Ahok Dinilai Sedang Mainkan Politik Tawar
A
A
A
JAKARTA - Dalam memilih penggantinya, Basuki Purnama (Ahok) dinilai sedang bermain politik tawar-menawar secara terbuka. Karena, dia berani menawarkan calon wagub yang berbeda dengan partai politik (parpol).
"Politik di era demokrasi itu adalah tawar menawar. Kalau tidak tawar menawar sama dengan diktator," kata Pengamat Politik Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit di Jakarta, Selasa (2/9/2014).
Arbi menjelaskan, perbedaan figur cawagub yang dikemukakan Basuki (Ahok) dan parpol adalah bentuk politik tawar-menawar terbuka yang dibuat oleh Ahok. Hal itu untuk mendapatkan kesepakatan siapa calon yang paling pas mendampinginya ketika menjalani roda pemerintahan hingga 2017.
Meski demikian, kata dia, pihak parpol memiliki wewenang dalam menyodorkan cawagub untuk dipilih di DPRD, belum tentu calon itu akan diputuskan. Karena harus ada persetujuan dari gubernur yang akan bekerja sama dengan cawagub tersebut.
Sehingga memerlukan tawar menawar politik yang alot. Begitu juga dengan Ahok tidak bisa juga memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan karakter figur yang diinginkan.
"Di sini lah permainan politik," kata Arbi.
Menurutnya, jika tidak ada kesepakatan antara Ahok dengan parpol untuk mengusung salah satu nama di DPRD, maka potensi Ahok memimpin Jakarta secara single fighter akan berlangsung lama.
"Selama Ahok bertugas sendiri memperlukan pengawasan yang ketat dari DPRD, publik, dan stakeholder," ujarnya.
Selama itu juga, sambungnya, kebijakan politik untuk pembangunan daerah akan diputuskan sendiri oleh gubernur. Adapun empat orang deputi dan seorang Sekda yang membantu gubernur dalam bertugas tidak akan bisa memberikan kontribusi secara politis.
Karena, kata dia, tugas kelima orang itu hanya pada tataran administratif. Mereka tidak bisa membuat kebijakan secara politik untuk Pemprov DKI Jakarta.
"Politik di era demokrasi itu adalah tawar menawar. Kalau tidak tawar menawar sama dengan diktator," kata Pengamat Politik Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit di Jakarta, Selasa (2/9/2014).
Arbi menjelaskan, perbedaan figur cawagub yang dikemukakan Basuki (Ahok) dan parpol adalah bentuk politik tawar-menawar terbuka yang dibuat oleh Ahok. Hal itu untuk mendapatkan kesepakatan siapa calon yang paling pas mendampinginya ketika menjalani roda pemerintahan hingga 2017.
Meski demikian, kata dia, pihak parpol memiliki wewenang dalam menyodorkan cawagub untuk dipilih di DPRD, belum tentu calon itu akan diputuskan. Karena harus ada persetujuan dari gubernur yang akan bekerja sama dengan cawagub tersebut.
Sehingga memerlukan tawar menawar politik yang alot. Begitu juga dengan Ahok tidak bisa juga memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan karakter figur yang diinginkan.
"Di sini lah permainan politik," kata Arbi.
Menurutnya, jika tidak ada kesepakatan antara Ahok dengan parpol untuk mengusung salah satu nama di DPRD, maka potensi Ahok memimpin Jakarta secara single fighter akan berlangsung lama.
"Selama Ahok bertugas sendiri memperlukan pengawasan yang ketat dari DPRD, publik, dan stakeholder," ujarnya.
Selama itu juga, sambungnya, kebijakan politik untuk pembangunan daerah akan diputuskan sendiri oleh gubernur. Adapun empat orang deputi dan seorang Sekda yang membantu gubernur dalam bertugas tidak akan bisa memberikan kontribusi secara politis.
Karena, kata dia, tugas kelima orang itu hanya pada tataran administratif. Mereka tidak bisa membuat kebijakan secara politik untuk Pemprov DKI Jakarta.
(mhd)