Benteng Bastion Frederik Hendrik: Simbol Kolonial yang Diruntuhkan Bung Karno
Jum'at, 16 April 2021 - 06:01 WIB
Pada masanya, Benteng Frederik Hendrik sepanjang siang dan malam selalu dijaga tentara VOC. Setiap pukul 05.00 pagi dan pukul 20.00 malam, selalu terdengar tembakan meriam. Itu sebagai tanda bagi kalangan tentara dan pemimpin militer agar selalu siap dan terjaga.
Keangkeran Benteng Fredrik Hendrik pundar setelah Republik Indonesia merdeka pada 1945. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederik Hendrik dipenuhi lumut dan rumput ilalang. Bahkan pada awal 1950-an Taman Wilhelmina yang indah berubah menjadi tak terawat dan sangat kotor.
Pada 26 November 1954, atas usulan Presiden Soekarno Pemerintah Kota Jakarta mulai membongkar kompleks Benteng Fredrik Hendrik untuk dibangun masjid Istiqlal. Ada alasan politis dan historis terkait pemilihan lokasi pembangunan Masjid Istiqlal yang dipilih Bung Karno di bekas bangunan Benteng Frederik Hendrik yang berada di Taman Wilhelmina.
Secara politis bangunan benteng tersebut merupakan lambang penjajah dan dari nilai sejarah tempat itu merupakan taman persembahan untuk Ratu Wilhelmina nenek dari Ratu Beatrix. Apalagi Benteng Frederik Hendrik di masa lampau merupakan monumen kolonial.
Bung Karno ingin menunjukkan satu simbol dari Masjid Istiqlal yang menggambarkan kekuatan Umat Islam di Indonesia. Apalagi nama Istiqlal yang berasal dari bahasa Arab mempunyai arti sepadan dengan kata Kemerdekaan. (Baca juga; Istana Gebang, Rumah Masa Kecil Bung Karno di Blitar yang Penuh Kenangan )
“Keinginan saya, dan juga komunitas Islam di sini, adalah mendirikan sebuah masjid jami yang lebih besar daripada masjid Mohammad Ali di Kairo, lebih besar daripada masjid Salim di Damaskus. Lebih besar! Kenapa? Karena kita adalah bangsa yang besar!” kata Bung Karno dalam Buku "Masa lalu dalam masa kini: Arsitektur Indonesia” PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009.
Menurut Buku Saudagar Baghdad dari Betawi, ketika penghancuran benteng ditemukan terowongan bawah tanah dari beton. Posisi terowongan mulai dari pintu air samping kiri halaman Masjid Istiqlal sekarang atau dekat gardu satpam membentang sampai benteng VOC di Pasar Ikan sepanjang 12 Km.
Selain itu ada satu terowongan lagi yang ditemukan di depan gedung Pertamina sekarang ke arah Selatan atau Berland di Matraman, Jakarta Timur. Sejarahnya, Berland adalah tempat konsentrasi militer Belanda setelah Batavia pindah ke Weltervreden.
Untuk membongkar benteng yang memiliki terowongan bawah tanah berdinding beton yang kokoh memakan waktu hampir satu setengah tahun. Dalam proses penghancuran tersebut pemerintah mengerahkan personel Zeni Angkatan Darat dengan menggunakan dinamit. Pemilik toko es Krim Ragusa yang berada di seberang Masjid Istiqlal dalam buku Alwi Shahab menceritakan dampak ledakan dinamit banyak kaca-kaca retak.
Situasi ekonomi yang tidak mendukung proyek fantastis itu, Bung Karno akhirnya memilih mendahulukan pembangunan Monumen Nasional (Monas) daripada Masjid Istiqlal. Bung Karno beralasan, pembangunan masjid akan tetap berjalan meskipun beliau sudah tidak ada, sedangkan Monas akan terbengkalai jika dia sudah tidak ada.
Keangkeran Benteng Fredrik Hendrik pundar setelah Republik Indonesia merdeka pada 1945. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederik Hendrik dipenuhi lumut dan rumput ilalang. Bahkan pada awal 1950-an Taman Wilhelmina yang indah berubah menjadi tak terawat dan sangat kotor.
Pada 26 November 1954, atas usulan Presiden Soekarno Pemerintah Kota Jakarta mulai membongkar kompleks Benteng Fredrik Hendrik untuk dibangun masjid Istiqlal. Ada alasan politis dan historis terkait pemilihan lokasi pembangunan Masjid Istiqlal yang dipilih Bung Karno di bekas bangunan Benteng Frederik Hendrik yang berada di Taman Wilhelmina.
Secara politis bangunan benteng tersebut merupakan lambang penjajah dan dari nilai sejarah tempat itu merupakan taman persembahan untuk Ratu Wilhelmina nenek dari Ratu Beatrix. Apalagi Benteng Frederik Hendrik di masa lampau merupakan monumen kolonial.
Bung Karno ingin menunjukkan satu simbol dari Masjid Istiqlal yang menggambarkan kekuatan Umat Islam di Indonesia. Apalagi nama Istiqlal yang berasal dari bahasa Arab mempunyai arti sepadan dengan kata Kemerdekaan. (Baca juga; Istana Gebang, Rumah Masa Kecil Bung Karno di Blitar yang Penuh Kenangan )
“Keinginan saya, dan juga komunitas Islam di sini, adalah mendirikan sebuah masjid jami yang lebih besar daripada masjid Mohammad Ali di Kairo, lebih besar daripada masjid Salim di Damaskus. Lebih besar! Kenapa? Karena kita adalah bangsa yang besar!” kata Bung Karno dalam Buku "Masa lalu dalam masa kini: Arsitektur Indonesia” PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009.
Menurut Buku Saudagar Baghdad dari Betawi, ketika penghancuran benteng ditemukan terowongan bawah tanah dari beton. Posisi terowongan mulai dari pintu air samping kiri halaman Masjid Istiqlal sekarang atau dekat gardu satpam membentang sampai benteng VOC di Pasar Ikan sepanjang 12 Km.
Selain itu ada satu terowongan lagi yang ditemukan di depan gedung Pertamina sekarang ke arah Selatan atau Berland di Matraman, Jakarta Timur. Sejarahnya, Berland adalah tempat konsentrasi militer Belanda setelah Batavia pindah ke Weltervreden.
Untuk membongkar benteng yang memiliki terowongan bawah tanah berdinding beton yang kokoh memakan waktu hampir satu setengah tahun. Dalam proses penghancuran tersebut pemerintah mengerahkan personel Zeni Angkatan Darat dengan menggunakan dinamit. Pemilik toko es Krim Ragusa yang berada di seberang Masjid Istiqlal dalam buku Alwi Shahab menceritakan dampak ledakan dinamit banyak kaca-kaca retak.
Situasi ekonomi yang tidak mendukung proyek fantastis itu, Bung Karno akhirnya memilih mendahulukan pembangunan Monumen Nasional (Monas) daripada Masjid Istiqlal. Bung Karno beralasan, pembangunan masjid akan tetap berjalan meskipun beliau sudah tidak ada, sedangkan Monas akan terbengkalai jika dia sudah tidak ada.
tulis komentar anda