Profil Soekarno Djojonegoro, Jenderal Garang yang Menjadi Menteri Penasihat Presiden
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jenderal Polisi (Purn) Raden Soekarno Djojonegoro merupakan Kapolri (dulu Kepala Kepolisian Negara) yang dikenal garang dan tegas. Saat menjabat Kapolri tugasnya banyak diwarnai dengan konflik dan pemberontakan.
Ia dilantik jadi Kepala Kepolisian Negara kedua pada 15 Desember 1959 menggantikan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Pria kelahiran Banjarnegara, 15 Mei 1908, ini menjabat Kepala Kepolisian Negara dari 15 Desember 1959 hingga 29 Desember 1963.
Dirangkum dari berbagai sumber, masa kepemimpinannya diwarnai dengan konflik Irian Barat dengan Belanda, dan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan PKI, DI/TII, APRA, dan lain-lain. Namun hal-hal tersebut ditanganinya dengan baik dan berhasil.
Beberapa peristiwa penting semasa ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara, antara lain Kepolisan Negara bergabung dalam ABRI (1960). Pada 1 Juli 1960, empat janji prajurit kepolisian "Catur Prasetya" diikrarkan.
Kemudian pada April 1961 Catur Prasetya resmi dijadikan pedoman kerja kepolisian RI selain Tribrata sebagai pedoman hidup. Pada tahun 1962 Kepolisian Negara Republik Indonesia berubah nama menjadi Angkatan Kepolisian RI (AKRI).
Soekarno lahir dari kalangan ningrat. Sang ayah waktu itu, Raden Adipati Ario Djajanagoro II merupakan Bupati Banjarnegara. Sedangkan ibunya bernama Raden Ajeng Rachmat Mangoenprawiro.
Pada tahun 1914, Soekarno masuk sekolah di Hollands Inlandsche School (HIS). Ia tidak pintar tapi tekun. Seperti kebanyakan anak kecil, seusai sekolah ia biasa bermain. Kegemarannya adalah menonton wayang semalam suntuk. Setelah lulus dari HIS, pada bulan Juli 1918, Soekanto melanjutkan sekolah MULO di Purwokerto.
Selama bersekolah di MULO, Soekanto cukup disenangi dan dikenal oleh teman-temanya karena kebiasaannya melawak. Pada tahun 1925, Sokarno Djojonagoro terpilih menjadi Ketua Jong Java daerah Purwokerto. Setelah lulus dari MULO, pada bulan Juli 1926 ia melanjutkan sekolahnya di Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaar (Osvia) di Magelang.
Karier kepolisiannya dimulai pada tahun 1928. Soekarno menamatkan pendidikannya di OSVIA pada Agustus 1928. Sebulan kemudian, ia diterima bekerja sebagai Ambtenaar Bij/de Inlandsche Bestuurdienst (AIB) dan ditempatkan di Kawedanan Ajibarang, Kabupaten Purwokerto.
Dikutip dari laman museum.polri, Soekarno pernah bertugas sebagai menjadi Mantri Polisi Residen Jepara Rembang pada 21 April 1931.
Dari Kota Pati, Jawa Tengah, Soekarno kemudian dialihtugaskan ke Kudus dengan jabatan yang baru, yakni sebagai mantri veld politie (polisi luar kota). Ia sering mendapat premi dari pemerintah karena berhasil mengusut pembuatan arak gelap dan pemotongan hewan gelap.
Selama bertugas di Pati dan Kudus Soekarno selalu menentang adat Jawa kuno. Sering kali tindakannya membuat ia dimarahi oleh atasannya.
Tahun 1934, Soekarno diangkat menjadi Asisten Wedana dan ditempatkan di Rowokele, Kabupaten Banyumas. Kemudian ia dipindahtugaskan ke daerah Lampung untuk membina para transmigran dari Jawa.
Di sini ia mengalami tekanan yang besar dalam pekerjaannya. Suatu saat ia pernah berdebat dengan Residen dan akibatnya ia dikirim kembali ke Jawa. Akibat tindakannya yang selalu menentang atasannya, Soekarno akhirnya diberhentikan dari jabatannya.
Atas usaha kakaknya, Soekarno diangkat ekmbali menjadi Fd mantri kepolisian di Kedungwuni, Pekalongan. Setelah enam bulan bertugas di sana, ia dipindahkan ke Pucakwangi, Pati. Setelah 4 tahun bertugas, ia dipindahkan lagi ke Winong. Di Winong ia hanya bertugas selama 1 tahun.
Kemudian ia pindah lagi ke Tegal sebagai Asisten Wedana Polisi. Januari 1942 ia dipindahkan ke hoofdbeureau di Semarang.
Akan tetapi, karena tidak ada jabatan yang sesuai dengan pangkatnya, maka ia kembali ke Banjarnegara. Setelah Jepang berkuasa Soekarno dipanggil Kepala Kepolisian Semarang untuk menjadi Kepala Seksi IV Candibaru. Wewenangnya adalah menahan orang-orang Belanda dan Indo-Belanda.
