Cegah Eksploitasi Seksual Anak

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 07:35 WIB
loading...
Cegah Eksploitasi Seksual Anak
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Eksploitasi seksual komersial melalui praktik prostitusi daring terus mengancam anak-anak di Tanah Air. Apalagi, sejumlah aplikasi membuka celah praktik tersebut. Salah satu modus untuk menjerat korban dengan menawarkan pekerjaan.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tercatat sepanjang Januari hingga Juni 2020, jumlah kekerasan yang menimpa anak mencapai 3.297 kasus. Dari jumlah tersebut, 1.962 anak di antaranya korban kekerasan seksual.

Perkembangan internet yang luar biasa memang tidak hanya sebatas penyedia akses terhadap informasi, tapi juga berkembang dalam bidang komunikasi. Jejaring sosial maupun chating dengan aplikasi tertentu merupakan perkembangan komunikasi di dunia maya. Sayangnya, banyak orang yang menyalahgunakan. (Baca: Eksploitasi Anak, KPAI Minta Pemda DKI Perketat Keamanan Hotel)

Ada akun yang mempromosikan dirinya sendiri, ada juga yang mempromosikan akun orang lain. Bahkan, ada beberapa akun yang memasarkan prostitusi dengan menggunakan tagar tertentu. Salah satu tagar yang banyak dipakai adalah #OpenBO. BO merupakan singkatan dari "booking out" yang berarti menyewa jasa seks. Layanan lainnya yang ditawarkan ialah VCS alias video call sex atau seks lewat panggilan video.

Belum lama ini, petugas Polres Jakarta Barat menangkap tiga pelaku mengelola akun berbau seks. Mereka mengajak nitizen, terutama anak baru gede (ABG) untuk masuk dalam grup. Mereka kemudian diminta untuk mempertontonkan sedikit kemolekan tubuh berpakaian minim lalu memvideokannya. Cuplikan video ini kemudian disebar melalui grup di media sosial Line sebagai promo sebelum akhirnya masuk ke konten phone sex dan video call sex.

Dalam seminggu, satu anak bisa membuat 10 konten pornografi, entah itu phone sex, video call sex, ataupun aktivitas seksual yang disiarkan secara langsung. Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Audie S Latuheru mengatakan, para korban mendapatkan Rp50.000 setiap memamerkan konten porno. Sementara para pelaku meraup jutaan rupiah. “Akun media sosial yang mereka buat sudah diikuti lebih dari 600 orang (pelanggan)," ujar Audie. (Baca juga: Perompak Somalia Bajak Kapal Berbendera Panama)

Kasus prostitusi online yang melibatkan anak di bawah umur juga terjadi di Pontianak, Kalimantan Barat. Polisi mengamankan 20 orang, lima di antaranya anak di bawah umur. Modus tersangka dalam melancarkan aksi bejatnya dengan terlebih dahulu memacari korban. Setelah dipacari, lalu disetubuhi, selanjutnya ditawarkan kepada pria hidung belang melalui aplikasi MiChat. Dari hasil pemeriksaan terungkap pelaku menjual korban seharga Rp300.000 sampai Rp1 juta sekali kencan.

Unit Reskrim Polsek Koja, Jakarta Utara, juga membongkar praktik prostitusi anak di bawah umur. Tiga tersangka yang berperan sebagai muncikari penyedia jasa turut diamankan. Kasus ini berawal dari laporan warga tentang adanya praktik prostitusi anak di bawah umur di Kos Pondok Impian, Simpang Lima Semper, Tugu Selatan.

“Korban yang kami temukan sebanyak tujuh orang, umurnya antara 15, 16, dan 17 tahun. Para muncikari menawarkan jasa PSK anak ini melalui aplikasi media sosial dengan harga antara Rp500.000-Rp1jt untuk sekali kencan,” ujar Kanit Reskrim Polsek Koja AKP Andry.

Kasus prostitusi di bawah umur pernah terjadi di Kafe Khayangan, Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara. Tersangka menawarkan pekerjaan sebagai pramusaji dengan gaji relatif tinggi. Padahal, anak-anak tersebut dijual kepada lelaki hidung belang. Para korban yang masih berusia 14-18 tahun itu berasal dari berbagai daerah di antaranya Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tubuh anak-anak itu dijual seharga Rp750.000 hingga Rp 1.500.000. Sementara korban hanya akan mendapat bayaran Rp150.000 setiap kencan. (Baca juga: 9 Poin Penting RUU Cipatker Masih Jadi Perdebatan Tim Buruh-DPR)

Polda Sumatera Barat juga mengungkap praktik prostitusi yang melibatkan anak bawah umur. Seorang muncikari yang diduga memperdagangkan perempuan belia ke lelaki hidung belang ditangkap. Pelaku mengimingi korban dengan sejumlah uang jika mau melayani pelanggan yang didatangkan oleh pelaku di kamar hotel. Perempuan yang dijual berusia 16 tahun dan 19 tahun melalui pesan WhatsApp. Keduanya berprofesi Sales Promotion Girl (SPG). Pelaku mematok tarif sebesar Rp800.000 per sekali kencan kilat.

