Heboh Diteror Preman, Bangunan Yayasan Yatim Piatu di Depok Dipagar
loading...
A
A
A
DEPOK - Bangunan sebuah yayasan yatim piatu yang terletak di Jalan Alternatif Transyogi, Harjamukti, Kota Depok diserobot sekelompok orang dengan cara dipagar sepihak. Apalagi, diduga pagar itu sengaja dipasang oleh beberapa preman.
Bangunan tersebut berdiri diatas tanah milik Jhon Simbolon dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) No.10024 yang menguasai tanah dan bangunan sejak tahun 1999. Selain bangunan yayasan, rumah milik Jhon pun ikut dipagar tanpa ijin.
Atas tindakah tersebut, John dan keluarga merasa terintimidasi karena tidak dapat melakukan kegiatan secara normal. John dan keluarga mengaku kerap mendapat intimidasi agar dia mau meninggalkan tanah seluas 300 M2 itu. “Saya didorong-dorong,” kata John kepada SINDOnews, Minggu (10/4/2022).
Mangatur Manullang, istri John juga mendapat intimidasi serupa. Keluarga John sudah bertahun-tahun mendapat intimidasi dari pihak lain.
”Kami tidak bisa masuk ke dalam. Alasan mereka itu tanah mereka. Selama ini saya tidak bisa kontrakin tanah ke (yayasan) dhuafa karena alasan mereka (kelompok lain) punya hak. Padahal punya sertifikat. Tapi kami selalu diteror. Kami selalu diawasi dan kami takut,” kata Mangatur.
Dirinya mengaku sudah bertahun-tahun mendapat intimidasi. Ancaman paling keras terjadi tahun lalu. “Tiba-tiba datang sekelompok preman bawa senjata tajam. Sudah bertahun-tahun kami terintimidasi,” akunya.
SHM miliknya sudah dimiliki sejak tahun 1999. Kemudian, pada Maret John dan keluarga diminta paksa untuk meninggalkan lokasi tanah dan bangunan yang telah dimiliki dan dikuasai sejak lama dengan alasan tanah tersebut telah dilakukan penggantian kepada pemilik tanah atas nama Teddy Kharsadi pada tahun 2019.
Padahal, Teddy sudah meninggal tahun 2016. Atas tindakan intimidasi yang dialami, John melapor ke Polres Metro Depok.Dikatakan Mangatur, pemagaran sepihak dan intimidasi yang dilakukan kelompok tersebut telah menimbulkan trauma terhadap korban dan anak yatim dan dhuafa yang tinggal di lokasi tanah dan bangunan tersebut.
Ditegaskan, penyerobotan tanah dan penutupan akses tersebut sangat merugikan keluarganya. Karena mereka tidak bisa mencari nafkah dari usaha bengkel dan warung kelontong yang sudah lama digeluti.
“Anak-anak yatim dan dhuafa yang menyewa sebagian tanah menjadi tertutup akses para penyumbang untuk berdonasi kepada anak yatim dhuafa dikarenakan para donatur yang memberikan sumbangannya saat melintas menjadi terhalang,” katanya.
Hal serupa juga dialami Rusdi Gunarya, warga korban penyerobotan tanah lainnya. Tanah miliknya juga diserobot oleh kelompok lain seperti yang dialami John. Dia pun meminta agar pihak berwenang untuk membela hak warga korban penyerobotan tanah.
“Kami rakyat biasa meminta agar pihak berwenang mengatasi dan membela hak kami. Kami minta, khususnya BPN atau penegak hukum membela kami, membela kebenaran dan keadilan,” katanya.
Dia meminta agar tidak ada mafia tanah yang berkeliaran dan menyengsarakan rakyat. Ditegaskan, pemilik sah tanah yang diklaim oleh kelompok tertentu sudah jelas buktinya. “Jangan rampas hak kami,” pungkasnya.
Bangunan tersebut berdiri diatas tanah milik Jhon Simbolon dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) No.10024 yang menguasai tanah dan bangunan sejak tahun 1999. Selain bangunan yayasan, rumah milik Jhon pun ikut dipagar tanpa ijin.
Atas tindakah tersebut, John dan keluarga merasa terintimidasi karena tidak dapat melakukan kegiatan secara normal. John dan keluarga mengaku kerap mendapat intimidasi agar dia mau meninggalkan tanah seluas 300 M2 itu. “Saya didorong-dorong,” kata John kepada SINDOnews, Minggu (10/4/2022).
Mangatur Manullang, istri John juga mendapat intimidasi serupa. Keluarga John sudah bertahun-tahun mendapat intimidasi dari pihak lain.
”Kami tidak bisa masuk ke dalam. Alasan mereka itu tanah mereka. Selama ini saya tidak bisa kontrakin tanah ke (yayasan) dhuafa karena alasan mereka (kelompok lain) punya hak. Padahal punya sertifikat. Tapi kami selalu diteror. Kami selalu diawasi dan kami takut,” kata Mangatur.
Dirinya mengaku sudah bertahun-tahun mendapat intimidasi. Ancaman paling keras terjadi tahun lalu. “Tiba-tiba datang sekelompok preman bawa senjata tajam. Sudah bertahun-tahun kami terintimidasi,” akunya.
SHM miliknya sudah dimiliki sejak tahun 1999. Kemudian, pada Maret John dan keluarga diminta paksa untuk meninggalkan lokasi tanah dan bangunan yang telah dimiliki dan dikuasai sejak lama dengan alasan tanah tersebut telah dilakukan penggantian kepada pemilik tanah atas nama Teddy Kharsadi pada tahun 2019.
Padahal, Teddy sudah meninggal tahun 2016. Atas tindakan intimidasi yang dialami, John melapor ke Polres Metro Depok.Dikatakan Mangatur, pemagaran sepihak dan intimidasi yang dilakukan kelompok tersebut telah menimbulkan trauma terhadap korban dan anak yatim dan dhuafa yang tinggal di lokasi tanah dan bangunan tersebut.
Ditegaskan, penyerobotan tanah dan penutupan akses tersebut sangat merugikan keluarganya. Karena mereka tidak bisa mencari nafkah dari usaha bengkel dan warung kelontong yang sudah lama digeluti.
“Anak-anak yatim dan dhuafa yang menyewa sebagian tanah menjadi tertutup akses para penyumbang untuk berdonasi kepada anak yatim dhuafa dikarenakan para donatur yang memberikan sumbangannya saat melintas menjadi terhalang,” katanya.
Hal serupa juga dialami Rusdi Gunarya, warga korban penyerobotan tanah lainnya. Tanah miliknya juga diserobot oleh kelompok lain seperti yang dialami John. Dia pun meminta agar pihak berwenang untuk membela hak warga korban penyerobotan tanah.
“Kami rakyat biasa meminta agar pihak berwenang mengatasi dan membela hak kami. Kami minta, khususnya BPN atau penegak hukum membela kami, membela kebenaran dan keadilan,” katanya.
Dia meminta agar tidak ada mafia tanah yang berkeliaran dan menyengsarakan rakyat. Ditegaskan, pemilik sah tanah yang diklaim oleh kelompok tertentu sudah jelas buktinya. “Jangan rampas hak kami,” pungkasnya.
(ams)