Marak Penjambretan, Hindari Perilaku Mengundang
loading...
A
A
A
Wiendy Hapsari
Kepala Litbang SINDO Media
Aksi jambret merupakan salah satu jenis kejahatan jalanan (street crime) yang kerap terjadi. Setiap hari bahkan dalam hitungan jam, ada saja posting-an video yang menggambarkan aksi kejahatan jalanan tersebut yang kemudian viral di media sosial.
Begitu juga dalam pemberitaan. Dalam satu hari, informasi soal aksi kejahatan di ruang publik ini tak pernah absen hadir di rubrik kriminalitas berbagai media. Terlebih di situasi pandemi sekarang ini, sejumlah data menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus kejahatan jalanan, terkhusus penjambretan. Seperti diungkap Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra, saat pandemi, kejahatan jalanan meningkat secara jumlah dan kualitas. (Baca: Amalkan Lima Doa Ini, Rezeki Datang Bertubi-tubi)
“Ada beberapa catatan, terjadi kenaikan angka kejahatan jalanan seperti penjambretan , perampokan, pencurian bermotor, dan pembongkaran beberapa minimarket," ujar Asep, dalam jumpa pers di Mabes Polri pada Mei 2020 lalu, seperti dilansir dari situs Okezone.com.
Maraknya aksi kejahatan jalanan ini tentu membuat masyarakat resah. Terlebih, dari semua pemberitaan atau informasi yang beredar soal penjambretan, terlihat bahwa aksi kejahatan ini nyatanya tidak pandang bulu. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, berpendidikan rendah sampai tinggi, status sosial rendah hingga tinggi, semuanya berpotensi mengalami tindak kejahatan ini.
Kondisi ini menandakan bahwa saat ini orang yang bisa menjadi korban tindakan kriminal tidak hanya didominasi dari golongan korban rentan (vulnerable), yang menurut Von Hentig bisa dibagi dalam beberapa kategori. Di antaranya golongan anak-anak serta remaja, kaum perempuan, lanjut usia, orang yang memiliki keterbelakangan mental serta minoritas.
Nah yang menarik, korban penjambretan juga bisa menimpa orang-orang yang tidak masuk dalam kategori itu. Contoh kasus penjambretan yang terjadi pada pertengahan November 2020 lalu, di wilayah Jakarta Timur. Saat itu aparat TNI yang notabene dianggap sebagai orang yang bukan menjadi sasaran ideal penjahat, nyatanya pun tak luput menjadi korban penjambretan. Waktu itu korban sedang melaju dengan sepeda motornya dan tidak menyadari dirinya tengah dibuntuti oleh pelaku. Akibatnya, korban kehilangan tas serta handphone miliknya. (Baca juga: Kemenag Harap Madrasah Jadi Ruang Pembudayaan Pembelajaran)
Untuk mengantisipasi terjadinya kejahatan jalanan, aparat penegak hukum sebenarnya sudah menyiapkan sejumlah strategi penanganan. Polres Jakarta Selatan, misalnya, telah membentuk tim satuan tugas khusus untuk memberantas para pelaku kejahatan jalanan seperti penjambretan dan pembegalan yang kerap beraksi di wilayah Jakarta Selatan.
Dalam operasinya, polisi melakukan pemetaan bagaimana modus kejahatan yang dilakukan, kapan mereka beraksi, termasuk memetakan lokasi-lokasi yang dianggap rawan serta melakukan patroli di titik rawan tersebut. “Kami sudah membentuk tim satgas antibegal dan jambret di Jakarta Selatan," ujar Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Budi Sartono, seperti dilansir Sindonews.com.
Tak hanya di Jakarta, kepolisian wilayah lain juga sudah bersiaga membendung kejahatan ini. Bahkan, Polres Kota Tangerang sudah membentuk satgas khusus bernama Macan Putih. Kendati polisi sudah sangat agresif menangani aksi penjambretan , tanggung jawab keamanan tentu bukan menjadi ranah kepolisian saja, juga menjadi tanggung jawab seluruh unsur lapisan masyarakat. Agar terhindar dari kejahatan jalanan, masyarakat perlu aktif melakukan upaya untuk membentengi diri.
