Kisah Kesaktian Mbah Kandong Jatikramat, Panglima Perang Kesultanan Banten yang Makamnya Dikeramatkan di Bekasi
loading...
A
A
A
BEKASI - Wilayah Bekasi menyimpan tempat misteri yang dianggap sakral atau keramat oleh masyarakatnya. Tempat keramat penuh dengan aura mistis itu dipancarkan dari sebuah Makam Mbah Kandong yang berada di Kampung Jatikramat, Kelurahan Jatiasih, Kota Bekasi.
Lantas siapa sosok Mbah Kandong yang makamnya dikeramatkan masyarakat Bekasi tersebut?
Simak napak tilasnya yang dirangkum SINDOnews dari berbagai kisah masyarakat tentang penyebar agama Islam sebagai pejuang yang melawan Belanda di Batavia (Jakarta).
Sebelumnya masyarakat tak begitu mengetahui secara pasti tentang keberadaan Makam Keramat Mbah Kandong ini, namun sejak tahun 2006 lalu. Makam itu secara magis tiba-tiba ramai didatangi oleh peziarah dari luar Bekasi dan berbagai wilayah di Indonesia.
Untuk berkunjung ke makam keramat ini memang tak begitu sulit, karena keberadaannya berada di tengah kota tepatnya di Selatan Bekasi, bahkan masyarakat banyak yang melintas dan menggunakan jalan ini sebagai akses menuju Pondok Gede hingga ke Jakarta Timur.
Terdapat mushola depan makam itu, dan pohon jambu air dan pohon asem tumbuh sangat besar yang menambah kesakralan dari makam tersebut. Asal usul Mbah Kandong berawal dari seorang penyebar atau pemuka agama Islam yang bernama Syekh Su’ud atau Syekh Sarifudin.
Dia di ceritakan merupakan keturunan dari Kesultanan Banten yang datang ke Batavia untuk membantu dan berjuang bersama Pangeran Jayakarta mengusir penjajah dari Nusantara. Bahkan, Mbah Kandong merupakan penemu Kampung Jati Kramat.
Sedangkan versi lainya berdasarkan keterangan ahli hikmah yang sudah menelusuri jejak Mbah Kandong dari napak tilasnya di Jawa hingga ke makamnya di Bekasi. Mbah Kandong sebenarnya adalah Pangeran Arya Wijaya atau Raden Pengebunan atau juga Raden Pangandangan.
Beliau adalah Panglima perang dari Kerajaan Cirebon yang diutus mencegah dan melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Saat itu, Mbah Kandong datang ke Jati Kramat yang masih hutan belantara lantaran dikisahkan lari dari kejaran pasukan Belanda di Batavia.
Bersama Pangeran Jayakarta, dia lari dari kejaran menghindari kepungan pasukan Belanda. Karena terpojok, dengan kesaktian Pangeran Jayakarta dia membuang jubah dari sorbannya ke dalam sumur yang berada di Utara Batavia yang berada di Mangga dua mengecoh penjajah.
Saat melarikan diri itu, akhirnya mereka terpisah. Pangeran Jayakarta dan sebagian pasukannya pergi ke arah Timur yang letaknya saat ini berada di Jatinegara Kaum (Jakarta Timur) untuk bersembunyi dan menghimpun kekuatan kembali.
Sedangkan Mbah Kandong terpisah bersama sebagian pasukan yang tersisa dan terus berjalan ke arah Selatan (Pondok Gede). Di lokasi ini, nantinya menjadi cikal bakal Kampung Jati Kramat ini, dan dia memutuskan untuk menetap menyebarkan agama Islam di situ.
Saat tiba di hutan itu, Mbah Kandong langsung menemui segelintir penduduk yang bermukim di tempat dipenuhi dengan pohon rindang dan lebat. Dengan menggunakan Handong (Delman), Mbah Kandong lalu menemui mereka dan akan menetap di tempat itu.
Karena kedatanganya menggunakan delman itu, akhirnya warga setempat memanggilnya dengan Handong atau Mbah Kandong. Warga yang awalnya menganut aliran kepercayaan atau aninisme akhirnya memeluk agama Islam dan menjadi murid-murid dari Mbah Kandong.
Selain mengajarkan ajaran Islam, Mbah Kandong juga melatih muridnya untuk berlatih ilmu kanuragan untuk berperang melawan penjajah, dengan targetan bisa menjadi martir untuk bisa memukul mundur penjajah Belanda pergi dari bumi Nusantara.
Perlawanan sengit dari murid Mbah Kandong membuat khawatir Belanda yang saat itu ingin berkuasa di Batavia. Belanda lalu mengerahkan pasukan daratnya untuk menumpas pasukan dari Mbah Kandong, hanya saja mereka tak pernah bisa menemukan keberadaan para pejuang.
Konon katanya saat Belanda ingin menghancurkan dan menyerang pejuang yang bersembunyi di sekitaran hutan di Pondok Gede. Anehnya, Belanda tak pernah bisa menemukan tempat persembunyian dari Mbah Kandong dan hanya menemukan hutan belantara.
Hal itu terjadi lantaran Mbah Kandong mengeluarkan kesaktiannya dengan mengambil segenggan debu, lalu dilemparkan disebar ke atas pepohonan yang rindang. Hasilnya, pasukan bersenjatakan lengkap yang akan menyergap mereka kehilangan pandangan dan malah tersesat.