Rektor Ibnu Chaldun Prof Musni Umar menilai apa yang terjadi merupakan perubahan masalah sosial. Para pelaku sengaja memanfaatkan media sosial karena peluang mendapat keuntungan cukup cepat dan besar. Menurut dia, selama masyarakat memiliki ketertarikan bisnis semacam itu akan terus tumbuh subur. Melalui UU ITE dan Pornografi, kata dia, seharusnya polisi bisa menghukum para pelaku dengan penjara cukup lama. “Hukumannya harus banyak agar punya efek jera,” ungkapnya.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak mendapat perhatian dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada rapat terbatas awal Januari (9/1) lalu. Bahkan, Presiden menyebut kasus terus meningkat. Oleh sebab itu, Presiden meminta agar prioritas aksi pencegahan kekerasan pada anak melibatkan keluarga, sekolah, dan juga masyarakat.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu berpendapat, kekhawatiran Presiden ini beralasan, karena belum lama ini publik dihentakkan dengan eksploitasi seksual anak yang terjadi di sejumlah daerah. Misalnya, di Lampung Timur, seorang petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) malah menjadi pelaku persetubuhan terhadap anak korban yang dia dampingi, bahkan terindikasi terjadi praktik dagangan seksual anak. (Baca juga: Wamena Papua Kembali Mencekam, 10 Rumah Dibakar dan 4 Warga Terluka)

Edwin mengatakan peristiwa lain juga terjadi di Jakarta, seorang warga negara Prancis diduga melakukan pengambilan gambar vulgar terhadap 305 anak perempuan dan menyetubuhi para korbannya. Pelaku berakhir bunuh diri di tahanan polisi. Di Kutai Barat, Kalimantan Timur, seorang oknum PNS guru terlibat dalam perdagangan seksual anak.

Menurut Edwin, informasi yang disampaikan Perwakilan United Nations Children's Fund (UNICEF) Indonesia pada 2004 bahwa setiap tahunnya kurang lebih 70.000 anak-anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual masih relevan hingga saat ini.

Edwin membeberkan sejumlah catatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di mana setidaknya sejak 2016 hingga Juni 2020 ini ada 926 permohonan perlindungan terhadap anak yang masuk ke LPSK.

“Asal permohonan tertinggi dari Jawa Barat, diikuti DKI Jakarta, lalu Sumatera Utara. Sebanyak 482 di antaranya adalah korban kekerasan seksual, 133 anak menjadi korban perdagangan orang, dan sisanya dari berbagai kasus yang menempatkan anak menjadi korban. Sebanyak 106 anak menjadi korban eksploitasi perdagangan seksual,” papar Edwin, dalam keterangannya.

Masih, kata Edwin, berdasarkan asal korban, LPSK mencatat anak yang dilacurkan (AYLA) banyak yang berdomisili dari Jawa Barat, diikuti Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Sementara berdasarkan locus delicti AYLA, DKI Jakarta berada di tempat teratas diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat. Untuk tingkat pendidikan, sebagian besar AYLA tidak menyelesaikan pendidikan dasar 12 tahun, bahkan ada yang tidak menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD). (Baca juga: Gesek ATM Mulai Gak Laku, Nasabah Lebih Milih Digital Banking)

“Pada umumnya, AYLA yang ingin bekerja, mendapatkan informasi pekerjaan dari teman, media sosial, kerabat dan agen/perekrut. Di mana pada awalnya mereka dijanjikan bekerja sebagai pramusaji kafe/restoran, pemandu lagu karaoke, penjaga toko, dan lainnya dengan janji penghasilan yang memadai,” ujarnya.

Edwin menjelaskan, pada kenyataannya mereka dieksploitasi pada saat bekerja. Saat menjadi AYLA, anak-anak itu dipekerjakan 10 jam/hari, bahkan hingga 16 jam/hari. Dalam 1 hari mereka bisa melayani 10 tamu, mereka dijanjikan penghasilan Rp1 juta hingga Rp20 juta/bulannya atau Rp250.000 hingga Rp2 juta/tamunya.

“Namun, jauh panggang dari api, di antara mereka bahkan tidak mendapatkan upah sama sekali. Bahkan, mereka juga dipaksa untuk meminum pil KB atau obat kontrasepsi sehingga dapat dieksploitasi secara terus menerus tanpa terhalang siklus menstruasi” tandasnya.

Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar mengatakan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak. Bahkan, pada tahun 2016, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk merespons maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, dengan menambah ancaman pidana menjadi paling lama 20 tahun, atau pidana seumur hidup, atau hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Ini termasuk hukuman tambahan lain yang melahirkan kontroversi, antara lain, pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik. “Sayangnya, perhatian Presiden terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak belum diiringi dengan kecukupan anggaran bagi pelaksanaan perlindungan anak,” kata Livia.

Anggota Komisi VIII DPR Diah Pitaloka berpandangan, selain meningkatkan peran pengawasan dan penegakan hukum dari aparat, masyarakat juga harus menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan prostitusi, terlebih saat pandemi. Karena dalam konsep supply and demand, aksi jual-beli prostitusi tidak bisa terjadi jika pembeli jasa lebih menahan diri. “Prostitusi itu persoalannya bukan orang yang membuka jasa prostitusi, tetapi orang yang membeli jasa prostitusi. Selama ini kan yang banyak disalahkan itu hanya penjualnya,” kata anggota Komisi DPR yang fokus terhadap masalah perempuan dan anak itu. (Lihat videonya: Sadis, Prostitusi Anak di Bawah Umur via Medsos Tarif Rp350 Ribu)

Terlebih Diah mengatakan saat ini pandemi Covid-19 masih merebak dan terus meluas, tentu akan sangat berbahaya jika kegiatan prostitusi ini justru menjadi klaster baru persebaran Covid, baik yang menjajakan secara online maupun offline. Semuanya berisiko dan akan sulit melakukan identifikasi atau traking jika ada yang positif. “Bahayanya bisa menimbulkan klaster baru penyebaran Covid-19. Yang jelas, praktik prostitusinya tidak bisa teridentifikasi, baik yang online maupun offline karena ilegal sehingga kalau ada yang positif, susah ditraking yang bersangkutan berinteraksi dengan siapa saja,” tutur Diah. (Yan Yusuf/Kiswondari)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1699 seconds (0.1#10.140)