Jalan di Desa Bojong Cikupa Masih Diblokir, Warga dan Perusahaan Merana
loading...
A
A
A
TANGERANG - Aksi pemblokiran jalan di Desa Bojong, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang yang dilakukan manajemen PT Sinar Masanda Industri (SMI) hingga kini masih terjadi.
Tak hanya warga yang dirugikan, perusahaan lain yang berdomisili di desa tersebut turut merasakan dampaknya, salah satunya PT Samcro Hyosung Adilestari (SHA).
Juru bicara PT SHA Wardy menuding PT SMI yang merupakan mitra usaha produsen sepatu kenamaan itu terkesan arogan dengan menutup akses masuk menuju pabrik.
"Sampai hari ini pemblokiran secara sepihak masih terjadi. Jelas ini sangat merugikan kami karena aktivitas keluar-masuk angkutan barang milik kami menjadi terhambat," ujar Wardy, Senin (20/4/2020).
Perusahaannya terpaksa menjalankan aktivitas perusahaannya secara manual. Untuk mengeluarkan barang produksi dari dalam pabrik menuju mobil angkutan harus menggunakan troli.
Bahkan, intimidasi ditunjukkan oleh oknum manajemen SMI. Salah satu pimpinan PT SHA Mr Lee diduga mengalami penganiayaan. "Kami sudah melaporkan dugaan penganiayaan tersebut ke Ditreskrim Polda Banten," ucapnya.
Lebih jauh, dia menilai PT SMI seolah tak mengerti hukum. Status lahan yang disengketakan berupa jalan menuju kawasan pabrik saat ini berstatus quo.
Itu karena PT SHA telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada 20 Maret 2020. Sidang perdana gugatan melawan PT SMI rencananya digelar 29 April mendatang.
"PT SMI ini mengerti hukum enggak sih? Karena dalam kondisi status quo harusnya kedua belah pihak yang bersengketa tidak boleh melakukan tindakan apapun sebelum ada putusan inkrah dari pengadilan," cetusnya.
Wardy memastikan PT SHA sudah berdiri sejak 1989 dengan akses jalan utama yang diklaim oleh PT SMI sebagai milik mereka. Dimana pada Mei 1993 PT SHA melakukan pembelian lahan dari PT Supramas Inti Kemilau.
Pembelian tersebut tertuang dalam Akta Jual Beli (AJB) Nomor 670/JB/Ags.593/1989. Nah, belakangan PT SMI mengklaim sebagai pemilik lahan tersebut dengan dasar AJB dan tengah mengajukan permohonan sertifikasi ke BPN Kabupaten Tangerang.
Atas dasar itulah, PT SHA mengajukan gugatan ke PN Tangerang dengan tujuan agar BPN tidak memproses sertifikasi yang diajukan PT SMI. “Akses jalan utama (yang diblokir PT SMI) itu adalah betul dari kami. Sedangkan PT SMI yang mengklaim membeli dari PT Supramas itu berdiri tahun 1993. Artinya, akses itu secara logikanya jalan milik kami," kata Wardy. (Baca juga: Pemblokiran Jalan oleh Perusahaan di Cikupa, Warga: Hidup Lagi Susah Tolong Jangan Tambah Susah)
Sementara itu, Raidin Anom selaku Kuasa Hukum PT SMI melalui siaran persnya mengatakan, penutupan jalan masuk ke perusahaan dipicu dari adanya arogansi PT SHA.
Perusahaan tersebut memasang patok besi setinggi 5-30 cm di tengah-tengah jalan sepanjang akses masuk PT SMI. Pemasangan patok besi oleh PT SHA jelas mengganggu kegiatan PT SMI dan warga sekitar.
"Meski PT SMI sudah melakukan upaya persuasif, namun PT SHA tidak menggubrisnya dan kami melakukan upaya hukum ke Polresta Tangerang. Kami laporkan kasus tersebut karena pemasangan patok besi melanggar hukum dan mengganggu kepentingan umum," ujar Raidin Anom.
Polresta Tangerang telah mengimbau kepada kedua perusahaan agar akses itu bisa digunakan bersama karena warga sekitar juga sangat membutuhkan jalan tersebut.
Lantaran PT SHA tidak memiliki iktikad baik akhirnya PT SMI dengan terpaksa membalas aksi PT SHA dengan hal serupa yakni memasang portal di lahan miliknya yang dibeli dari PT Supramas Inti Kemilau dengan bukti sertifikat Nomor 105 Tahun 1991.
Sejak PT SMI membeli lahan ke PT Supramas Inti Kemilau yang berlokasi di RT02/01, Desa Bojong, Cikupa, Kabupaten Tangerang, pada Desember 2019 untuk pembangunan pabrik tidak ada permasalahan meski saat ini tembok pembatas PT SHA memakan lahan PT SMI.
