Begal Remaja Marak di Ibu Kota, Kegagalan Atasi Dampak Pandemi?
Senin, 03 Agustus 2020 - 07:35 WIB
Pandemi Ciptakan Frustrasi
Keterlibatan anak dan remaja dalam kasus pembegalan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Dalam situasi pandemi, sejumlah faktor tersebut bisa semakin menguat sehingga remaja pun kian terdorong untuk melakukan aksi kejahatan, salah satunya aksi pembegalan. Harper & Kelly (2017) dalam buku Toward A Criminology of Disastermenyatakan situasi bencana bisa menciptakan kondisi stres kolektif akibat kegagalan anggota sistem sosial dalam menerima kondisi kehidupan yang tidak diharapkan. Bisa terkait dengan aspek keselamatan fisik, kenyamanan lingkungan, serta ancaman hilangnya pendapatan.
Semisal pada masa pandemi ini, banyak keluarga yang terlilit persoalan ekonomi karena sang kepala keluarga mengalami PHK. Bahkan tak jarang, situasi tersebut berakibat pada terhentinya masa studi anak atau remaja. Kalaupun studi masih bisa berlanjut, sejumlah masalah pun masih akan membayangi, mulai persoalan perangkat online learning yang tidak memadai, sampai tugas-tugas yang menumpuk.
Belum lagi terkadang anak dan remaja juga harus ikut memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Persoalannya, mereka tidak bisa mengatasi semua persoalan tersebut karena terhadang oleh sejumlah limitasi. Hal inilah yang kemudian bisa berujung pada munculnya rasa frustrasi.
Sebagai konsekuensi, anak dan remaja pun mencoba “menyelamatkan diri” dari situasi ini, yang salah satu caranya adalah dengan membentuk geng bersama remaja lain yang senasib. Geng ini kemudian melakukan sejumlah aktivitas yang bisa saja mengarah pada tindakan negatif. (Baca juga: Viral, Aksi Begal Bersenjata Tajam Terekam CCTV di Rorotan)
Dalam dua contoh kasus di atas, pelaku begal mengaku melakukan aksi begal karena dilatarbelakangi keinginan untuk membeli obat-obatan terlarang dan minuman keras untuk kemudian dinikmati bersama-sama dengan anggota gengnya.
Dalam Teori Differential Opportunity milik Cloward dan Ohlin (1959), hal ini merupakan salah satu ciri reatreatist subculture, yaitu bentuk geng yang mencoba mencari pelarian dengan menyalahgunakan obat atau narkotika atau sejenisnya.
Dalam dua kasus sebelumnya, juga terlihat bahwa pelaku begal seolah tidak mengutamakan nilai material dari aksi kejahatannya. Mereka menjual barang curiannya dengan harga yang sangat jauh dari nilai barang seharusnya. Yang terpenting, bagi mereka adalah bagaimana cara menjual barang rampasan itu secara cepat.
Dengan demikian, mereka dapat segera memenuhi misi utama mereka yaitu mengonsumsi obat-obatan dan minuman keras sebagai sarana pelarian. Namun persoalannya lagi, mereka juga memiliki keterbatasan “modal” untuk memenuhi kebutuhan tersebut sehingga muncullah keinginan untuk melakukan perilaku menyimpang (juvenile delinquency) melalui aksi begal. (Baca juga: Hindarilah Telanjang, Ada MAlaikat yang Selalu Bersama Kita)
Jika merujuk pada Teori Differential Opportunity milik Cloward dan Ohlin (1959), dalam meraih tujuan, individu selalu berhadapan dengan dua struktur kesempatan, yakni yang dilegitimasi dan tidak dilegitimasi. Dalam Differential Opportunity System, delinkuensi terjadi apabila terdapat kesenjangan antara tujuan remaja golongan bawah dan kesempatan-kesempatan yang terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan ini dengan cara-cara yang legal. Sementara di sisi lain, ada pintu kesempatan lain yang terbuka yaitu struktur kesempatan tidak sah (illegitimate opportunity structure).
