Metamorfosis Jakarta, Berawal dari Pesisir dan Upaya Meninggalkan Corak Kolonial (2-tamat)

Jum'at, 12 November 2021 - 05:59 WIB
loading...
Metamorfosis Jakarta, Berawal dari Pesisir dan Upaya Meninggalkan Corak Kolonial (2-tamat)
Tugu Monas, salah satu proyek mercusuar buah gagasan besar Presiden Soekarno. foto/okezone
A A A
JAKARTA - Jakarta menjadi mercusuar pembangunan di Tanah Air. Sebelum Belanda pergi, di masa perjuangan kemerdekaan, menurut penggiat sejarah dan budaya Ary Sulistyo, pada era 1920-1930-an, pembangunan di Jakarta didominasi model Garden City. Contoh paling khas dan masih ada hingga sekarang adalah kawasan elit Menteng, Jakarta Pusat, yang dibangun oleh NV de Bouwploeg atau dilafalkan oleh orang Indonesia menjadi Boplo.

baca juga: Metamorfosis Jakarta, Berawal dari Pesisir dan Upaya Meninggalkan Corak Kolonial (1)

“Setelah kemerdekaan, Soekarno pun tidak lepas peran karena beliau juga arsitek selain bapak proklamator. Kalau kita bicara fisik (contohnya) Kemayoran, Monas, dan Istiqlal. Pada intinya, setelah kemerdekaan banyak elemen kolonial ditutupi. Akan tetapi, ada yang dirubah atau dikuatkan dengan semangat nasionalisme, seperti Istiqlal itu artinya dari kata merdeka,” ujarnya.

Metamorfosis Jakarta, Berawal dari Pesisir dan Upaya Meninggalkan Corak Kolonial (2-tamat)

Bundaran HI, Jakarta Pusat

Sederet nama arsitek pada masa kemerdekaan yang ikut mewarnai pembangunan gedung atau tugu ikonik adalah RM Soedarsono dan Friedrich Silaban. Menurut Ary, puncak pembangunan Jakarta terjadi pada tahun 1960-1970-an. Soekarno menggagas berbagai pembangunan, seperti Hotel Indonesia, Kompleks Olahraga Senayan, Tugu Selamat Datang, Pelebaran Jalan MH Thamrin-Sudirman, dan Jembatan Semanggi.

baca juga: Sejarah Jakarta, Disebut di Batu Tulis Purnawarman yang Berkembang Menjadi Bandar Besar

Itu semua bagian dari persiapan menjadi tuan Rumah Asian Games 1962. Lepas dari itu, Ary menerangkan pembangunan suatu kawasan di pusat pemerintahan, yakni Medan Merdeka, itu merujuk konsep tata ruang dalam ajaran Hindu. Jadi, pemerintah Soekarno ingin menunjukkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia. “Saya melihat sebagai satu perlawanan. Juga era membangkitkan kebudayaan dan nasionalisme bahwa bangsa ini besar,” ucapnya.

Metamorfosis Jakarta, Berawal dari Pesisir dan Upaya Meninggalkan Corak Kolonial (2-tamat)

Masjid Istiqlal

Pada era ini, pembangunan Jakarta sudah bergeser ke Selatan. Lulusan Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan salah satu alasan pemerintah saat itu mulai meninggalkan Utara Jakarta karena rawan banjir. “Pembangunan kota yang sanitasinya tidak baik karena penduduk Jakarta sudah melebihi luas kota. Daerah-daerah Ommelanden (di luar Glodok, seperti Harmoni, Bandengan, Pluit, dan Ancol), sekitar Batavia sudah berkembang menjadi pemukiman,” tuturnya.

baca juga: Menara Syahbandar, Larik Sejarah di Tengah Angkuh Ibu Kota (1)

Dia memaparkan upaya pemindahan pusat pemerintahan ini sebenarnya sudah dicoba pada era Herman Willem Daendels yang berkuasa pada 1808-1811 dan Thomas Stamford Raffles pada 1811-1816. “Perpindahan kota ini banyak faktor, seperti pertahanan, sisi ekonomi, dan perkembangan kota itu sendiri,” ucapnya.

