Berpotensi Bikin Tarif Listrik Naik, Pengamat: Aturan EBT Tak Adil
Rabu, 21 Juli 2021 - 15:57 WIB
JAKARTA - Sejumlah klausul dalam aturan dan rancangan aturan energi baru terbarukan dinilai tidak adil bagi masyarakat dan PLN . Pemerintah perlu memastikan setiap investor kelistrikan ikut menanggung risiko usaha dan jangan ditimpakan ke negara melalui PLN saja.
Direktur Eksekutif Indonesias Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, fenomena menimpakan risiko usaha kelistrikan pada negara tercermin dari kebijakan take or pay. Dalam mekanisme itu, negara melalui PLN harus membayar penyedia listrik swasta (IPP) sesuai kontrak meski dayanya tidak terpakai.
“Investor itu menjadi seolah-olah tidak ikut menanggung potensi kerugian padahal bisnis kan ada untung ada rugi,” ujarnya di Jakarta, Senin (19/7/2021).
Baca juga: Tiga BUMN Ini Bersinergi Amankan Pasokan Biomassa Dukung Target EBT 23%
Mekanisme ToP memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN, untung atau rugi harus ditanggung. Karena itu, mekanisme tersebut tidak bisa diterima.
“Kalau PLN bermasalah bisa bangkrut, dikuasai asing atau swasta. Bagi pelanggan itu listrik bisa mahal. Kalaupun PLN tidak bangkrut maka PLN harus menaikkan biaya pokok tarif,” kata Marwan.
Sayangnya, mekanisme itu sudah berlaku dalam penyediaan listrik oleh PLTU dari IPP. Dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (EBT) yang tengah dibahas di DPR, mekanisme sejenis akan diterapkan. Dalam RUU itu ditetapkan bahwa PLN wajib membeli berapa pun daya yang disediakan IPP EBT swasta. Kewajiban itu tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak.
Marwan mengingatkan sekarang PLN sedang kelebihan daya. Dampak berat ToP paling terasa paling tidak sejak 2019. Konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi semakin turun. Sekarang cadangan daya sudah di atas 35 persen dari idealnya 30 persen.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan, listrik yang dihasilkan EBT ini harganya masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan oleh batu bara. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat.
Direktur Eksekutif Indonesias Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, fenomena menimpakan risiko usaha kelistrikan pada negara tercermin dari kebijakan take or pay. Dalam mekanisme itu, negara melalui PLN harus membayar penyedia listrik swasta (IPP) sesuai kontrak meski dayanya tidak terpakai.
“Investor itu menjadi seolah-olah tidak ikut menanggung potensi kerugian padahal bisnis kan ada untung ada rugi,” ujarnya di Jakarta, Senin (19/7/2021).
Baca juga: Tiga BUMN Ini Bersinergi Amankan Pasokan Biomassa Dukung Target EBT 23%
Mekanisme ToP memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN, untung atau rugi harus ditanggung. Karena itu, mekanisme tersebut tidak bisa diterima.
“Kalau PLN bermasalah bisa bangkrut, dikuasai asing atau swasta. Bagi pelanggan itu listrik bisa mahal. Kalaupun PLN tidak bangkrut maka PLN harus menaikkan biaya pokok tarif,” kata Marwan.
Sayangnya, mekanisme itu sudah berlaku dalam penyediaan listrik oleh PLTU dari IPP. Dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (EBT) yang tengah dibahas di DPR, mekanisme sejenis akan diterapkan. Dalam RUU itu ditetapkan bahwa PLN wajib membeli berapa pun daya yang disediakan IPP EBT swasta. Kewajiban itu tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak.
Marwan mengingatkan sekarang PLN sedang kelebihan daya. Dampak berat ToP paling terasa paling tidak sejak 2019. Konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi semakin turun. Sekarang cadangan daya sudah di atas 35 persen dari idealnya 30 persen.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan, listrik yang dihasilkan EBT ini harganya masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan oleh batu bara. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat.
tulis komentar anda