Peran Korban dalam Perspektif Viktimologi
Faktanya, kejahatan jalanan yang terjadi di area publik tidak muncul dengan sendirinya. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya aksi kriminalitas tersebut. Bukan semata-mata dipicu dari adanya motivasi si pelaku tetapi juga bisa berasal dari korban yang menciptakan dorongan atau peluang tertentu sehingga terjadi kejahatan. (Baca juga: Penanganan Terkini Kanker Usus Besar)
Benjamin Mendelsohn, salah satu kriminolog yang membuat tipologi korban, dan berupaya menjelaskan sampai sejauh mana peran korban dalam memunculkan aksi kejahatan. Salah satu tipologi hasil bentukannya adalah innocent victim, yaitu posisi seseorang yang tidak memiliki kontribusi pada terjadinya viktimisasi. Orang tersebut menjadi korban karena berada di tempat yang salah dan pada waktu yang salah. Orang sering mengistilahkan kondisi ini dengan sebutan “apes” atau faktor kesialan semata.
Selain innocent victim, Mendelsohn juga memperkenalkan tipologi korban the victim with minor guilt, yaitu situasi korban tidak berpartisipasi secara aktif dalam viktimisasi tetapi berkontribusi dalam tingkat tertentu. Partisipasi ini dilakukan melalui sejumlah aktivitas yang bisa memancing atau membuka peluang terjadinya kejahatan, seperti melewati wilayah rawan kejahatan.
Selain Mendelsohn, Schafer juga membuat tipologi korban berdasarkan peran. Salah satu konsep yang sering digunakan adalah precipitative victims. Konsep ini menjelaskan bahwa seseorang bisa menjadi korban karena melakukan hal-hal yang menyebabkan pelaku kejahatan terdorong untuk melakukan aksinya. Dalam konteks kejahatan jambret, aksi itu bisa muncul, salah satunya karena terdorong dari perilaku atau aktivitas korban saat berada di tempat umum. (Baca juga: Nyali KPK Terapkan Hukuman Mati di Kasus Tipikor Diuji)
Dalam kehidupan, setiap orang pasti memiliki gaya atau kebiasaan tertentu dalam sebuah konteks tertentu pula. Terkadang, seseorang sering tidak menyadari aktivitas yang mereka lakukan dapat menimbulkan peluang, dan menjadikan seseorang tersebut sebagai korban kejahatan menjadi lebih besar. Sebut saja salah satunya aktivitas atau kebiasaan saat berada di area publik, seperti jalan raya atau di tempat menunggu angkutan umum.
Litbang SINDO pernah mengadakan survei terhadap 400 responden untuk mengetahui aktivitas apa yang dilakukan saat menunggu kendaraan umum di tempat publik, seperti halte, stasiun, atau bandara. Mayoritas responden menjawab aktivitas yang dilakukan adalah melakukan chat via gadget, mendengarkan musik dengan menggunakan earphone atau headphone, serta menonton film secara streaming. Bahkan, ada juga responden yang memilih untuk tidur saat menunggu jadwal keberangkatan angkutan.
Semua aktivitas tersebut memang ampuh untuk membunuh waktu. Namun, jika ditilik secara kriminologis, seluruh aktivitas tersebut menciptakan potensi seseorang untuk menjadi korban kejahatan menjadi besar. Korban akan terfokus pada satu kegiatan yang pada akhirnya menurunkan tingkat kewaspadaan atas situasi yang terjadi di sekitarnya. Korban tidak menyadari adanya kemungkinan orang jahat yang membuntuti dan mengincar barang-barang yang dimilikinya. Hal ini persis seperti yang terjadi pada aksi penjambretan di daerah Grogol pada Oktober 2020 lalu. Pelaku dengan mudah menggasak handphone milik korban, yang pada saat kejadian korban tengah asyik bermain game online. (Lihat videonya: Tim Satgas Tinombala Memburu Kelompok MIT)
Beberapa pemberitaan juga kerap mengisahkan berbagai aksi penjambretan yang terjadi akibat perilaku korban yang “mengundang”. Seperti bermain ponsel saat berkendara di jalan raya atau tempat sepi dan gelap, menggunakan perhiasan berlebihan atau meletakkan handphone atau benda-benda berharga lainnya di tempat yang terbuka dan tidak terlindung (semisal di saku celana).
Adanya pemahaman yang baik tentang peran korban dalam aksi kejahatan, diharapkan masyarakat bisa lebih waspada dalam mengantisipasinya. Dengan demikian, angka viktimisasi dalam konteks kejahatan jalanan seperti jambret bisa berkurang dan masyarakat pun bisa hidup tenang.
