Metamorfosis Jakarta, Berawal dari Pesisir dan Upaya Meninggalkan Corak Kolonial (2-tamat)
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jakarta menjadi mercusuar pembangunan di Tanah Air. Sebelum Belanda pergi, di masa perjuangan kemerdekaan, menurut penggiat sejarah dan budaya Ary Sulistyo, pada era 1920-1930-an, pembangunan di Jakarta didominasi model Garden City. Contoh paling khas dan masih ada hingga sekarang adalah kawasan elit Menteng, Jakarta Pusat, yang dibangun oleh NV de Bouwploeg atau dilafalkan oleh orang Indonesia menjadi Boplo.
baca juga: Metamorfosis Jakarta, Berawal dari Pesisir dan Upaya Meninggalkan Corak Kolonial (1)
“Setelah kemerdekaan, Soekarno pun tidak lepas peran karena beliau juga arsitek selain bapak proklamator. Kalau kita bicara fisik (contohnya) Kemayoran, Monas, dan Istiqlal. Pada intinya, setelah kemerdekaan banyak elemen kolonial ditutupi. Akan tetapi, ada yang dirubah atau dikuatkan dengan semangat nasionalisme, seperti Istiqlal itu artinya dari kata merdeka,” ujarnya.
Bundaran HI, Jakarta Pusat
Sederet nama arsitek pada masa kemerdekaan yang ikut mewarnai pembangunan gedung atau tugu ikonik adalah RM Soedarsono dan Friedrich Silaban. Menurut Ary, puncak pembangunan Jakarta terjadi pada tahun 1960-1970-an. Soekarno menggagas berbagai pembangunan, seperti Hotel Indonesia, Kompleks Olahraga Senayan, Tugu Selamat Datang, Pelebaran Jalan MH Thamrin-Sudirman, dan Jembatan Semanggi.
baca juga: Sejarah Jakarta, Disebut di Batu Tulis Purnawarman yang Berkembang Menjadi Bandar Besar
Itu semua bagian dari persiapan menjadi tuan Rumah Asian Games 1962. Lepas dari itu, Ary menerangkan pembangunan suatu kawasan di pusat pemerintahan, yakni Medan Merdeka, itu merujuk konsep tata ruang dalam ajaran Hindu. Jadi, pemerintah Soekarno ingin menunjukkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia. “Saya melihat sebagai satu perlawanan. Juga era membangkitkan kebudayaan dan nasionalisme bahwa bangsa ini besar,” ucapnya.
Masjid Istiqlal
Pada era ini, pembangunan Jakarta sudah bergeser ke Selatan. Lulusan Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan salah satu alasan pemerintah saat itu mulai meninggalkan Utara Jakarta karena rawan banjir. “Pembangunan kota yang sanitasinya tidak baik karena penduduk Jakarta sudah melebihi luas kota. Daerah-daerah Ommelanden (di luar Glodok, seperti Harmoni, Bandengan, Pluit, dan Ancol), sekitar Batavia sudah berkembang menjadi pemukiman,” tuturnya.
baca juga: Menara Syahbandar, Larik Sejarah di Tengah Angkuh Ibu Kota (1)
baca juga: Metamorfosis Jakarta, Berawal dari Pesisir dan Upaya Meninggalkan Corak Kolonial (1)
“Setelah kemerdekaan, Soekarno pun tidak lepas peran karena beliau juga arsitek selain bapak proklamator. Kalau kita bicara fisik (contohnya) Kemayoran, Monas, dan Istiqlal. Pada intinya, setelah kemerdekaan banyak elemen kolonial ditutupi. Akan tetapi, ada yang dirubah atau dikuatkan dengan semangat nasionalisme, seperti Istiqlal itu artinya dari kata merdeka,” ujarnya.
Bundaran HI, Jakarta Pusat
Sederet nama arsitek pada masa kemerdekaan yang ikut mewarnai pembangunan gedung atau tugu ikonik adalah RM Soedarsono dan Friedrich Silaban. Menurut Ary, puncak pembangunan Jakarta terjadi pada tahun 1960-1970-an. Soekarno menggagas berbagai pembangunan, seperti Hotel Indonesia, Kompleks Olahraga Senayan, Tugu Selamat Datang, Pelebaran Jalan MH Thamrin-Sudirman, dan Jembatan Semanggi.
baca juga: Sejarah Jakarta, Disebut di Batu Tulis Purnawarman yang Berkembang Menjadi Bandar Besar
Itu semua bagian dari persiapan menjadi tuan Rumah Asian Games 1962. Lepas dari itu, Ary menerangkan pembangunan suatu kawasan di pusat pemerintahan, yakni Medan Merdeka, itu merujuk konsep tata ruang dalam ajaran Hindu. Jadi, pemerintah Soekarno ingin menunjukkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia. “Saya melihat sebagai satu perlawanan. Juga era membangkitkan kebudayaan dan nasionalisme bahwa bangsa ini besar,” ucapnya.
Masjid Istiqlal
Pada era ini, pembangunan Jakarta sudah bergeser ke Selatan. Lulusan Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan salah satu alasan pemerintah saat itu mulai meninggalkan Utara Jakarta karena rawan banjir. “Pembangunan kota yang sanitasinya tidak baik karena penduduk Jakarta sudah melebihi luas kota. Daerah-daerah Ommelanden (di luar Glodok, seperti Harmoni, Bandengan, Pluit, dan Ancol), sekitar Batavia sudah berkembang menjadi pemukiman,” tuturnya.
baca juga: Menara Syahbandar, Larik Sejarah di Tengah Angkuh Ibu Kota (1)