Asal Usul Kali Angke, Tempat Pembantaian Massal VOC 1740
Jum'at, 25 Maret 2022 - 06:01 WIB
Terkait mata pencaharian, warga yang tinggal di luar benteng atau tembok kota Batavia bekerja sebagai petani. Lebih spesifik, ada yang menggeluti profesi sebagai petani gula dan bambu. Sebagian dari mereka juga bekerja di bidang perkayuan dan arak untuk menyediakan kebutuhan bagi warga yang tinggal di dalam tembok kota.
Menjelang tahun 1740, keadaan di kota Batavia tidak menentu. Orang Tionghoa yang masuk ke Batavia harus memiliki kartu tanda masuk. Jika tidak dipatuhi, mereka akan ditangkap. Saat itu, diketahui banyak warga Tionghoa yang melanggar aturan tersebut yang berakibat pada penahanan oleh pihak berwajib.
Mereka yang ditahan baru dibebaskan setelah membayar nominal tertentu. Diketahui, pemerintah VOC mewajibkan warga Tionghoa untuk menyerahkan uang sebesar 2 ringgit setiap tahunnya. Bukti pembayaran itu dicantumkan dalam licentiebriefje dan pasbriefje. Jika mereka tidak sanggup menunjukkan bukti itu, maka akan dipulangkan ke negeri China atau dikirim ke Ceylon untuk dipaksa bekerja di perkebunan.
Di sisi lain, banyak warga Tionghoa yang mengalami perampokan dan penyiksaan. Perlakukan buruk itu tentunya didapat dari pemerintah VOC. Perbuatan sewenang-wenang yang diimplementasikan pemerintah VOC membuat warga Tionghoa geram. Hubungan antara etnis Tionghoa dan pemerintah VOC di Batavia menjadi sangat renggang dan dipenuhi rasa curiga.
Ada berbagai kebijakan lain yang membuat masyarakat Tionghoa naik pitam. Salah satunya, mengirim orang Tionghoa ke Ceylon, yang dicurigai sebagai gelandangan dan tidak memiliki bukti masuk kota. Kabar burung yang kala itu beredar menyebutkan bahwa mereka akan dibuang ke tengah laut saat proses pengiriman. Kemarahan warga Tionghoa pun memuncak. Pada 9 Oktober 1740 mereka melakukan pemberontakan.
Aksi itu berakhir dengan pembantaian terhadap etnis Tionghoa. Pembantaian ini juga didorong adanya narasi yang dikeluarkan oleh pihak VOC, bahwa siapa saja yang berhasil membantai etnis Tionghoa (terutama bagi mereka yang ada di luar kota Batavia), maka akan memperoleh uang berupa 2 dukat (emas atau perak yang diperjualbelikan di Eropa) per orang. Iming-iming ini dinilai sangat menggiurkan, sehingga pembantaian yang terjadi sangat membabi buta. Para pembantai tak peduli siapa yang ia bunuh. Tua, muda, anak-anak, atau remaja dilibasnya, asalkan orang itu berasal dari etnis Tionghoa.
Menjelang tahun 1740, keadaan di kota Batavia tidak menentu. Orang Tionghoa yang masuk ke Batavia harus memiliki kartu tanda masuk. Jika tidak dipatuhi, mereka akan ditangkap. Saat itu, diketahui banyak warga Tionghoa yang melanggar aturan tersebut yang berakibat pada penahanan oleh pihak berwajib.
Mereka yang ditahan baru dibebaskan setelah membayar nominal tertentu. Diketahui, pemerintah VOC mewajibkan warga Tionghoa untuk menyerahkan uang sebesar 2 ringgit setiap tahunnya. Bukti pembayaran itu dicantumkan dalam licentiebriefje dan pasbriefje. Jika mereka tidak sanggup menunjukkan bukti itu, maka akan dipulangkan ke negeri China atau dikirim ke Ceylon untuk dipaksa bekerja di perkebunan.
Di sisi lain, banyak warga Tionghoa yang mengalami perampokan dan penyiksaan. Perlakukan buruk itu tentunya didapat dari pemerintah VOC. Perbuatan sewenang-wenang yang diimplementasikan pemerintah VOC membuat warga Tionghoa geram. Hubungan antara etnis Tionghoa dan pemerintah VOC di Batavia menjadi sangat renggang dan dipenuhi rasa curiga.
Ada berbagai kebijakan lain yang membuat masyarakat Tionghoa naik pitam. Salah satunya, mengirim orang Tionghoa ke Ceylon, yang dicurigai sebagai gelandangan dan tidak memiliki bukti masuk kota. Kabar burung yang kala itu beredar menyebutkan bahwa mereka akan dibuang ke tengah laut saat proses pengiriman. Kemarahan warga Tionghoa pun memuncak. Pada 9 Oktober 1740 mereka melakukan pemberontakan.
Aksi itu berakhir dengan pembantaian terhadap etnis Tionghoa. Pembantaian ini juga didorong adanya narasi yang dikeluarkan oleh pihak VOC, bahwa siapa saja yang berhasil membantai etnis Tionghoa (terutama bagi mereka yang ada di luar kota Batavia), maka akan memperoleh uang berupa 2 dukat (emas atau perak yang diperjualbelikan di Eropa) per orang. Iming-iming ini dinilai sangat menggiurkan, sehingga pembantaian yang terjadi sangat membabi buta. Para pembantai tak peduli siapa yang ia bunuh. Tua, muda, anak-anak, atau remaja dilibasnya, asalkan orang itu berasal dari etnis Tionghoa.
(mhd)
tulis komentar anda