Revisi Pergub, DKI Permudah Kerja Sama Operator Existing
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta targetkan program OK Otrip dapat merangkul 1.000 unit armada existing Angkot kecil dan sedang dalam enam bulan ke depan. Sambil menunggu pengesahan kartu Ok otrip, DKI revisi Peraturan Gubernur (Pergub) untuk memudahkan kerja sama operator existing.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno mengaku sudah berbicara dengan Kepala Dinas Perhubungan, Andri yansyah untuk pengelolaan dan pengintegrasian Angkot kecil dan sedang ke dalam OK Otrip.
Berdasarkan hasil uji coba, kata Sandi, angkot OK Otrip kalau dijumlahkan masih terhitung puluhan atau ratusan. Dirinya ingin enam bulan ke depan ada langkah secara kongkret bagaimana merangkul teman-teman pengusaha dan aperator angkot.
"Kita targetkan 2.000 unit sampai akhir tahun. Paling tidak enam bulan kedepan sudah ada separuhnya. Tentunya harus butuh langkah yang lebih progresif dari pihak-pihak dan dinas-dinas terkait," kata Sandiaga di Balai Kota DKI Jakarta, kemarin.
Sandiaga menjelaskan, leading sektor OK Otrip berada di bawah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Transportasi Jakarta (TransJakarta). Namun, apabila OK Otrip tidak mendapatkan persetujuan dari operator angkot existing, OK Otrip tidak akan sukses.
"Saya minta ke Transjakarta dan Dinas Perhubungan untuk melihat yang mana yang angkot double dalam satu trayek dan yang mana yang bisa terima. Kita ingin pastikan juga lapangan kerja di setiap transportasi ini terakomodir," tegasnya.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Andri Yansyah menuturkan, untuk menindaklanjuti keinginan Wakil Gubernur Sandiaga Uno dan hasil pertemuan Gubernur Anies dengan pemilik Angkot, pihaknya sudah menginventarisis permasalahan belum maunya operator existing bergabung.
Hasilnya, kata Andry, ada beberapa pasal dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 17 Tahun 2015 tentang Pengadaan Jasa Layanan Umum Transportasi Jakarta. Revisi Pergub ini bertujuan mengakomodasi mekanisme kerjasama antara PT Transjakarta selaku leading sektor OK Otrip dengan Angkot. Menurutnya, Pergub 17/2015 hanya mengatur mekanisme kerjasama PT Transjakarta dengan operator bus besar. Artinya, angkot yang termasuk kategori bus kecil tidak terangkum di dalam klausul Pergub itu.
"Kita sedang revisi pasal-pasal yang mencakup syrat-syarat dengan para stakeholder terkait, khususnya para operator existing. Sehingga Transjakarta punya fleksibilitas kerjasama dengan operator existing," ungkapnya.
Andri menjelaskan, dalam Pergub Nomor 17 Tahun 2015 yang hanya mengakomodir syarat-syarat kerjasama bus besar dinilai tidak bisa disanggupi oleh operator bus sedang apalagi bus kecil yang jelas masuk kategori pengusaha kelas kecil dan menengah.
Misalnya saja dalam syarat kepemilikan modal, maintenace, gaji sopir yang harus disiapkan operator dalam satu bulan. Terpenting, revisi tersebut tidak membebankan pengusaha existing dan justru menjadikannya agar lebih exis. Sehingga, aturan yang membebani harus disesuaikan.
"Kami targetkan secepatnya. Apalagi Pak Wakil Gubenrur minta enam bulan sudah merangkul separuh target 2.000," ungkapnya.
Terkait tarif rupiah perkilometer yang juga menjadi alasan belum bergabungnya operator angkot existing dalam OK Otrip, Andry mengaku kenaikan tarif rupiah perkilometer Rp3,739 masih akan disesuaikan lagi dengan komponen-komponen yang dinilai operator belum mengakomodir. Berikut dengan jarak tempuh trayek.
"Nanti penghitungan tarif dan besarannya juga masuk dalam Pergub revisi tersebut. Kami yakin kalau dua kendala itu sudah selesai, operator akan ikut dan Ok Otrip berjalan lancar sesuai target," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Yuke Yurike meminta agar Pemprov DKI Jakarta menghitung kembali besaran subsidi angkot dalam program OK Otrip. Kemudian, kata dia, setelah itu sesuaikan dengan tarif yang berlaku dalam OK Otrip.
Artinya, lanjut Yuke, apabila ada perubahan tarif maksimal melebihi Rp5.000, masyarakat bisa mengerti dan tidak dianggap sebagai kebohongan janji kampanye.