Pada bulan Mei 1943, Soekarno dipindahkan ke Salatiga dan diangkat menjadi Kepala Kepolisian. Pertengahan Januari 1944, Soekarno dipindahkan kembali ke Semarang. Ia diangkat menjadi Komandan Tokubetsu Keisatsutai (Pasukan Polisi Istimewa).
Ketika menjadi komandan, ia melihat perlakuan kasar terhadap anggotanya yang dilakukan oleh atasannya. Atas hal itu, ia memutuskan untuk keluar dari kesatuan. Bulan April 1944 keluar surat pemecatan dirinya.
Sebulan setelah dipecat, Soekarno diangkat kembali menjadi Keibikaco (Komandan Penjagaan) di Kantor Besar Polisi Semarang. Setelah Jepang kalah keadaan kota Semarang menjadi kacau. Terjadi peristiwa yang dikenal dengan nama Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Setelah Sekutu datang, Soekarno diangkat menjadi Kepala Umum Kantor Besar Polisi Semarang dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas II.
Soekarno lalu diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Semarang dengan pangkat Komisaris Polisi Tk I. Tujuh bulan kemudian ia dipindahkan dan diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Pekalongan. Akibat perjanjian Renville, maka seluruh anggota kepolisian RI harus meninggalkan garis van Mook dan masuk ke daerah RI.
Komisaris Polisi Soekarno dipindahkan ke Jawatan Kepolisian Negara di Yogyakarta dan diangkat sebagai anggota Komisi Gencatan Senjata. Ketika terjadi pemberontakan PKI Madiun, Soekarno ditugaskan ke daerah Solo, Purwodadi, Kudus, dan Cepu guna membantu menyusun kembali kepolisian yang telah hancur akibat serangan PKI.
Pada 1 April 1950, Soekarno dinaikkan pangkatnya menjadi Pembantu Komisaris Besar Polisi. Bulan Mei, ia dpindahkan dan diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Semarang. Ia hanya menjabat selama 3 bulan. Bulan Agustus, ia dipindahkan dan diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Surabaya.
Jabatan itu pun tidak lama dipegangnya. Tanggal 1 Januari 1951, ia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Jawa Timur.
Soekarno juga pernah jadi Ajun Kepala Kepolisian Negara pada November 1959.
Soekarno memasuki masa pensiun 31 Juli 1966. Sebelum pensiun Soekarno sempat menjabat sebagai Menteri Penasihat Presiden untuk Urusan Dalam Negeri.
Soekarno meninggal dunia di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada 27 November 1975 di usia 67 tahun. Ia meninggalkan istri dan lima anak. Jenazahnya disemayamkan di makam khusus keluarga Djojonegoro yang bernama “Kuwondo Giri” yang terletak di Banjarnegara.
(MG/Shinta Sofariah)
Ia dilantik jadi Kepala Kepolisian Negara kedua pada 15 Desember 1959 menggantikan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Pria kelahiran Banjarnegara, 15 Mei 1908, ini menjabat Kepala Kepolisian Negara dari 15 Desember 1959 hingga 29 Desember 1963.
Dirangkum dari berbagai sumber, masa kepemimpinannya diwarnai dengan konflik Irian Barat dengan Belanda, dan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan PKI, DI/TII, APRA, dan lain-lain. Namun hal-hal tersebut ditanganinya dengan baik dan berhasil.
Beberapa peristiwa penting semasa ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara, antara lain Kepolisan Negara bergabung dalam ABRI (1960). Pada 1 Juli 1960, empat janji prajurit kepolisian "Catur Prasetya" diikrarkan.
Kemudian pada April 1961 Catur Prasetya resmi dijadikan pedoman kerja kepolisian RI selain Tribrata sebagai pedoman hidup. Pada tahun 1962 Kepolisian Negara Republik Indonesia berubah nama menjadi Angkatan Kepolisian RI (AKRI).
Soekarno lahir dari kalangan ningrat. Sang ayah waktu itu, Raden Adipati Ario Djajanagoro II merupakan Bupati Banjarnegara. Sedangkan ibunya bernama Raden Ajeng Rachmat Mangoenprawiro.
Pada tahun 1914, Soekarno masuk sekolah di Hollands Inlandsche School (HIS). Ia tidak pintar tapi tekun. Seperti kebanyakan anak kecil, seusai sekolah ia biasa bermain. Kegemarannya adalah menonton wayang semalam suntuk. Setelah lulus dari HIS, pada bulan Juli 1918, Soekanto melanjutkan sekolah MULO di Purwokerto.
Selama bersekolah di MULO, Soekanto cukup disenangi dan dikenal oleh teman-temanya karena kebiasaannya melawak. Pada tahun 1925, Sokarno Djojonagoro terpilih menjadi Ketua Jong Java daerah Purwokerto. Setelah lulus dari MULO, pada bulan Juli 1926 ia melanjutkan sekolahnya di Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaar (Osvia) di Magelang.
Karier kepolisiannya dimulai pada tahun 1928. Soekarno menamatkan pendidikannya di OSVIA pada Agustus 1928. Sebulan kemudian, ia diterima bekerja sebagai Ambtenaar Bij/de Inlandsche Bestuurdienst (AIB) dan ditempatkan di Kawedanan Ajibarang, Kabupaten Purwokerto.