Kini, makam Keramat Mbah Kandong memang terlihat ramai didatangi warga dari berbagai wilayah untuk berziarah. Saat ini, makam keramat ini menjadi salah satu destinasi wisata religi bagi kalangan masyarakat yang ingin mencari sensasi mistis dan karomah.
Lantas siapa sosok Mbah Kandong yang makamnya dikeramatkan masyarakat Bekasi tersebut?
Simak napak tilasnya yang dirangkum SINDOnews dari berbagai kisah masyarakat tentang penyebar agama Islam sebagai pejuang yang melawan Belanda di Batavia (Jakarta).
Sebelumnya masyarakat tak begitu mengetahui secara pasti tentang keberadaan Makam Keramat Mbah Kandong ini, namun sejak tahun 2006 lalu. Makam itu secara magis tiba-tiba ramai didatangi oleh peziarah dari luar Bekasi dan berbagai wilayah di Indonesia.
Untuk berkunjung ke makam keramat ini memang tak begitu sulit, karena keberadaannya berada di tengah kota tepatnya di Selatan Bekasi, bahkan masyarakat banyak yang melintas dan menggunakan jalan ini sebagai akses menuju Pondok Gede hingga ke Jakarta Timur.
Terdapat mushola depan makam itu, dan pohon jambu air dan pohon asem tumbuh sangat besar yang menambah kesakralan dari makam tersebut. Asal usul Mbah Kandong berawal dari seorang penyebar atau pemuka agama Islam yang bernama Syekh Su’ud atau Syekh Sarifudin.
Dia di ceritakan merupakan keturunan dari Kesultanan Banten yang datang ke Batavia untuk membantu dan berjuang bersama Pangeran Jayakarta mengusir penjajah dari Nusantara. Bahkan, Mbah Kandong merupakan penemu Kampung Jati Kramat.
Sedangkan versi lainya berdasarkan keterangan ahli hikmah yang sudah menelusuri jejak Mbah Kandong dari napak tilasnya di Jawa hingga ke makamnya di Bekasi. Mbah Kandong sebenarnya adalah Pangeran Arya Wijaya atau Raden Pengebunan atau juga Raden Pangandangan.
Beliau adalah Panglima perang dari Kerajaan Cirebon yang diutus mencegah dan melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Saat itu, Mbah Kandong datang ke Jati Kramat yang masih hutan belantara lantaran dikisahkan lari dari kejaran pasukan Belanda di Batavia.
Bersama Pangeran Jayakarta, dia lari dari kejaran menghindari kepungan pasukan Belanda. Karena terpojok, dengan kesaktian Pangeran Jayakarta dia membuang jubah dari sorbannya ke dalam sumur yang berada di Utara Batavia yang berada di Mangga dua mengecoh penjajah.
Saat melarikan diri itu, akhirnya mereka terpisah. Pangeran Jayakarta dan sebagian pasukannya pergi ke arah Timur yang letaknya saat ini berada di Jatinegara Kaum (Jakarta Timur) untuk bersembunyi dan menghimpun kekuatan kembali.
Sedangkan Mbah Kandong terpisah bersama sebagian pasukan yang tersisa dan terus berjalan ke arah Selatan (Pondok Gede). Di lokasi ini, nantinya menjadi cikal bakal Kampung Jati Kramat ini, dan dia memutuskan untuk menetap menyebarkan agama Islam di situ.
Saat tiba di hutan itu, Mbah Kandong langsung menemui segelintir penduduk yang bermukim di tempat dipenuhi dengan pohon rindang dan lebat. Dengan menggunakan Handong (Delman), Mbah Kandong lalu menemui mereka dan akan menetap di tempat itu.
Karena kedatanganya menggunakan delman itu, akhirnya warga setempat memanggilnya dengan Handong atau Mbah Kandong. Warga yang awalnya menganut aliran kepercayaan atau aninisme akhirnya memeluk agama Islam dan menjadi murid-murid dari Mbah Kandong.
Baca Juga
Selain mengajarkan ajaran Islam, Mbah Kandong juga melatih muridnya untuk berlatih ilmu kanuragan untuk berperang melawan penjajah, dengan targetan bisa menjadi martir untuk bisa memukul mundur penjajah Belanda pergi dari bumi Nusantara.
Perlawanan sengit dari murid Mbah Kandong membuat khawatir Belanda yang saat itu ingin berkuasa di Batavia. Belanda lalu mengerahkan pasukan daratnya untuk menumpas pasukan dari Mbah Kandong, hanya saja mereka tak pernah bisa menemukan keberadaan para pejuang.
Konon katanya saat Belanda ingin menghancurkan dan menyerang pejuang yang bersembunyi di sekitaran hutan di Pondok Gede. Anehnya, Belanda tak pernah bisa menemukan tempat persembunyian dari Mbah Kandong dan hanya menemukan hutan belantara.
Hal itu terjadi lantaran Mbah Kandong mengeluarkan kesaktiannya dengan mengambil segenggan debu, lalu dilemparkan disebar ke atas pepohonan yang rindang. Hasilnya, pasukan bersenjatakan lengkap yang akan menyergap mereka kehilangan pandangan dan malah tersesat.
Kini, makam Keramat Mbah Kandong memang terlihat ramai didatangi warga dari berbagai wilayah untuk berziarah. Saat ini, makam keramat ini menjadi salah satu destinasi wisata religi bagi kalangan masyarakat yang ingin mencari sensasi mistis dan karomah.
(ams)