Masih Ada Proses Pengadilan, KNTI: Reklamasi Proyek Bermasalah
A
A
A
JAKARTA - Dewan Pengurus Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan putusan Mahkamah Agung No. 92/K/TUN/LH/2017 tidak menghilangkan fakta bahwa masih ada proses pengadilan yang memeriksa gugatan nelayan dan organisasi lingkungan hidup terhadap Gubernur DKI Jakarta yang menerbitkan reklamasi.
Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan, setidaknya ada tiga gugatan lingkungan hidup yang sedang berjalan antara nelayan dengan Gubernur DKI Jakarta terkait dengan Pulau F (SK Gubernur No. 2268/2015 dengan Putusan No. 14/G/LH/2016/PTUN-JKT); Pulau I (SK Gubernur No. 2269/2015 Putusan No. 15/G/LH/2016/PTUN.JKT); dan Pulau K (SK Gubernur No. 2485/2015 dan Putusan No. 13/G/2015/PTUN-JKT).
"Dari tiga gugatan tersebut menunjukkan proyek reklamasi bermasalah dan seharusnya dihentikan," kata Marthin saat dihubungi SINDOnews, Rabu (11/10/2017). Marthin melanjutkan, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Raperda RTR KS Pantura dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan masyarakat.
Marthin menilai, banyak substansi yang tidak dipertimbangkan dalam KLHS dari mulai berbagai kajian dampak buruk reklamasi hingga khusus dampak buruk kepada perempuan nelayan yang berada di wilayah pesisir yang tidak menjadi pertimbangan. "Sehingga tidak relevan KLHS dari Raperda RTR KS Pantura menjadi dasar dilanjutkannya dan sudah seharusnya KLHS diulang kembali dengan proses yang benar tanpa ada konflik kepentingan," ujarnya.
Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan, setidaknya ada tiga gugatan lingkungan hidup yang sedang berjalan antara nelayan dengan Gubernur DKI Jakarta terkait dengan Pulau F (SK Gubernur No. 2268/2015 dengan Putusan No. 14/G/LH/2016/PTUN-JKT); Pulau I (SK Gubernur No. 2269/2015 Putusan No. 15/G/LH/2016/PTUN.JKT); dan Pulau K (SK Gubernur No. 2485/2015 dan Putusan No. 13/G/2015/PTUN-JKT).
"Dari tiga gugatan tersebut menunjukkan proyek reklamasi bermasalah dan seharusnya dihentikan," kata Marthin saat dihubungi SINDOnews, Rabu (11/10/2017). Marthin melanjutkan, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Raperda RTR KS Pantura dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan masyarakat.
Marthin menilai, banyak substansi yang tidak dipertimbangkan dalam KLHS dari mulai berbagai kajian dampak buruk reklamasi hingga khusus dampak buruk kepada perempuan nelayan yang berada di wilayah pesisir yang tidak menjadi pertimbangan. "Sehingga tidak relevan KLHS dari Raperda RTR KS Pantura menjadi dasar dilanjutkannya dan sudah seharusnya KLHS diulang kembali dengan proses yang benar tanpa ada konflik kepentingan," ujarnya.
(whb)