Marak Penjambretan, Hindari Perilaku Mengundang
loading...
A
A
A
Peran Korban dalam Perspektif Viktimologi
Faktanya, kejahatan jalanan yang terjadi di area publik tidak muncul dengan sendirinya. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya aksi kriminalitas tersebut. Bukan semata-mata dipicu dari adanya motivasi si pelaku tetapi juga bisa berasal dari korban yang menciptakan dorongan atau peluang tertentu sehingga terjadi kejahatan. (Baca juga: Penanganan Terkini Kanker Usus Besar)
Benjamin Mendelsohn, salah satu kriminolog yang membuat tipologi korban, dan berupaya menjelaskan sampai sejauh mana peran korban dalam memunculkan aksi kejahatan. Salah satu tipologi hasil bentukannya adalah innocent victim, yaitu posisi seseorang yang tidak memiliki kontribusi pada terjadinya viktimisasi. Orang tersebut menjadi korban karena berada di tempat yang salah dan pada waktu yang salah. Orang sering mengistilahkan kondisi ini dengan sebutan “apes” atau faktor kesialan semata.
Selain innocent victim, Mendelsohn juga memperkenalkan tipologi korban the victim with minor guilt, yaitu situasi korban tidak berpartisipasi secara aktif dalam viktimisasi tetapi berkontribusi dalam tingkat tertentu. Partisipasi ini dilakukan melalui sejumlah aktivitas yang bisa memancing atau membuka peluang terjadinya kejahatan, seperti melewati wilayah rawan kejahatan.
Selain Mendelsohn, Schafer juga membuat tipologi korban berdasarkan peran. Salah satu konsep yang sering digunakan adalah precipitative victims. Konsep ini menjelaskan bahwa seseorang bisa menjadi korban karena melakukan hal-hal yang menyebabkan pelaku kejahatan terdorong untuk melakukan aksinya. Dalam konteks kejahatan jambret, aksi itu bisa muncul, salah satunya karena terdorong dari perilaku atau aktivitas korban saat berada di tempat umum. (Baca juga: Nyali KPK Terapkan Hukuman Mati di Kasus Tipikor Diuji)
Dalam kehidupan, setiap orang pasti memiliki gaya atau kebiasaan tertentu dalam sebuah konteks tertentu pula. Terkadang, seseorang sering tidak menyadari aktivitas yang mereka lakukan dapat menimbulkan peluang, dan menjadikan seseorang tersebut sebagai korban kejahatan menjadi lebih besar. Sebut saja salah satunya aktivitas atau kebiasaan saat berada di area publik, seperti jalan raya atau di tempat menunggu angkutan umum.
Litbang SINDO pernah mengadakan survei terhadap 400 responden untuk mengetahui aktivitas apa yang dilakukan saat menunggu kendaraan umum di tempat publik, seperti halte, stasiun, atau bandara. Mayoritas responden menjawab aktivitas yang dilakukan adalah melakukan chat via gadget, mendengarkan musik dengan menggunakan earphone atau headphone, serta menonton film secara streaming. Bahkan, ada juga responden yang memilih untuk tidur saat menunggu jadwal keberangkatan angkutan.
Semua aktivitas tersebut memang ampuh untuk membunuh waktu. Namun, jika ditilik secara kriminologis, seluruh aktivitas tersebut menciptakan potensi seseorang untuk menjadi korban kejahatan menjadi besar. Korban akan terfokus pada satu kegiatan yang pada akhirnya menurunkan tingkat kewaspadaan atas situasi yang terjadi di sekitarnya. Korban tidak menyadari adanya kemungkinan orang jahat yang membuntuti dan mengincar barang-barang yang dimilikinya. Hal ini persis seperti yang terjadi pada aksi penjambretan di daerah Grogol pada Oktober 2020 lalu. Pelaku dengan mudah menggasak handphone milik korban, yang pada saat kejadian korban tengah asyik bermain game online. (Lihat videonya: Tim Satgas Tinombala Memburu Kelompok MIT)
Beberapa pemberitaan juga kerap mengisahkan berbagai aksi penjambretan yang terjadi akibat perilaku korban yang “mengundang”. Seperti bermain ponsel saat berkendara di jalan raya atau tempat sepi dan gelap, menggunakan perhiasan berlebihan atau meletakkan handphone atau benda-benda berharga lainnya di tempat yang terbuka dan tidak terlindung (semisal di saku celana).
Adanya pemahaman yang baik tentang peran korban dalam aksi kejahatan, diharapkan masyarakat bisa lebih waspada dalam mengantisipasinya. Dengan demikian, angka viktimisasi dalam konteks kejahatan jalanan seperti jambret bisa berkurang dan masyarakat pun bisa hidup tenang.