Pada masa awal kemerdekaan, pria kelahiran 1984 itu mengungkapkan Jakarta langsung menjadi ibu kota secara politik, ekonomi, dan kebudayaan. Semua fungsi “ibu kota” dijalankan Jakarta. Soekarno sempat menggagas perpindahan ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Namun, rencana itu tidak pernah kesampaian.

baca juga: Menara Syahbandar, Menolak Punah Meski Dikepung Derap Pembangunan (2-Tamat)

Ary menduga salah satu alasannya karena infrastruktur pendukung di sana belum selengkap Jakarta. “Jakarta terlalu besar magnet dan fungsinya,” katanya. Pembangunan kian masif di era Gubernur Ali Sadikin pada periode 1966-1977. “Ini yang menjadi problematika ketika pembangunan di era Ali Sadikin begitu pesat sehingga melupakan daya dukung kota ini,” tambahnya.

Metamorfosis Jakarta, Berawal dari Pesisir dan Upaya Meninggalkan Corak Kolonial (2-tamat)

Jembatan Semanggi

Jakarta telah menjadi magnet bagi warga dari berbagai penjuru Indonesia. Para perantau mencoba mengadu nasib di Jakarta. Jakarta pun menjadi pintu gerbang bagi orang-orang asing lewat Bandara Kemayoran. “Pada era pemerintahan Ali Sadikin, Jakarta bertransformasi dari kota yang tradisional. Kota yang bersifat kolonial, kemudian kota yang menunjukkan nilai kebudayaan, kemudian loncat jadi kota yang ber-image internasional,” terangnya.

baca juga: Di Era Gubernur DKI Jakarta Ini Monas dan Patung Selamat Datang Dibangun

Dia menceritakan saat pertama kali ditunjuk jadi Gubernur DKI Jakarta, Bang Ali-sapaan akrabnya, sudah menyatakan misi utama. “Saya masih ingat kata-katanya, tugas seorang gubernur adalah mengurus warga dari lahir sampai meninggal. Nah, itu yang menjadi pembeda dengan gubernur lainnya,” tuturnya.

Beberapa pembangunan yang dilakukan era jenderal angkatan laut itu adalah Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian jaya Ancol, dan kota satelit Pluit. Bang Ali pun menjadikan Condet sebagai kawasan pelestarian kebudayaan Betawi. Ary mengatakan Ali Sadikin tidak hanya fokus pada hal-hal yang bersifat fisik.

baca juga: Monas, Pembangunan Tugu yang Memakan Waktu hingga 3 Periode

Saat menjabat, ia juga memperbaiki kampung-kampung kumuh melalui program Kampung Improvement Project (IKP). Di masa lalu, ada program sejenis yang bernama kampong verbetering. Pemerintah saat itu berusaha untuk menyediakan air bersih dan perbaikan sarana dan prasarana, seperti jalan. Kemudian, Ali Sadikin pun melakukan pemugaran bangunan-bangunan peninggalan kolonial.

Metamorfosis Jakarta, Berawal dari Pesisir dan Upaya Meninggalkan Corak Kolonial (2-tamat)

Pelabuhan Sunda Kelapa

“Pada waktu itu, investor sudah banyak datang. Kebijakan-kebijakan beliau, pajak-pajak untuk pembangunan dan kebutuhan masyarakat Jakarta, termasuk (meraup) devisa. Kemudian, (beliau) melakukan penanaman pulau di Kepulauan Seribu, termasuk Pulau Bidadari. Tujuan beliau adalah untuk menarik devisa dari pariwisata,” jelasnya.

baca juga: Anies Ceritakan 76 Tahun Lalu Separuh Warga Jakarta Pernah Berkumpul di Monas

Sementara itu, Sejarawan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Humaidi Syariati mengungkapkan fakta yang jarang diungkapkan ke publik bahwa Soekarno pada masa awal sudah merancang Jakarta sebagai kota pendidikan. Pada tahun 1952, Soekarno meletakkan pembangunan Prasasti Kota Mahasiswa di Rawamangun, Jakarta Timur, yang sekarang menjadi UNJ. Kawasan ini awalnya sebagai perluasan kampus UI Salemba.

Dia menduga Soekarno ingin meninggalkan Salemba karena masih terlalu kuat nuansa kolonialnya. “Jakarta di-setting Soekarno tidak hanya kota warisan kolonial, tapi dia memiliki tempat dan titik baru untuk pendidikan. Pembangunan kemerdekaan, bangunan yang wajah baru agar tidak terlalu menostalgiakan bangunan Belanda,” pungkasnya.
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1551 seconds (0.1#10.140)