Depok Zona Merah Covid-19 Dipicu Klaster Keluarga
loading...
A
A
A
DEPOK - Kota Depok saat ini kembali berstatus zona resiko tinggi atau zona merah Covid-19 . Depok saat ini satu-satunya kota di Jawa Barat yang berstatus zona merah.
Depok sebelumnya sudah beberapa kali berstatus zona merah. Pada kasus sebelumnya, zona merah di Kota Depok disumbang oleh imported case perkantoran. Namun zona merah kali ini dipicu klaster keluarga. (Baca juga: 1.333 Orang Tanpa Gejala Terpapar Covid-19 di Depok)
“Kalau dulu waktu saat di September itu kan berasal dari imported case perkantoran. Sekarang di data kita, yang imported case perkantoran itu turun tapi penyebaran merah ini lebih banyak ke transmisi lokal atau klaster keluarga. Memang klasternya yang naik itu sekarang klaster keluarga,” kata Penjabat Sementara Wali Kota Depok, Dedi Supandi, Rabu (28/10/2020).
Klaster keluarga terjadi sebagai dampak kondisi kepadatan di Kota Depok. Faktor lainnya karena adanya delay ketidaksinkronan data antara yang di daerah dengan pusat. Misalnya pekan lalu belum terupdate di pekan ini. (Baca juga: Belajar Sukses Jatim Tekan Covid-19 dan Keluar dari Zona Merah)
“Sehingga menyebabkan terjadinya tumpukan laporan, akhirnya seolah-olah sekaligus segitu dengan digit begitu. Ini sudah kita lakukan langkah-langkah per 27 Oktober. KKita juga sudah berkoordinasi dengan PHEOC Kemenkes untuk terjadi penyesuaian data dengan data dari gugus tugas yang di Depok ini,” tukasnya.
Dedi menuturkan, untuk penanggulangan pencegahan di Depok juga dioptimalkan melalui Pembatasan Sosial Kampung Siaga (PSKS). Saat ini di Depok ada 238 RW yang ditetapkan sebagai RW PSKS.
“Terus juga karena yang terjadi adalah kasus klaster keluarga maka upaya selanjutnya adalah bagaimana sebuah rencana akan dilakukan penjemputan kembali bagi beberapa isomer yang rumahnya kurang representatif. Itu nanti akan ditempatkan, ada di citra medika sebanyak 41 bed ini sudah kita hubungi, termasuk dengan yang digalang oleh rumah teduh di Pondok Cina itu akan coba dipenuhi,” ucapnya.
Dedi tidak menampik tingginya klaster keluarga ini sebagai dampak dari belum adanya tempat isolasi bagi pasien tanpa gejala. Tingkat kepadatan penduduk juga menjadi pemicu terjadinya klaster keluarga.
“Salah satunya itu kan kondisi penduduk kita kan yang mencapai 2,4 juta sekian orang dibanding luas wilayah 200,3 km2. Kan rata-rata 12.000 per km2, makanya banyak terdampak itu, ada beberapa kecamatan yang kepadatan penduduknya melebihi dari rata-rata misalnya 18.000 per km2, seperti di Sukmajaya dan Pancoran Mas,” katanya.
Di wilayah padat penduduk kata dia jumlah yang terpapar menjadi lebih banyak. “Di sana memang datanya akan lebih banyak dari yang lain, karena memang pergerakan Covid ini kan bercerita tentang pergerakan orang. Sementara pergerakan orang pun dalam ruang yang sempit dan kondisi luas wilayah yang sempit jelas menjadi sebuah pengaruh,” pungkasnya.
Depok sebelumnya sudah beberapa kali berstatus zona merah. Pada kasus sebelumnya, zona merah di Kota Depok disumbang oleh imported case perkantoran. Namun zona merah kali ini dipicu klaster keluarga. (Baca juga: 1.333 Orang Tanpa Gejala Terpapar Covid-19 di Depok)
“Kalau dulu waktu saat di September itu kan berasal dari imported case perkantoran. Sekarang di data kita, yang imported case perkantoran itu turun tapi penyebaran merah ini lebih banyak ke transmisi lokal atau klaster keluarga. Memang klasternya yang naik itu sekarang klaster keluarga,” kata Penjabat Sementara Wali Kota Depok, Dedi Supandi, Rabu (28/10/2020).
Klaster keluarga terjadi sebagai dampak kondisi kepadatan di Kota Depok. Faktor lainnya karena adanya delay ketidaksinkronan data antara yang di daerah dengan pusat. Misalnya pekan lalu belum terupdate di pekan ini. (Baca juga: Belajar Sukses Jatim Tekan Covid-19 dan Keluar dari Zona Merah)
“Sehingga menyebabkan terjadinya tumpukan laporan, akhirnya seolah-olah sekaligus segitu dengan digit begitu. Ini sudah kita lakukan langkah-langkah per 27 Oktober. KKita juga sudah berkoordinasi dengan PHEOC Kemenkes untuk terjadi penyesuaian data dengan data dari gugus tugas yang di Depok ini,” tukasnya.
Dedi menuturkan, untuk penanggulangan pencegahan di Depok juga dioptimalkan melalui Pembatasan Sosial Kampung Siaga (PSKS). Saat ini di Depok ada 238 RW yang ditetapkan sebagai RW PSKS.
“Terus juga karena yang terjadi adalah kasus klaster keluarga maka upaya selanjutnya adalah bagaimana sebuah rencana akan dilakukan penjemputan kembali bagi beberapa isomer yang rumahnya kurang representatif. Itu nanti akan ditempatkan, ada di citra medika sebanyak 41 bed ini sudah kita hubungi, termasuk dengan yang digalang oleh rumah teduh di Pondok Cina itu akan coba dipenuhi,” ucapnya.
Dedi tidak menampik tingginya klaster keluarga ini sebagai dampak dari belum adanya tempat isolasi bagi pasien tanpa gejala. Tingkat kepadatan penduduk juga menjadi pemicu terjadinya klaster keluarga.
“Salah satunya itu kan kondisi penduduk kita kan yang mencapai 2,4 juta sekian orang dibanding luas wilayah 200,3 km2. Kan rata-rata 12.000 per km2, makanya banyak terdampak itu, ada beberapa kecamatan yang kepadatan penduduknya melebihi dari rata-rata misalnya 18.000 per km2, seperti di Sukmajaya dan Pancoran Mas,” katanya.
Di wilayah padat penduduk kata dia jumlah yang terpapar menjadi lebih banyak. “Di sana memang datanya akan lebih banyak dari yang lain, karena memang pergerakan Covid ini kan bercerita tentang pergerakan orang. Sementara pergerakan orang pun dalam ruang yang sempit dan kondisi luas wilayah yang sempit jelas menjadi sebuah pengaruh,” pungkasnya.
(thm)