"Saya melihat kendala utama OK Otrip terus bergelut pada tarif rupiah perkilometer. Terakhir saya dengan operator minta Rp4.000 tapi TransJakarta menaikan hanya Rp3,739. Apa karena tarif maksimal OK Otrip Rp5.000 jadi tidak bisa menyanggupi permintaan operator? Nah ini semua harus dibuka secara transparan agar kepercayaan masyarakat dalam menggunakan angkutan umum dapat dijaga," tuturnya.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno mengaku sudah berbicara dengan Kepala Dinas Perhubungan, Andri yansyah untuk pengelolaan dan pengintegrasian Angkot kecil dan sedang ke dalam OK Otrip.
Berdasarkan hasil uji coba, kata Sandi, angkot OK Otrip kalau dijumlahkan masih terhitung puluhan atau ratusan. Dirinya ingin enam bulan ke depan ada langkah secara kongkret bagaimana merangkul teman-teman pengusaha dan aperator angkot.
"Kita targetkan 2.000 unit sampai akhir tahun. Paling tidak enam bulan kedepan sudah ada separuhnya. Tentunya harus butuh langkah yang lebih progresif dari pihak-pihak dan dinas-dinas terkait," kata Sandiaga di Balai Kota DKI Jakarta, kemarin.
Sandiaga menjelaskan, leading sektor OK Otrip berada di bawah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Transportasi Jakarta (TransJakarta). Namun, apabila OK Otrip tidak mendapatkan persetujuan dari operator angkot existing, OK Otrip tidak akan sukses.
"Saya minta ke Transjakarta dan Dinas Perhubungan untuk melihat yang mana yang angkot double dalam satu trayek dan yang mana yang bisa terima. Kita ingin pastikan juga lapangan kerja di setiap transportasi ini terakomodir," tegasnya.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Andri Yansyah menuturkan, untuk menindaklanjuti keinginan Wakil Gubernur Sandiaga Uno dan hasil pertemuan Gubernur Anies dengan pemilik Angkot, pihaknya sudah menginventarisis permasalahan belum maunya operator existing bergabung.
Hasilnya, kata Andry, ada beberapa pasal dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 17 Tahun 2015 tentang Pengadaan Jasa Layanan Umum Transportasi Jakarta. Revisi Pergub ini bertujuan mengakomodasi mekanisme kerjasama antara PT Transjakarta selaku leading sektor OK Otrip dengan Angkot. Menurutnya, Pergub 17/2015 hanya mengatur mekanisme kerjasama PT Transjakarta dengan operator bus besar. Artinya, angkot yang termasuk kategori bus kecil tidak terangkum di dalam klausul Pergub itu.
"Kita sedang revisi pasal-pasal yang mencakup syrat-syarat dengan para stakeholder terkait, khususnya para operator existing. Sehingga Transjakarta punya fleksibilitas kerjasama dengan operator existing," ungkapnya.
Andri menjelaskan, dalam Pergub Nomor 17 Tahun 2015 yang hanya mengakomodir syarat-syarat kerjasama bus besar dinilai tidak bisa disanggupi oleh operator bus sedang apalagi bus kecil yang jelas masuk kategori pengusaha kelas kecil dan menengah.
Misalnya saja dalam syarat kepemilikan modal, maintenace, gaji sopir yang harus disiapkan operator dalam satu bulan. Terpenting, revisi tersebut tidak membebankan pengusaha existing dan justru menjadikannya agar lebih exis. Sehingga, aturan yang membebani harus disesuaikan.
"Kami targetkan secepatnya. Apalagi Pak Wakil Gubenrur minta enam bulan sudah merangkul separuh target 2.000," ungkapnya.
Terkait tarif rupiah perkilometer yang juga menjadi alasan belum bergabungnya operator angkot existing dalam OK Otrip, Andry mengaku kenaikan tarif rupiah perkilometer Rp3,739 masih akan disesuaikan lagi dengan komponen-komponen yang dinilai operator belum mengakomodir. Berikut dengan jarak tempuh trayek.
"Nanti penghitungan tarif dan besarannya juga masuk dalam Pergub revisi tersebut. Kami yakin kalau dua kendala itu sudah selesai, operator akan ikut dan Ok Otrip berjalan lancar sesuai target," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Yuke Yurike meminta agar Pemprov DKI Jakarta menghitung kembali besaran subsidi angkot dalam program OK Otrip. Kemudian, kata dia, setelah itu sesuaikan dengan tarif yang berlaku dalam OK Otrip.
Artinya, lanjut Yuke, apabila ada perubahan tarif maksimal melebihi Rp5.000, masyarakat bisa mengerti dan tidak dianggap sebagai kebohongan janji kampanye.
"Saya melihat kendala utama OK Otrip terus bergelut pada tarif rupiah perkilometer. Terakhir saya dengan operator minta Rp4.000 tapi TransJakarta menaikan hanya Rp3,739. Apa karena tarif maksimal OK Otrip Rp5.000 jadi tidak bisa menyanggupi permintaan operator? Nah ini semua harus dibuka secara transparan agar kepercayaan masyarakat dalam menggunakan angkutan umum dapat dijaga," tuturnya.
(mhd)