Cegah Eksploitasi Seksual Anak

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 07:35 WIB
loading...
A A A
Edwin menjelaskan, pada kenyataannya mereka dieksploitasi pada saat bekerja. Saat menjadi AYLA, anak-anak itu dipekerjakan 10 jam/hari, bahkan hingga 16 jam/hari. Dalam 1 hari mereka bisa melayani 10 tamu, mereka dijanjikan penghasilan Rp1 juta hingga Rp20 juta/bulannya atau Rp250.000 hingga Rp2 juta/tamunya.

“Namun, jauh panggang dari api, di antara mereka bahkan tidak mendapatkan upah sama sekali. Bahkan, mereka juga dipaksa untuk meminum pil KB atau obat kontrasepsi sehingga dapat dieksploitasi secara terus menerus tanpa terhalang siklus menstruasi” tandasnya.

Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar mengatakan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak. Bahkan, pada tahun 2016, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk merespons maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, dengan menambah ancaman pidana menjadi paling lama 20 tahun, atau pidana seumur hidup, atau hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Ini termasuk hukuman tambahan lain yang melahirkan kontroversi, antara lain, pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik. “Sayangnya, perhatian Presiden terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak belum diiringi dengan kecukupan anggaran bagi pelaksanaan perlindungan anak,” kata Livia.

Anggota Komisi VIII DPR Diah Pitaloka berpandangan, selain meningkatkan peran pengawasan dan penegakan hukum dari aparat, masyarakat juga harus menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan prostitusi, terlebih saat pandemi. Karena dalam konsep supply and demand, aksi jual-beli prostitusi tidak bisa terjadi jika pembeli jasa lebih menahan diri. “Prostitusi itu persoalannya bukan orang yang membuka jasa prostitusi, tetapi orang yang membeli jasa prostitusi. Selama ini kan yang banyak disalahkan itu hanya penjualnya,” kata anggota Komisi DPR yang fokus terhadap masalah perempuan dan anak itu. (Lihat videonya: Sadis, Prostitusi Anak di Bawah Umur via Medsos Tarif Rp350 Ribu)

Terlebih Diah mengatakan saat ini pandemi Covid-19 masih merebak dan terus meluas, tentu akan sangat berbahaya jika kegiatan prostitusi ini justru menjadi klaster baru persebaran Covid, baik yang menjajakan secara online maupun offline. Semuanya berisiko dan akan sulit melakukan identifikasi atau traking jika ada yang positif. “Bahayanya bisa menimbulkan klaster baru penyebaran Covid-19. Yang jelas, praktik prostitusinya tidak bisa teridentifikasi, baik yang online maupun offline karena ilegal sehingga kalau ada yang positif, susah ditraking yang bersangkutan berinteraksi dengan siapa saja,” tutur Diah. (Yan Yusuf/Kiswondari)
(ysw)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1334 seconds (0.1#10.140)