Berpotensi Bikin Tarif Listrik Naik, Pengamat: Aturan EBT Tak Adil
Rabu, 21 Juli 2021 - 15:57 WIB
Terkait EBT, hal lain yang disoroti Marwan adalah upaya mengubah klausul di Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 khususnya terkait biaya ekspor energi PLTS IPP mikro ke PLN. Dalam permen itu ditetapkan, nilai transaksi ekspor 1:0,65 di mana 1 untuk harga listrik PLN dan 0,65 untuk komponen biaya PLTS IPP mikro. Sejumlah pihak dengan alasan mendorong percepatan pengembalian investasi meminta ketentuan diubah menjadi 1:1.
“Kalau seperti itu (porsi 1:1) jadinya orang tidak punya PLTS menyubsidi orang yang punya PLTS. Tidak adil. Kalau membangun energi bersih, jangan dipakai untuk mencari keuntungan. Apakah gardu listrik, (jaringan) transmisi PLN tidak dihargai? Masa (aset) PLN hanya numpang lewat saja,” ungkap Marwan.
Dia mengingatkan upaya mengubah klausul dalam Permen ESDM 49/2018 hanyalah demi kepentingan bisnis. Upaya itu tidak didorong keinginan pelestarian lingkungan. Upaya itu juga bisa menekan usaha memeratakan penyediaan kelistrikan.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengaku prihatin dengan sejumlah klausul dalam RUU EBT dan aneka aturan lain soal EBT. Dengan aturan sekarang dan nanti ditambah RUU EBT, subsidi bisa bertambah sampai Rp1,5 triliun untuk setiap 1 GW PLTS IPP yang dimasukkan ke sistem.
Baca juga: Pengamat: RUU EBT Harus Mendorong Kemandirian Energi Nasional
“Hal ini disebabkan dengan kewajiban PLN membeli energi listrik dari PV Rooftop maka akan menaikkan biaya pokok produksi sebesar Rp7/kwh dan akan terus meningkat seiring peningkatan kapasitas PV Rooftop,” ujarnya.
Kenaikan BPP otomatis meningkatkan subsidi dan kompensasi. Jika tarif untuk pelanggan subsidi, maka pemerintah akan mensubsidi tarif listrik tersebut. Untuk pelanggan yang non subsidi tetapi tidak ada tarif adjustment, maka pemerintah harus memberikan dana kompensasi kepada PLN. Jika dinaikkan maka akan memberatkan masyarakat. Padahal, kondisi saat ini pelanggan yang disubsidi hanya 25% dan yang non subsidi sebanyak 75% dari total pelanggan PLN. “Hal ini akan sangat memberatkan bagi PLN maupun pemerintah,” katanya.
Dalam Peraturan Menteri ESDM No 49/2018 tentang skema transaksi PLTS Atap ada aturan nilai transaksi ekspor energi dari PLTS atap pelanggan ke PLN akan dinaikkan menjadi 100% dari sebelumnya 65%.
“Aturan itu tidak adil bagi BUMN yang berpuluh tahun ditugasi negara menyediakan layanan kelistrikan. Listrik PLTS intermittent atau tidak bisa terus menerus sehingga harus disediakan cadangan oleh PLN. PLN juga sudah dan harus terus membangun dan merawat jaringan transmisi dan distribusi. Hal yang tidak dilakukan pemilik PLTS. Tidak adil kalau nilai transaksinya 1:1,” ujar Mamit seraya menekankan pentingnya mempertimbangkan faktor pembangunan dan perawatan jaringan distribusi dan transmisi serta sarana penunjang layanan kelistrikan lainnya.
“Kalau seperti itu (porsi 1:1) jadinya orang tidak punya PLTS menyubsidi orang yang punya PLTS. Tidak adil. Kalau membangun energi bersih, jangan dipakai untuk mencari keuntungan. Apakah gardu listrik, (jaringan) transmisi PLN tidak dihargai? Masa (aset) PLN hanya numpang lewat saja,” ungkap Marwan.
Dia mengingatkan upaya mengubah klausul dalam Permen ESDM 49/2018 hanyalah demi kepentingan bisnis. Upaya itu tidak didorong keinginan pelestarian lingkungan. Upaya itu juga bisa menekan usaha memeratakan penyediaan kelistrikan.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengaku prihatin dengan sejumlah klausul dalam RUU EBT dan aneka aturan lain soal EBT. Dengan aturan sekarang dan nanti ditambah RUU EBT, subsidi bisa bertambah sampai Rp1,5 triliun untuk setiap 1 GW PLTS IPP yang dimasukkan ke sistem.
Baca juga: Pengamat: RUU EBT Harus Mendorong Kemandirian Energi Nasional
“Hal ini disebabkan dengan kewajiban PLN membeli energi listrik dari PV Rooftop maka akan menaikkan biaya pokok produksi sebesar Rp7/kwh dan akan terus meningkat seiring peningkatan kapasitas PV Rooftop,” ujarnya.
Kenaikan BPP otomatis meningkatkan subsidi dan kompensasi. Jika tarif untuk pelanggan subsidi, maka pemerintah akan mensubsidi tarif listrik tersebut. Untuk pelanggan yang non subsidi tetapi tidak ada tarif adjustment, maka pemerintah harus memberikan dana kompensasi kepada PLN. Jika dinaikkan maka akan memberatkan masyarakat. Padahal, kondisi saat ini pelanggan yang disubsidi hanya 25% dan yang non subsidi sebanyak 75% dari total pelanggan PLN. “Hal ini akan sangat memberatkan bagi PLN maupun pemerintah,” katanya.
Dalam Peraturan Menteri ESDM No 49/2018 tentang skema transaksi PLTS Atap ada aturan nilai transaksi ekspor energi dari PLTS atap pelanggan ke PLN akan dinaikkan menjadi 100% dari sebelumnya 65%.
“Aturan itu tidak adil bagi BUMN yang berpuluh tahun ditugasi negara menyediakan layanan kelistrikan. Listrik PLTS intermittent atau tidak bisa terus menerus sehingga harus disediakan cadangan oleh PLN. PLN juga sudah dan harus terus membangun dan merawat jaringan transmisi dan distribusi. Hal yang tidak dilakukan pemilik PLTS. Tidak adil kalau nilai transaksinya 1:1,” ujar Mamit seraya menekankan pentingnya mempertimbangkan faktor pembangunan dan perawatan jaringan distribusi dan transmisi serta sarana penunjang layanan kelistrikan lainnya.
(jon)
tulis komentar anda