"Selama jalan musyawarah bisa ditempuh ada baiknya dimusyawarahkan. Pintu dialog dan musyawarah masih terbuka, namun kenapa PT SHA memutarbalikkan fakta, seakan-akan dia yang menjadi korban," kata Raidin.
Tak hanya warga yang dirugikan, perusahaan lain yang berdomisili di desa tersebut turut merasakan dampaknya, salah satunya PT Samcro Hyosung Adilestari (SHA).
Juru bicara PT SHA Wardy menuding PT SMI yang merupakan mitra usaha produsen sepatu kenamaan itu terkesan arogan dengan menutup akses masuk menuju pabrik.
"Sampai hari ini pemblokiran secara sepihak masih terjadi. Jelas ini sangat merugikan kami karena aktivitas keluar-masuk angkutan barang milik kami menjadi terhambat," ujar Wardy, Senin (20/4/2020).
Perusahaannya terpaksa menjalankan aktivitas perusahaannya secara manual. Untuk mengeluarkan barang produksi dari dalam pabrik menuju mobil angkutan harus menggunakan troli.
Bahkan, intimidasi ditunjukkan oleh oknum manajemen SMI. Salah satu pimpinan PT SHA Mr Lee diduga mengalami penganiayaan. "Kami sudah melaporkan dugaan penganiayaan tersebut ke Ditreskrim Polda Banten," ucapnya.
Lebih jauh, dia menilai PT SMI seolah tak mengerti hukum. Status lahan yang disengketakan berupa jalan menuju kawasan pabrik saat ini berstatus quo.
Itu karena PT SHA telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada 20 Maret 2020. Sidang perdana gugatan melawan PT SMI rencananya digelar 29 April mendatang.
"PT SMI ini mengerti hukum enggak sih? Karena dalam kondisi status quo harusnya kedua belah pihak yang bersengketa tidak boleh melakukan tindakan apapun sebelum ada putusan inkrah dari pengadilan," cetusnya.
Wardy memastikan PT SHA sudah berdiri sejak 1989 dengan akses jalan utama yang diklaim oleh PT SMI sebagai milik mereka. Dimana pada Mei 1993 PT SHA melakukan pembelian lahan dari PT Supramas Inti Kemilau.
Pembelian tersebut tertuang dalam Akta Jual Beli (AJB) Nomor 670/JB/Ags.593/1989. Nah, belakangan PT SMI mengklaim sebagai pemilik lahan tersebut dengan dasar AJB dan tengah mengajukan permohonan sertifikasi ke BPN Kabupaten Tangerang.
Atas dasar itulah, PT SHA mengajukan gugatan ke PN Tangerang dengan tujuan agar BPN tidak memproses sertifikasi yang diajukan PT SMI. “Akses jalan utama (yang diblokir PT SMI) itu adalah betul dari kami. Sedangkan PT SMI yang mengklaim membeli dari PT Supramas itu berdiri tahun 1993. Artinya, akses itu secara logikanya jalan milik kami," kata Wardy. (Baca juga: Pemblokiran Jalan oleh Perusahaan di Cikupa, Warga: Hidup Lagi Susah Tolong Jangan Tambah Susah)
Sementara itu, Raidin Anom selaku Kuasa Hukum PT SMI melalui siaran persnya mengatakan, penutupan jalan masuk ke perusahaan dipicu dari adanya arogansi PT SHA.
Perusahaan tersebut memasang patok besi setinggi 5-30 cm di tengah-tengah jalan sepanjang akses masuk PT SMI. Pemasangan patok besi oleh PT SHA jelas mengganggu kegiatan PT SMI dan warga sekitar.
"Meski PT SMI sudah melakukan upaya persuasif, namun PT SHA tidak menggubrisnya dan kami melakukan upaya hukum ke Polresta Tangerang. Kami laporkan kasus tersebut karena pemasangan patok besi melanggar hukum dan mengganggu kepentingan umum," ujar Raidin Anom.
Polresta Tangerang telah mengimbau kepada kedua perusahaan agar akses itu bisa digunakan bersama karena warga sekitar juga sangat membutuhkan jalan tersebut.
Lantaran PT SHA tidak memiliki iktikad baik akhirnya PT SMI dengan terpaksa membalas aksi PT SHA dengan hal serupa yakni memasang portal di lahan miliknya yang dibeli dari PT Supramas Inti Kemilau dengan bukti sertifikat Nomor 105 Tahun 1991.
Sejak PT SMI membeli lahan ke PT Supramas Inti Kemilau yang berlokasi di RT02/01, Desa Bojong, Cikupa, Kabupaten Tangerang, pada Desember 2019 untuk pembangunan pabrik tidak ada permasalahan meski saat ini tembok pembatas PT SHA memakan lahan PT SMI.
"Selama jalan musyawarah bisa ditempuh ada baiknya dimusyawarahkan. Pintu dialog dan musyawarah masih terbuka, namun kenapa PT SHA memutarbalikkan fakta, seakan-akan dia yang menjadi korban," kata Raidin.
(jon)