Sejarah Jakarta, Disebut di Batu Tulis Purnawarman yang Berkembang Menjadi Bandar Besar

Kamis, 29 Oktober 2020 - 06:30 WIB
loading...
Sejarah Jakarta, Disebut di Batu Tulis Purnawarman yang Berkembang Menjadi Bandar Besar
Kapal-kapal berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai wilayah pelabuhan, Sunda Kelapa berkembang pesat menjadi kota yang menjadi pusat perdagangan berbagai suku bangsa. Foto/https:/upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f7/Iacatra_year_1605-1608_draw
A A A
ASAL-usul Jakarta diyakini berasal dari penemuan sebuah batu tulis di Tugu, dekat Tanjung Priok. Dalam batu tulis itu tertulis berita tentang penggalian sebuah “kali yang permai dan berair jernih” tertanda Purnawarman, raja Tarumanagara, kerajaan di Jawa Barat yang berkorelasi kuat dengan sejarah Jakarta.

Berita tentang penggalian sungai itu menjelaskan teknologi pengairan sawah yang juga berfungsi sebagai penahan banjir. Penerapan teknologi pengairan yang diiniasi Raja Purnawarnan tersebut sesuai dengan teori Sjoberg (1965: hal. 19), bahwa kelebihan pangan memunculkan kebutuhan kepemimpinan dan kekuasaan manusia untuk mengembangkan dan memanfaatkan sistem irigasi ekstensif (untuk meningkatkan kemungkinan distribusi pangan yang lebih baik).

Pada saat itu Kerajaan Tarumanagara mengalami kelebihan pangan karena sudah mengenal teknologi irigasi. Dengan demikian perlu distribusi ke daerah lain sebelum bahan pangan itu busuk dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Dalam perkembangannya, di daerah Purnawarman ini muncul pelabuhan yang dikenal sebagai Sunda Kelapa. Salah satu pelabuhan (bandar) yang berada dalam pengawasan Kerajaan Hindu di pedalaman, dengan ibu kotanya bernama Padjajaran. Sunda Kelapa menjadi titik strategis tempat pertukaran berbagai barang, di antaranya bahan pangan yang didistribusi dari Kerajaan Tarumanagara.
Sejarah Jakarta, Disebut di Batu Tulis Purnawarman yang Berkembang Menjadi Bandar Besar

Foto: https://twitter.com/potretlawas

Sunda Kelapa menjadi perlintasan pada pedagang dari berbagai daerah. Berdatangan pedagang-pedagang dari Sumatera, Palembang, Lawe, Tanjung Pura, Malaka, Makassar, Madura, dari pelabuhan-pelabuhan lain di pantai utara Pulau Jawa, dan juga kapal-kapal lainnya dari dataran Asia.

Interaksi beragam orang melalui pertukaran barang dan kemampuan berkontribusi pada evolusi awal terbentuknya sebuah kota. Maka ketika Sunda Kelapa menjadi pusat pertukaran berbagai komoditas, seperti lada, asem, anggur, sayuran, sapi, babi, kambing, lembu, emas, dan pelbagai buah-buahan, sejatinya cikal bakal kota Jakarta telah terbentuk.

Tidak hanya dari luar daerah yang berinteraksi di Sunda Kelapa melalui Laut Jawa, daerah ‘dalam kota’ juga bergerak menuju Sunda Kelapa demi mengejar ‘pasar’ strategis melalui Sungai Ciliwung. Merujuk pada sejarah terbentuknya Mesopotamia (cikal bakal negara Irak), dari lembah Sungai Tigris dan Eufrat, begitu pun yang terjadi pada Jakarta yang berkembang dari tepi sungai Ciliwung, dari aktifitas transportasi komoditas pertanian dari Kerajaan Padjajaran. Perbedaannya, jika asal mula Mesopotamia dari aktivitas pertukaran barang kerajinan, Jakarta didominasi bertukaran komoditi pangan.

Karena keberagaman penduduk yang tinggal di awal kota, diperlukan adanya organisasi yang mengatur agar kehidupan berjalan teratur. Organisasi yang umumnya muncul, menurut Sjoberg (1965: hal. 22) berbentuk teokrasi, dominasi tunggal –satu pimpinan- yaitu Raja. Jakarta juga menganut hal yang serupa dengan sistem kerajaan tunggal yang mengatur wilayah Sunda Kelapa, yakni Kerajaan Padjajaran, dengan tambahan pejabat-pejabat yang mengatur kebijakan secara khusus.
Sejarah Jakarta, Disebut di Batu Tulis Purnawarman yang Berkembang Menjadi Bandar Besar

Suasana Stasiun Kota tahun 1979. Foto/captainhuntz.wordpress.com

Di Sunda Kelapa terdapat pejabat berpengaruh, yang disebut oleh orang Portugis Tumenggung Sangadipati, dan beberapa pejabat syahbandar dari “Fabyam” (Pabean), yang mengatur cukai masuk dan keluar barang-barang perdagangan serta mengadakan perhubungan dengan dunia luar. Adanya pejabat-pejabat khusus tersebut merupakan konsekuensi dari perkembangan kota yang semakin kompleks, membutuhkan peran spesialis penuh waktu, dalam istilah Sjoberg (1965: ha. 19) dalam organisasi sosial di suatu kota.

Pada tahun 1527, Sunda Kelapa direbut orang-orang Muslim di bawah pimpinan Fatahillah sehingga Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta. Jayakarta masih menganut dominasi tunggal, yakni Fatahillah, yang bergelar Pangeran Jayakarta. Pangeran Jayakarta tinggal di kawasan “keraton” Jakarta, pusat pemerintahan, sekaligus terdapat mesjid dan alun-alun.

Di sebelah timur “keraton” terdapat wilayah Kyai Arya, patih Jayakarta, dan sebelah utara-nya tercatat Watting’s Huis atau rumah seorang Cina yang termasyur. Letak tatanan pusat kota ini, senada seperti yang digambarkan Sjoberg (1965: hal. 22), yakni pusat kota dihuni oleh kepala kota beserta penjaga dan pelayannya, juga diisi dengan rumah ibadah, bangunan pemerintahan, dan perumahan orang-orang terkemuka.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0975 seconds (0.1#10.140)