Kepala Litbang SINDO Media
Aksi jambret merupakan salah satu jenis kejahatan jalanan (street crime) yang kerap terjadi. Setiap hari bahkan dalam hitungan jam, ada saja posting-an video yang menggambarkan aksi kejahatan jalanan tersebut yang kemudian viral di media sosial.
Begitu juga dalam pemberitaan. Dalam satu hari, informasi soal aksi kejahatan di ruang publik ini tak pernah absen hadir di rubrik kriminalitas berbagai media. Terlebih di situasi pandemi sekarang ini, sejumlah data menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus kejahatan jalanan, terkhusus penjambretan. Seperti diungkap Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra, saat pandemi, kejahatan jalanan meningkat secara jumlah dan kualitas. (Baca: Amalkan Lima Doa Ini, Rezeki Datang Bertubi-tubi)
“Ada beberapa catatan, terjadi kenaikan angka kejahatan jalanan seperti penjambretan , perampokan, pencurian bermotor, dan pembongkaran beberapa minimarket," ujar Asep, dalam jumpa pers di Mabes Polri pada Mei 2020 lalu, seperti dilansir dari situs Okezone.com.
Maraknya aksi kejahatan jalanan ini tentu membuat masyarakat resah. Terlebih, dari semua pemberitaan atau informasi yang beredar soal penjambretan, terlihat bahwa aksi kejahatan ini nyatanya tidak pandang bulu. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, berpendidikan rendah sampai tinggi, status sosial rendah hingga tinggi, semuanya berpotensi mengalami tindak kejahatan ini.
Kondisi ini menandakan bahwa saat ini orang yang bisa menjadi korban tindakan kriminal tidak hanya didominasi dari golongan korban rentan (vulnerable), yang menurut Von Hentig bisa dibagi dalam beberapa kategori. Di antaranya golongan anak-anak serta remaja, kaum perempuan, lanjut usia, orang yang memiliki keterbelakangan mental serta minoritas.
Nah yang menarik, korban penjambretan juga bisa menimpa orang-orang yang tidak masuk dalam kategori itu. Contoh kasus penjambretan yang terjadi pada pertengahan November 2020 lalu, di wilayah Jakarta Timur. Saat itu aparat TNI yang notabene dianggap sebagai orang yang bukan menjadi sasaran ideal penjahat, nyatanya pun tak luput menjadi korban penjambretan. Waktu itu korban sedang melaju dengan sepeda motornya dan tidak menyadari dirinya tengah dibuntuti oleh pelaku. Akibatnya, korban kehilangan tas serta handphone miliknya. (Baca juga: Kemenag Harap Madrasah Jadi Ruang Pembudayaan Pembelajaran)
Untuk mengantisipasi terjadinya kejahatan jalanan, aparat penegak hukum sebenarnya sudah menyiapkan sejumlah strategi penanganan. Polres Jakarta Selatan, misalnya, telah membentuk tim satuan tugas khusus untuk memberantas para pelaku kejahatan jalanan seperti penjambretan dan pembegalan yang kerap beraksi di wilayah Jakarta Selatan.
Dalam operasinya, polisi melakukan pemetaan bagaimana modus kejahatan yang dilakukan, kapan mereka beraksi, termasuk memetakan lokasi-lokasi yang dianggap rawan serta melakukan patroli di titik rawan tersebut. “Kami sudah membentuk tim satgas antibegal dan jambret di Jakarta Selatan," ujar Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Budi Sartono, seperti dilansir Sindonews.com.
Tak hanya di Jakarta, kepolisian wilayah lain juga sudah bersiaga membendung kejahatan ini. Bahkan, Polres Kota Tangerang sudah membentuk satgas khusus bernama Macan Putih. Kendati polisi sudah sangat agresif menangani aksi penjambretan , tanggung jawab keamanan tentu bukan menjadi ranah kepolisian saja, juga menjadi tanggung jawab seluruh unsur lapisan masyarakat. Agar terhindar dari kejahatan jalanan, masyarakat perlu aktif melakukan upaya untuk membentengi diri.