Faktanya, kejahatan jalanan yang terjadi di area publik tidak muncul dengan sendirinya. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya aksi kriminalitas tersebut. Bukan semata-mata dipicu dari adanya motivasi si pelaku tetapi juga bisa berasal dari korban yang menciptakan dorongan atau peluang tertentu sehingga terjadi kejahatan. (Baca juga: Penanganan Terkini Kanker Usus Besar)
Benjamin Mendelsohn, salah satu kriminolog yang membuat tipologi korban, dan berupaya menjelaskan sampai sejauh mana peran korban dalam memunculkan aksi kejahatan. Salah satu tipologi hasil bentukannya adalah innocent victim, yaitu posisi seseorang yang tidak memiliki kontribusi pada terjadinya viktimisasi. Orang tersebut menjadi korban karena berada di tempat yang salah dan pada waktu yang salah. Orang sering mengistilahkan kondisi ini dengan sebutan “apes” atau faktor kesialan semata.
Selain innocent victim, Mendelsohn juga memperkenalkan tipologi korban the victim with minor guilt, yaitu situasi korban tidak berpartisipasi secara aktif dalam viktimisasi tetapi berkontribusi dalam tingkat tertentu. Partisipasi ini dilakukan melalui sejumlah aktivitas yang bisa memancing atau membuka peluang terjadinya kejahatan, seperti melewati wilayah rawan kejahatan.
Selain Mendelsohn, Schafer juga membuat tipologi korban berdasarkan peran. Salah satu konsep yang sering digunakan adalah precipitative victims. Konsep ini menjelaskan bahwa seseorang bisa menjadi korban karena melakukan hal-hal yang menyebabkan pelaku kejahatan terdorong untuk melakukan aksinya. Dalam konteks kejahatan jambret, aksi itu bisa muncul, salah satunya karena terdorong dari perilaku atau aktivitas korban saat berada di tempat umum. (Baca juga: Nyali KPK Terapkan Hukuman Mati di Kasus Tipikor Diuji)
Dalam kehidupan, setiap orang pasti memiliki gaya atau kebiasaan tertentu dalam sebuah konteks tertentu pula. Terkadang, seseorang sering tidak menyadari aktivitas yang mereka lakukan dapat menimbulkan peluang, dan menjadikan seseorang tersebut sebagai korban kejahatan menjadi lebih besar. Sebut saja salah satunya aktivitas atau kebiasaan saat berada di area publik, seperti jalan raya atau di tempat menunggu angkutan umum.
Litbang SINDO pernah mengadakan survei terhadap 400 responden untuk mengetahui aktivitas apa yang dilakukan saat menunggu kendaraan umum di tempat publik, seperti halte, stasiun, atau bandara. Mayoritas responden menjawab aktivitas yang dilakukan adalah melakukan chat via gadget, mendengarkan musik dengan menggunakan earphone atau headphone, serta menonton film secara streaming. Bahkan, ada juga responden yang memilih untuk tidur saat menunggu jadwal keberangkatan angkutan.
Semua aktivitas tersebut memang ampuh untuk membunuh waktu. Namun, jika ditilik secara kriminologis, seluruh aktivitas tersebut menciptakan potensi seseorang untuk menjadi korban kejahatan menjadi besar. Korban akan terfokus pada satu kegiatan yang pada akhirnya menurunkan tingkat kewaspadaan atas situasi yang terjadi di sekitarnya. Korban tidak menyadari adanya kemungkinan orang jahat yang membuntuti dan mengincar barang-barang yang dimilikinya. Hal ini persis seperti yang terjadi pada aksi penjambretan di daerah Grogol pada Oktober 2020 lalu. Pelaku dengan mudah menggasak handphone milik korban, yang pada saat kejadian korban tengah asyik bermain game online. (Lihat videonya: Tim Satgas Tinombala Memburu Kelompok MIT)
Beberapa pemberitaan juga kerap mengisahkan berbagai aksi penjambretan yang terjadi akibat perilaku korban yang “mengundang”. Seperti bermain ponsel saat berkendara di jalan raya atau tempat sepi dan gelap, menggunakan perhiasan berlebihan atau meletakkan handphone atau benda-benda berharga lainnya di tempat yang terbuka dan tidak terlindung (semisal di saku celana).
Adanya pemahaman yang baik tentang peran korban dalam aksi kejahatan, diharapkan masyarakat bisa lebih waspada dalam mengantisipasinya. Dengan demikian, angka viktimisasi dalam konteks kejahatan jalanan seperti jambret bisa berkurang dan masyarakat pun bisa hidup tenang.