Metamorfosis Jakarta, Berawal dari Pesisir dan Upaya Meninggalkan Corak Kolonial (1)

Kamis, 11 November 2021 - 05:49 WIB
“Di Ternate dan Tidore, Belanda menghadapi perlawanan sengit. Kalau mikir-mikir lagi kawasan Jawa, ada kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram juga dipimpin oleh Sultan yang hebat, Sultan Agung. Ketika Belanda memilih Jakarta itu penting dan strategis secara politik. Tidak merupakan bagian dari kerajaan manapun,” tuturnya.

baca juga: Di Era Gubernur DKI Jakarta Ini Monas dan Patung Selamat Datang Dibangun

Humaidi memaparkan dalam beberapa referensi, saat Belanda menyerang Jayakarta seperti terjadi pembiaran dari Kesultanan Banten. Ada indikasi Banten khawatir Jayakarta menjadi rival dalam perdagangan. Kenyataannya, setelah dipegang Belanda, Batavia malah makin tersohor dan Sunda Kelapa menjadi pelabuhan yang sibuk.

Perkembangan kota pada waktu berbeda dengan sekarang. Saat itu, Utara Jakarta jauh lebih maju dibandingkan wilayah tengah (pusat)-selatan. Hal itu tidak lepas dari pusat perdagangan yang berada di pinggir Jakarta. Teluk Jakarta pun landai dan dilindungi banyak pulau. Para pedagang yang masuk dari laut pun merasa nyaman untuk berlabuh.



Galangan VOC, Peninggalan Monumental Era Kolonial yang Mulai Terlupakan

“Mungkin perkembangan pertama di kawasan utara, sekitar Pasar Ikan dan Kota Tua. Itu posisi awalnya dan ekonomi di situ. Kalau kita lihat Jayakarta sebagai lanjutan Sunda Kelapa posisinya sekitar Kota Tua, di antara sungai-sungai di sekitar Museum Fatahillah. Kemudian melebar ke arah Selatan, Ketika wilayah Utara terlalu penuh, padat, dan risiko penyakit, Malaria,” tutur Humaidi, yang kini menjabat Kaprodi Pendidikan Sejarah UNJ.

baca juga: Momen Langka, Kawasan Monas seperti Puncak Dingin dan Berkabut

Sampai hari ini, bukti-bukti beragam bangsa dan suku pernah berdagang di Jakarta masih ada. Hal itu bisa dilihat dari Kampung Tugu yang banyak dihuni keturunan Portugis. Lalu, ada Pekojan yang awal banyak dihuni orang India, kemudian orang-orang Arab pun bermukim di situ. Di utara pun banyak pemukiman etnis Tionghoa.

“Banyak sekali etnis di Jakarta. Ada kampung Bali, Bugis, Makassar, dan Ambon. Itu menunjukkan semua bangsa ada di Indonesia. Titik temunya di Jakarta. Tentunya, Jakarta menjadi heteropolis, besar. Istilahnya sangat toleran dengan kedatangan banyak suku bangsa,” tekannya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More