Peran Korban dalam Perspektif Viktimologi
Faktanya, kejahatan jalanan yang terjadi di area publik tidak muncul dengan sendirinya. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya aksi kriminalitas tersebut. Bukan semata-mata dipicu dari adanya motivasi si pelaku tetapi juga bisa berasal dari korban yang menciptakan dorongan atau peluang tertentu sehingga terjadi kejahatan. (Baca juga: Penanganan Terkini Kanker Usus Besar)
Benjamin Mendelsohn, salah satu kriminolog yang membuat tipologi korban, dan berupaya menjelaskan sampai sejauh mana peran korban dalam memunculkan aksi kejahatan. Salah satu tipologi hasil bentukannya adalah innocent victim, yaitu posisi seseorang yang tidak memiliki kontribusi pada terjadinya viktimisasi. Orang tersebut menjadi korban karena berada di tempat yang salah dan pada waktu yang salah. Orang sering mengistilahkan kondisi ini dengan sebutan “apes” atau faktor kesialan semata.
Selain innocent victim, Mendelsohn juga memperkenalkan tipologi korban the victim with minor guilt, yaitu situasi korban tidak berpartisipasi secara aktif dalam viktimisasi tetapi berkontribusi dalam tingkat tertentu. Partisipasi ini dilakukan melalui sejumlah aktivitas yang bisa memancing atau membuka peluang terjadinya kejahatan, seperti melewati wilayah rawan kejahatan.
Selain Mendelsohn, Schafer juga membuat tipologi korban berdasarkan peran. Salah satu konsep yang sering digunakan adalah precipitative victims. Konsep ini menjelaskan bahwa seseorang bisa menjadi korban karena melakukan hal-hal yang menyebabkan pelaku kejahatan terdorong untuk melakukan aksinya. Dalam konteks kejahatan jambret, aksi itu bisa muncul, salah satunya karena terdorong dari perilaku atau aktivitas korban saat berada di tempat umum. (Baca juga: Nyali KPK Terapkan Hukuman Mati di Kasus Tipikor Diuji)
Dalam kehidupan, setiap orang pasti memiliki gaya atau kebiasaan tertentu dalam sebuah konteks tertentu pula. Terkadang, seseorang sering tidak menyadari aktivitas yang mereka lakukan dapat menimbulkan peluang, dan menjadikan seseorang tersebut sebagai korban kejahatan menjadi lebih besar. Sebut saja salah satunya aktivitas atau kebiasaan saat berada di area publik, seperti jalan raya atau di tempat menunggu angkutan umum.
Litbang SINDO pernah mengadakan survei terhadap 400 responden untuk mengetahui aktivitas apa yang dilakukan saat menunggu kendaraan umum di tempat publik, seperti halte, stasiun, atau bandara. Mayoritas responden menjawab aktivitas yang dilakukan adalah melakukan chat via gadget, mendengarkan musik dengan menggunakan earphone atau headphone, serta menonton film secara streaming. Bahkan, ada juga responden yang memilih untuk tidur saat menunggu jadwal keberangkatan angkutan.
Semua aktivitas tersebut memang ampuh untuk membunuh waktu. Namun, jika ditilik secara kriminologis, seluruh aktivitas tersebut menciptakan potensi seseorang untuk menjadi korban kejahatan menjadi besar. Korban akan terfokus pada satu kegiatan yang pada akhirnya menurunkan tingkat kewaspadaan atas situasi yang terjadi di sekitarnya. Korban tidak menyadari adanya kemungkinan orang jahat yang membuntuti dan mengincar barang-barang yang dimilikinya. Hal ini persis seperti yang terjadi pada aksi penjambretan di daerah Grogol pada Oktober 2020 lalu. Pelaku dengan mudah menggasak handphone milik korban, yang pada saat kejadian korban tengah asyik bermain game online. (Lihat videonya: Tim Satgas Tinombala Memburu Kelompok MIT)
Beberapa pemberitaan juga kerap mengisahkan berbagai aksi penjambretan yang terjadi akibat perilaku korban yang “mengundang”. Seperti bermain ponsel saat berkendara di jalan raya atau tempat sepi dan gelap, menggunakan perhiasan berlebihan atau meletakkan handphone atau benda-benda berharga lainnya di tempat yang terbuka dan tidak terlindung (semisal di saku celana).
Adanya pemahaman yang baik tentang peran korban dalam aksi kejahatan, diharapkan masyarakat bisa lebih waspada dalam mengantisipasinya. Dengan demikian, angka viktimisasi dalam konteks kejahatan jalanan seperti jambret bisa berkurang dan masyarakat pun bisa hidup tenang.
(ysw)