Dikutip dari laman museum.polri, Soekarno pernah bertugas sebagai menjadi Mantri Polisi Residen Jepara Rembang pada 21 April 1931.
Dari Kota Pati, Jawa Tengah, Soekarno kemudian dialihtugaskan ke Kudus dengan jabatan yang baru, yakni sebagai mantri veld politie (polisi luar kota). Ia sering mendapat premi dari pemerintah karena berhasil mengusut pembuatan arak gelap dan pemotongan hewan gelap.
Selama bertugas di Pati dan Kudus Soekarno selalu menentang adat Jawa kuno. Sering kali tindakannya membuat ia dimarahi oleh atasannya.
Tahun 1934, Soekarno diangkat menjadi Asisten Wedana dan ditempatkan di Rowokele, Kabupaten Banyumas. Kemudian ia dipindahtugaskan ke daerah Lampung untuk membina para transmigran dari Jawa.
Di sini ia mengalami tekanan yang besar dalam pekerjaannya. Suatu saat ia pernah berdebat dengan Residen dan akibatnya ia dikirim kembali ke Jawa. Akibat tindakannya yang selalu menentang atasannya, Soekarno akhirnya diberhentikan dari jabatannya.
Atas usaha kakaknya, Soekarno diangkat ekmbali menjadi Fd mantri kepolisian di Kedungwuni, Pekalongan. Setelah enam bulan bertugas di sana, ia dipindahkan ke Pucakwangi, Pati. Setelah 4 tahun bertugas, ia dipindahkan lagi ke Winong. Di Winong ia hanya bertugas selama 1 tahun.
Kemudian ia pindah lagi ke Tegal sebagai Asisten Wedana Polisi. Januari 1942 ia dipindahkan ke hoofdbeureau di Semarang.
Akan tetapi, karena tidak ada jabatan yang sesuai dengan pangkatnya, maka ia kembali ke Banjarnegara. Setelah Jepang berkuasa Soekarno dipanggil Kepala Kepolisian Semarang untuk menjadi Kepala Seksi IV Candibaru. Wewenangnya adalah menahan orang-orang Belanda dan Indo-Belanda.
Pada bulan Mei 1943, Soekarno dipindahkan ke Salatiga dan diangkat menjadi Kepala Kepolisian. Pertengahan Januari 1944, Soekarno dipindahkan kembali ke Semarang. Ia diangkat menjadi Komandan Tokubetsu Keisatsutai (Pasukan Polisi Istimewa).
Ketika menjadi komandan, ia melihat perlakuan kasar terhadap anggotanya yang dilakukan oleh atasannya. Atas hal itu, ia memutuskan untuk keluar dari kesatuan. Bulan April 1944 keluar surat pemecatan dirinya.
Sebulan setelah dipecat, Soekarno diangkat kembali menjadi Keibikaco (Komandan Penjagaan) di Kantor Besar Polisi Semarang. Setelah Jepang kalah keadaan kota Semarang menjadi kacau. Terjadi peristiwa yang dikenal dengan nama Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Setelah Sekutu datang, Soekarno diangkat menjadi Kepala Umum Kantor Besar Polisi Semarang dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas II.
Soekarno lalu diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Semarang dengan pangkat Komisaris Polisi Tk I. Tujuh bulan kemudian ia dipindahkan dan diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Pekalongan. Akibat perjanjian Renville, maka seluruh anggota kepolisian RI harus meninggalkan garis van Mook dan masuk ke daerah RI.
Komisaris Polisi Soekarno dipindahkan ke Jawatan Kepolisian Negara di Yogyakarta dan diangkat sebagai anggota Komisi Gencatan Senjata. Ketika terjadi pemberontakan PKI Madiun, Soekarno ditugaskan ke daerah Solo, Purwodadi, Kudus, dan Cepu guna membantu menyusun kembali kepolisian yang telah hancur akibat serangan PKI.
Pada 1 April 1950, Soekarno dinaikkan pangkatnya menjadi Pembantu Komisaris Besar Polisi. Bulan Mei, ia dpindahkan dan diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Semarang. Ia hanya menjabat selama 3 bulan. Bulan Agustus, ia dipindahkan dan diangkat menjadi Kepala Polisi Karesidenan Surabaya.
Jabatan itu pun tidak lama dipegangnya. Tanggal 1 Januari 1951, ia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Jawa Timur.
Soekarno juga pernah jadi Ajun Kepala Kepolisian Negara pada November 1959.
Soekarno memasuki masa pensiun 31 Juli 1966. Sebelum pensiun Soekarno sempat menjabat sebagai Menteri Penasihat Presiden untuk Urusan Dalam Negeri.
Soekarno meninggal dunia di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada 27 November 1975 di usia 67 tahun. Ia meninggalkan istri dan lima anak. Jenazahnya disemayamkan di makam khusus keluarga Djojonegoro yang bernama “Kuwondo Giri” yang terletak di Banjarnegara.
(MG/Shinta Sofariah)
(thm)