Pemprov DKI Diminta Selesaikan Kajian Lingkungan Reklamasi
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta diminta segera menyelesaikan revisi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pengembangan kawasan Pantai Utara Jakarta melalui reklamasi.
Kepastian terhadap nasib proyek yang sudah tertunda lebih dari sembilan bulan tersebut sangat diperlukan. Berdasarkan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bersama Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), KLHS adalah salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
KLHS sendiri berisikan analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. Sementara Amdal, dokumennya banyak berasal dari pengembang, merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan atau kegiatan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang usaha atau kegiatan itu.
Ironisnya, kendati pengembang sudah melengkapi seluruh dokumen yang dibutuhkan untuk proyek reklamasi, Amdal yang diterbitkan pemerintah tetap harus dibarengi KLHS. Dengan demikian, bola mengenai kajian lingkungan dan kelanjutan proyek reklamasi kini berada di tangan pemerintah.
Selama ini, Amdal menjadi salah satu isu yang hangat diperbincangkan terkait reklamasi di Teluk Jakarta. Pemerintah beberapa kali memperpanjang waktu bagi pengembang untuk melengkapi dokumen Amdal. Dalam sejumlah kesempatan pula, pengembang menyatakan siap melengkapi seluruh dokumen.
Presiden Joko Widodo melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung pada September 2016 lalu telah mengisyaratkan keinginannya agar proyek reklamasi di Teluk Jakarta tetap berjalan. Namun, Presiden meminta seluruh pihak mengikuti aturan dan tahapan yang berlaku.
Untuk itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) diminta melakukan kajian. Pada akhir Oktober 2016, Bappenas telah menyampaikan hasil kajiannya kepada Presiden.
Sejumlah pakar lingkungan menilai proyek reklamasi di Teluk Jakarta justru akan memperbaiki ekosistem wilayah tersebut yang kini sudah sangat rusak. "Yang diperlukan sekarang tinggal edukasi kepada pihak yang masih belum memahami," kata pakar dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung, Hernawan Mahfudz, Rabu (18/1/2017).
Hernawan menjelaskan, reklamasi menjadi salah satu opsi yang paling masuk akal untuk revitalisasi Teluk Jakarta sebagai salah satu kawasan vital di Jakarta dan Indonesia. Di saat yang sama, reklamasi juga menjadi pilihan untuk mengembalikan kondisi lingkungan (restorasi) Teluk Jakarta di tengah keterbatasan dana pemerintah.
Berdasarkan kajian awal, proyek tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall) yang nantinya terintegrasi dengan reklamasi 17 pulau membutuhkan dana hingga Rp540 triliun.
Pakar Geoteknik ITS Surabaya, Herman Wahyudi dalam sejumlah kesempatan menuturkan, reklamasi tidak masalah. Berbagai kekhawatiran tentang dampak yang akan muncul dapat diselesaikan secara teknis.
Dia mencontohkan untuk menanggulangi agar pasir reklamasi tidak tergerus dan mengurangi pencemaran bisa dipasang tanggul dari karung pasir (sand bag). Adapun untuk menahan butiran halus yang mengambang di permukaan air laut agar tidak menyebar dapat dipakai barikade pasir (silt barricade).
Teknik-teknik seperti itu sudah lazim digunakan saat penanganan tumpahan minyak di laut. Herman juga menegaskan, pengembangan kawasan di Teluk Jakarta yang berbentuk pulau-pulau yang terpisah dengan daratan sudah tepat karena dapat menghindarkan laut dari proses sedimentasi.
Kepastian terhadap nasib proyek yang sudah tertunda lebih dari sembilan bulan tersebut sangat diperlukan. Berdasarkan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bersama Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), KLHS adalah salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
KLHS sendiri berisikan analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. Sementara Amdal, dokumennya banyak berasal dari pengembang, merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan atau kegiatan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang usaha atau kegiatan itu.
Ironisnya, kendati pengembang sudah melengkapi seluruh dokumen yang dibutuhkan untuk proyek reklamasi, Amdal yang diterbitkan pemerintah tetap harus dibarengi KLHS. Dengan demikian, bola mengenai kajian lingkungan dan kelanjutan proyek reklamasi kini berada di tangan pemerintah.
Selama ini, Amdal menjadi salah satu isu yang hangat diperbincangkan terkait reklamasi di Teluk Jakarta. Pemerintah beberapa kali memperpanjang waktu bagi pengembang untuk melengkapi dokumen Amdal. Dalam sejumlah kesempatan pula, pengembang menyatakan siap melengkapi seluruh dokumen.
Presiden Joko Widodo melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung pada September 2016 lalu telah mengisyaratkan keinginannya agar proyek reklamasi di Teluk Jakarta tetap berjalan. Namun, Presiden meminta seluruh pihak mengikuti aturan dan tahapan yang berlaku.
Untuk itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) diminta melakukan kajian. Pada akhir Oktober 2016, Bappenas telah menyampaikan hasil kajiannya kepada Presiden.
Sejumlah pakar lingkungan menilai proyek reklamasi di Teluk Jakarta justru akan memperbaiki ekosistem wilayah tersebut yang kini sudah sangat rusak. "Yang diperlukan sekarang tinggal edukasi kepada pihak yang masih belum memahami," kata pakar dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung, Hernawan Mahfudz, Rabu (18/1/2017).
Hernawan menjelaskan, reklamasi menjadi salah satu opsi yang paling masuk akal untuk revitalisasi Teluk Jakarta sebagai salah satu kawasan vital di Jakarta dan Indonesia. Di saat yang sama, reklamasi juga menjadi pilihan untuk mengembalikan kondisi lingkungan (restorasi) Teluk Jakarta di tengah keterbatasan dana pemerintah.
Berdasarkan kajian awal, proyek tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall) yang nantinya terintegrasi dengan reklamasi 17 pulau membutuhkan dana hingga Rp540 triliun.
Pakar Geoteknik ITS Surabaya, Herman Wahyudi dalam sejumlah kesempatan menuturkan, reklamasi tidak masalah. Berbagai kekhawatiran tentang dampak yang akan muncul dapat diselesaikan secara teknis.
Dia mencontohkan untuk menanggulangi agar pasir reklamasi tidak tergerus dan mengurangi pencemaran bisa dipasang tanggul dari karung pasir (sand bag). Adapun untuk menahan butiran halus yang mengambang di permukaan air laut agar tidak menyebar dapat dipakai barikade pasir (silt barricade).
Teknik-teknik seperti itu sudah lazim digunakan saat penanganan tumpahan minyak di laut. Herman juga menegaskan, pengembangan kawasan di Teluk Jakarta yang berbentuk pulau-pulau yang terpisah dengan daratan sudah tepat karena dapat menghindarkan laut dari proses sedimentasi.
(whb)