2 Hakim yang Sidangkan Perkara AG Mantan Kekasih Mario Dandy Dilaporkan ke Komisi Yudisial

Kamis, 25 Mei 2023 - 19:04 WIB
loading...
2 Hakim yang Sidangkan Perkara AG Mantan Kekasih Mario Dandy Dilaporkan ke Komisi Yudisial
Dua hakim tunggal yang menyidangkan perkara AG (15) mantan kekasih Mario Dandy Satriyo dalam kasus penganiayaan terhadap D dilaporkan ke KY dan Bawas Mahkamah Agung. Foto/MPI/Dok
A A A
JAKARTA - Dua hakim tunggal yang menyidangkan perkara AG (15) mantan kekasih Mario Dandy Satriyo dalam kasus penganiayaan terhadap D dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA). Kedua hakim diduga melakukan pelanggaran kode etik dalam mengadili kasus perempuan di bawah umur tersebut.

Dua hakim yang dilaporkan Koalisi Anti-Kekerasan Berbasis Gender terhadap Anak Perempuan (Koalisi AG-AP) yakni, Sri Wahyuni Batubara dari PN Jakarta Selatan dan Budi Hapsari dari PT DKI Jakarta.

Peneliti dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Aisyah Assyifa mengatakan, Sri Wahyuni Batubara dinilai tidak melakukan pemeriksaan secara berimbang. Di mana, Sri Wahyuni menolak memutarkan video CCTV di ruang sidang saat mengadili AG.

"Video CCTV tersebut memuat bukti yang berlainan dengan klaim terkait fakta oleh Hakim dalam putusan," kata Aisyah pada Kamis (25/5/2023).

Tak itu saja, Sri Wahyuni juga dinilai tidak memutus perkara berdasarkan fakta di persidangan. "Hakim memilih dan berperilaku sudah berposisi melihat terdakwa bersalah dengan pemilihan fakta," ujarnya.

Kemudian, Sri Wahyuni juga tidak melakukan pemeriksaan sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum Terkait Latar Belakang Seksual Anak.

Sri Wahyuni dinilai tidak mempertimbangkan fakta yang menunjukkan bahwa anak berhubungan seksual dengan orang dewasa sebanyak lima kali.

"Bahwa riwayat hubungan seksual yang harusnya merupakan perbuatan pidana malah digunakan hakim untuk menyatakan anak tidak memiliki trauma tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut," ujarnya.

Aisyah menuturkan, Sri Wahyuni dinilai tidak memperhatikan laporan penelitian kemasyarakatan yang merupakan hal wajib dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

"Bahwa putusan hakim kami duga berdasarkan pada keinginan untuk menghukum anak, tidak untuk kepentingan terbaik anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA," tuturnya.

Terakhir, lanjut Aisyah, ini merupakan pelanggaran yang paling berat dilakukan hakim di mana, Sri Wahyuni tidak memberikan cukup waktu untuk pembelaan anak, sebagaimana merupakan prinsip dasar dalam KUHAP dan UU SPPA.

Sri Wahyuni dinilai tidak proporsional dan memberikan kesempatan pembuktian yang sama antara anak dengan Jaksa. Berdasarkan data dari kuasa hukum AG, hakim hanya memberikan waktu kepada pendamping hukum untuk menghadirkan saksi dan ahli selama 2 jam 30 menit 18.30 WIB sampai dengan 21.00 WIB.

"Tapi memberikan JPU waktu selama hampir 2 hari kerja untuk menghadirkan saksi dan ahli," jelasnya.


Kemudian, Budi Hapsari dari PT DKI Jakarta dilaporkan karena dinilai tidak melakukan pemeriksaan yang cermat dan adil terhadap perkara Anak. "Bahwa seluruh berkas persidangan anak dari PN Jakarta Selatan dalam kasus aquo baru dikirimkan ke PT DKI Jakarta pada 26 April 2023," ujarnya.

"Pada hari yang sama, Hakim Tunggal PT DKI Jakarta baru ditunjuk oleh PT DKI Jakarta. Kurang dari 24 jam yaitu, pada 27 April 2023, Hakim Tunggal PT DKI Jakarta mengeluarkan putusan yang isinya memperkuat putusan tingkat pertama yang menghukum penjara Anak," sambungnya.

Kemudian, perkara itu diputus kurang dari 24 jam telah mengakibatkan putusan terburu-buru. Hal itu mengakibatkan putusan banding anak tidak memeriksa seluruh bukti, termasuk CCTV yang menunjukkan fakta berbeda antara putusan dengan alat bukti CCTV.

"Hakim tunggal PT juga tidak melakukan koreksi terhadap beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh hakim tunggal PN Jakarta Selatan," ucapnya.

Aisyah mengungkapkan, hal itu terkait dengan pelanggaran Perma 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Pembuktian dan pemeriksaan alat bukti yang tidak berimbang, sampai dengan perbuatan pidana berhubungan seksual dengan anak oleh orang dewasa yang seharusnya menjadi dasar kerentanan anak.

"Bahwa hakim tunggal PT juga tidak memeriksa perkara berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak sebagaimana menjadi dasar dalam UU SPPA. Hakim tunggal PT DKI Jakarta juga tidak mempertimbangkan secara cerma rekomendasi dari Litmas dalam kasus Anak," jelasnya.

Berdasarkan dugaan tersebut pihaknya meminta KY dan Bawas MA segera memeriksa kedua hakim tersebut untuk terciptanya peradilan pidana yang agung.

"Bahwa perbuatan kedua hakim yang kami duga melanggar kode etik dan perilaku hakim ini dapat menjadi contoh buruk terhadap proses mengadili kasus-kasus yang melibatkan kelompok rentan seperti anak perempuan AG dalam kasus ini," ucapnya.

(hab)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2537 seconds (0.1#10.140)