Jakarta Islamic Center, dari Lokalisasi Menjadi Pusat Agama Islam Terbesar di Ibu Kota

Rabu, 30 September 2020 - 12:01 WIB
Namun sayangnya, hampir 30 tahun resosialisasi di tempat lokalisasi ini berjalan tidak membuat masyarakat semakin baik atau mengubah cara hidupnya. Sebaliknya, masyarakat di lokasi saat itu semakin kreatif dengan mengembangkan tempat pembinaan menjadi pusat lokalisasi terbesar.

Hal ini terbukti, puncaknya pada 1997. Lokalisasi yang berseberangan langsung dengan sebuah Panti Sosial Wanita Tunas Harapan yang merupakan Binaan DKI Jakarta ini memiliki perkembangan penghuni baik PSK maupun Germo. "Jadi berkembangnya lokasi ini dari 1970 sampai 1997, menjadi 2.000 orang," tuturnya.

Beberapa kali mengalami pergantian Gubernur, rupanya belum ada yang mampu melakukan pembinaan ataupun pengembalian para wanita tuna sosial kembali ke masyarakat atau menjadi lebih baik saat itu. Hingga pada akhirnya pada 1998 ketika Indonesia sedang mengalami krisis moneter (Krismon), membuat pengunjung Lokalisasi Kramat Tunggak mengalami penurunan.

Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso berusaha untuk membongkar tempat lokalisasi yang sudah menjadi wilayah permanen. Upaya itu didukungan warga sekitar yang mulai memadati area sisi Kramat Tunggak dan mulai merasakan keresahan dengan adanya tempat prostitusi tersebut. Kemudian Sutiyoso memangil Tim Peneliti dari UI untuk melihat dampak dari sosial ekonomi.

"Saat itu diriset rupanya mengganggu lingkungan dan banyak keluhan. Karena orang semakin ramai belakang juga sudah ada orang, jadi orang mulai resah karena orang baik baik tapi dicap sebagai orang yang kawasan juga," terang Paimun.

Sementara itu situasi lingkungan sekitar, kata Paimun, kriminalitas sangat tinggi bahkan pembunuhan terjadi tiap malam. "Jadi macam-macam di sini, ada yang mabuk, tidak bayar, peredaran narkoba, bahkan mau hilang tinggal datang saja ke sini. Namanya pusatnya maksiat, ngumpul saja begituan semua," Kata Paimun.

Melihat kondisi lokalisasi seperti itu, Sutiyoso lalu berinisiatif untuk menutup permanen tempat tersebut. Pada 1998, Sutiyoso mengeluarkan SK Gubernur DKI Jakarta yang memutuskan untuk menutup tempat yang semula sebagai resosialisasi ini paling lambat 31 Desember 1999. Selain mengambil kebijakan tersebut, Sutiyoso juga akan mengembalikan para penghuni menuju kampung halamannya yang mayoritas berasal dari wilayah Pantura.

"Proses itu diterbitkan, sebelum mereka (PSK) dipulangkan. Sutiyoso memberikan semacam pendidikan usaha bagi warga lokalisasi dengan beberapa terapan seperti Tata Boga dan Tata Busana. Jadi mendidik orang sini 300 orang setiap satu angkatan dan diberikan modal usaha," jelas Paimun.

Dengan adanya kebijakan Gubernur terkait Lokalisasi Kramat Tunggak, Paimun menuturkan, penutupan nyaris tidak ada perlawanan atau demo menuntut dari warga. Sebab saat itu, pemerintah mengeluarkan biaya besar untuk kebijakan ini. "Penertiban penutupan pemerintah memberikan ganti untung hingga Rp700 milyar bagi mereka yang memiliki tempat tinggal di lokasi," tuturnya.

Keberhasilan pemerintah DKI Jakarta menutup lokalisasi Kramat Tunggak menjadi contoh bagi daerah lainnya. Bahkan pada 2010 Muspika Surabaya datang langsung ke Jakarta untuk bertanya bagaimana caranya menutup Kramat Tunggak dengan tanpa perlawanan seperti yang terjadi di Dolly.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More