Pembangunan Musala di Grand Wisata Bekasi Sesuai Aturan, FKUB: Warga Non Muslim pun Telah Setuju

Jum'at, 26 Februari 2021 - 12:39 WIB
loading...
Pembangunan Musala di...
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) memastikan Musala Al-Muhajirin yang didirikan warga Water Garden telah memenuhi syarat. Foto: SINDOnews/Dok
A A A
BEKASI - Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) memastikan Musala Al-Muhajirin yang didirikan warga Water Garden telah memenuhi syarat sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 tahun 2016.

“Persyaratan ini untuk semua tempat ibadah. Bukan cuma untuk musala atau masjid saja tapi berlaku untuk semua agama. Untuk warga klaster Water Garden, itu persyaratannya sudah sesuai. Sudah ada persetujuan juga dari warga sekitarnya, bahkan dari yang non muslim juga,” ujar Ketua FKUB Kabupaten Bekasi, Athoilah Mursyid.

(Baca juga: Pembangunan Musala di Kompleks Grand Wisata Digugat Pengembang)

Dalam SKB tersebut diatur bahwa pendirian rumah ibadah perlu ada rekomendasi dari FKUB. Persyaratan untuk mendapatkan rekomendasi itu, selain surat permohonan juga harus melampirkan tanda tangan dan KTP calon pengguna tempat ibadah atau jemaah.

Kemudian, perlu juga dilampirkan persetujuan/tidak keberatan dari warga sekitar atas pendirian rumah ibadah di lokasi tersebut. “Harus ada minimal 60 warga sekitar yang menyetujui, boleh satu agama atau warga yang beda agama. Pada klaster ini ada persetujuan juga dari warga non muslim,” ucap dia.


Athoilah yang juga Anggota Dewan Pembina Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bekasi mengatakan, gugatan PT Putra Alvita Pratama (PAP) kepada warga lantaran membangun musala seharusnya tidak terjadi. Soalnya, lahan yang digunakan untuk mendirikan musala sudah merupakan milik warga.

"Seharusnya pengembang tidak ada kewenangan. Masalahnya ini kan tanah warga. Paling tidak jangan sampai ada yang keberatan terkait masalah pendirian rumah ibadah," bebernya.

Sementara itu, Rahman Kholid, tokoh warga Water Garden sekaligus tergugat, menegaskan, pengembang tidak berhak mengatur dan mengintervensi cara beribadah warga. Apalagi saat mediasi mereka melarang azan dikumandangkan dengan pengeras suara, salat Jumat, dan pengajian.

“Mereka tidak melarang ibadah secara eksplisit, tetapi mereka mau mengatur cara ibadah kami dan menghalangi pendirian tempat ibadah warga muslim. Padahal, itu sudah menjadi kepentingan umum karena jarak masjid dari rumah-rumah warga yang jauh,” kata Rahman.

Rahman menjelaskan, PAP semestinya konsisten dengan PPJB. Pasal 6 (6) perjanjian itu menyebut sejak serah terima, segala risiko, beban, dan biaya terkait kepemilikan dan/atau penggunaan tanah beralih kepada pembeli.



Pengembang juga tidak memiliki alasan yang kuat mengatur peruntukkan dan penggunaan tanah karena sudah menjadi urusan negara. Apalagi, warga sudah mengajukan permohonan perubahan peruntukkan tanah seluas 226 meter persegi itu dari rumah tinggal menjadi rumah ibadah kepada pemerintah Kabupaten Bekasi sesuai aturan berlaku.

Atas kondisi ini, warga pun mempertanyakan misi pengembang mengatur peribadatan umat hingga menggugat ke pengadilan. Pengembang semestinya fokus membuktikan tuduhan mereka mengenai wanprestasi dan tidak memperuncing konflik dengan warga apalagi terkait agama.
(thm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2002 seconds (0.1#10.140)