Rp1,9 triliun, terdapat sebanyak tujuh kelompok kreditur yang pembayarannya dilakukan bertahap sampai tahun 2027.
Awalnya, IOI akan mulai melakukan pembayaran pada Maret 2021. Namun, proses itu dipercepat pada Desember 2020 dan secara bertahap dilakukan pembayaran. Hingga pekan ini, IOI telah melakukan enam kali pembayaran terhadap 1.102 kreditor.
“Sebagai kreditur, kami justru akan dirugikan ketika pembayaran kepada kami macet. Kami tidak ingin nasib kami serupa nasabah kasus-kasus lain akhirnya tidak menerima hak kami,” tegas Viana.
Sebelumnya, kuasa hukum PT IndoSterling Optima Investa (IOI) Hardodi kepada media Minggu (2/5/2021) mengungkapkan, dalam sistem hukum perdata pihak kreditor memiliki hak untuk mengajukan pembatalan perdamaian apabila debitor telah lalai melaksanakan isi perdamaian. Hal ini diatur dalam Pasal 291 Jo Pasal 170 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
“Boleh saja menempuh jalur pidana kalau IOI dianggap telah lalai menjalankan kewajibannya sesuai putusan PKPU, tapi faktanya sejauh ini lancar-lancar saja. Bahkan sebagai itikad baik klien kami melakukan percepatan pembayaran. Perlu diketahui, saya sering ditanya sebagian besar kreditur, apakah uang kami bisa kembali kalau jalur pidana terus berjalan, saya jawab tidak ada jaminan bisa kembali,” tutur kuasa hukum IOI dari HD Law Firm
Hardodi merasa heran mengapa pihak penyidik Mabes Polri begitu ngotot melanjutkan kasus meskipun buktinya masih kurang. Bahkan di beberapa Polda justru telah mengeluarkan SP3 dengan alasan restorative justice.
"Kalau fokusnya pada kepentingan kreditur, maka proses perdata harusnya didahulukan," kata Hardodi.
Sehari sebelumnya, Senin (3/5/2021), IOI telah menunaikan pembayaran tahap keenam dari proses restrukturisasi HYPN senilai Rp1,9 triliun.
Communication Director IndoSterling Group, Deasy Sutedja, di tempat terpisah menyatakan komitmen untuk menjalankan kewajiban dari putusan PKPU. Percepatan pembayaran yang dilakukan IOI di masa pandemi ini menjadi bukti nyata komitmen perusahaan memenuhi kewajiban kepada kreditur sesuai dengan hal yang telah disepakati.
“Kami selalu berkomitmen sejak awal bahwa IOI akan berusaha menjadikan kepentingan kreditur sebagai prioritas utama,” tutur Deasy.
(thm)