Keterlibatan anak dan remaja dalam kasus pembegalan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Dalam situasi pandemi, sejumlah faktor tersebut bisa semakin menguat sehingga remaja pun kian terdorong untuk melakukan aksi kejahatan, salah satunya aksi pembegalan. Harper & Kelly (2017) dalam buku Toward A Criminology of Disastermenyatakan situasi bencana bisa menciptakan kondisi stres kolektif akibat kegagalan anggota sistem sosial dalam menerima kondisi kehidupan yang tidak diharapkan. Bisa terkait dengan aspek keselamatan fisik, kenyamanan lingkungan, serta ancaman hilangnya pendapatan.
Semisal pada masa pandemi ini, banyak keluarga yang terlilit persoalan ekonomi karena sang kepala keluarga mengalami PHK. Bahkan tak jarang, situasi tersebut berakibat pada terhentinya masa studi anak atau remaja. Kalaupun studi masih bisa berlanjut, sejumlah masalah pun masih akan membayangi, mulai persoalan perangkat online learning yang tidak memadai, sampai tugas-tugas yang menumpuk.
Belum lagi terkadang anak dan remaja juga harus ikut memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Persoalannya, mereka tidak bisa mengatasi semua persoalan tersebut karena terhadang oleh sejumlah limitasi. Hal inilah yang kemudian bisa berujung pada munculnya rasa frustrasi.
Sebagai konsekuensi, anak dan remaja pun mencoba “menyelamatkan diri” dari situasi ini, yang salah satu caranya adalah dengan membentuk geng bersama remaja lain yang senasib. Geng ini kemudian melakukan sejumlah aktivitas yang bisa saja mengarah pada tindakan negatif. (Baca juga: Viral, Aksi Begal Bersenjata Tajam Terekam CCTV di Rorotan)
Dalam dua contoh kasus di atas, pelaku begal mengaku melakukan aksi begal karena dilatarbelakangi keinginan untuk membeli obat-obatan terlarang dan minuman keras untuk kemudian dinikmati bersama-sama dengan anggota gengnya.
Dalam Teori Differential Opportunity milik Cloward dan Ohlin (1959), hal ini merupakan salah satu ciri reatreatist subculture, yaitu bentuk geng yang mencoba mencari pelarian dengan menyalahgunakan obat atau narkotika atau sejenisnya.
Dalam dua kasus sebelumnya, juga terlihat bahwa pelaku begal seolah tidak mengutamakan nilai material dari aksi kejahatannya. Mereka menjual barang curiannya dengan harga yang sangat jauh dari nilai barang seharusnya. Yang terpenting, bagi mereka adalah bagaimana cara menjual barang rampasan itu secara cepat.
Dengan demikian, mereka dapat segera memenuhi misi utama mereka yaitu mengonsumsi obat-obatan dan minuman keras sebagai sarana pelarian. Namun persoalannya lagi, mereka juga memiliki keterbatasan “modal” untuk memenuhi kebutuhan tersebut sehingga muncullah keinginan untuk melakukan perilaku menyimpang (juvenile delinquency) melalui aksi begal. (Baca juga: Hindarilah Telanjang, Ada MAlaikat yang Selalu Bersama Kita)
Jika merujuk pada Teori Differential Opportunity milik Cloward dan Ohlin (1959), dalam meraih tujuan, individu selalu berhadapan dengan dua struktur kesempatan, yakni yang dilegitimasi dan tidak dilegitimasi. Dalam Differential Opportunity System, delinkuensi terjadi apabila terdapat kesenjangan antara tujuan remaja golongan bawah dan kesempatan-kesempatan yang terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan ini dengan cara-cara yang legal. Sementara di sisi lain, ada pintu kesempatan lain yang terbuka yaitu struktur kesempatan tidak sah (illegitimate opportunity structure).
tulis komentar anda